Opini : Keberlanjutan sebagai Korban, Menimbang Produksi dan Konsumsi Rokok dengan Kerangka SDGs

Sekali Lagi, Debat tentang Rokok

Rokok kembali menjadi perbincangan hangat di Indonesia.  Ini dimulai pada penghujung Juli 2016 ketika Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia yang mengeluarkan hasil studi tentang kaitan antara harga dan konsumsi  rokok pada acara ilmiah The 3rd Indonesian Health Economics Association Congress di Yogyakarta.

Salah satu kesimpulan studi tersebut adalah 72% perokok menyatakan akan berhenti merokok bila harganya di atas Rp50.000.  Tentu itu barulah pernyataan niatan, sementara pada praktiknya—bila benar-benar terjadi—yang akan benar-benar berhenti tentu akan berbeda persentasenya. Rokok sudah diketahui sebagai produk yang elastisitas permintaannya kecil.

Hidayat dan Thabrany (2008) menemukan bahwa elastisitas permintaan rokok di Indonesia adalah 0,35 dalam jangka pendek dan 0,39 dalam jangka panjang.  Kalau angka elastisitas jangka pendek itu masih berlaku hingga sekarang, maka bila rokok seharga Rp20.000 naik mendadak menjadi Rp50.000, alias mengalami kenaikan sebanyak 150%, maka permintaannya akan turun sebanyak 52,5% saja.  Sebanyak 47,5% perokok akan tetap mengkonsumsinya.

Sementara, bila rokok seharga Rp15.000 yang dinaikkan menjadi Rp50.000, tentu dampaknya akan lebih besar. Kenaikan 233% itu akan membuat permintaan turun sekitar 80%-nya.  Itu sekedar gambaran dengan angka elastisitas yang mungkin sudah berubah, juga tanpa memperhitungkan bakal terjadinya pergeseran ke rokok yang lebih murah, legal maupun ilegal.

Rokok memang fenomena yang kompleks.  Membaca pro dan kontranya sendiri—yang tampak belum susut sejak akhir Juli hingga sekarang—menghabiskan energi yang luar biasa besar.  Nusantara seakan terbelah menjadi dua kubu.  Kalau kita perhatikan dengan saksama bahwa di negara-negara maju konsumsi rokok telah jauh menurun, di negara-negara berkembang kondisinya masih beragam.

Di Indonesia, kecenderungan peningkatan masih terlihat, walau perlambatan peningkatan memang terjadi.  Keraguan Pemerintah untuk membatasi produksi dan konsumsi rokok di sini masih tampak setengah hati, atau mungkin lebih kecil lagi proporsi hatinya.  Ini jauh berbeda dengan negara-negara tetangga yang sudah jauh lebih serius.

Salah satu kemungkinan penjelasannya adalah bahwa rokok ‘hanya’ dianggap merugikan secara kesehatan.  Sementara dalam aspek-aspek lainnya dianggap membawa beragam dampak positif.  Selama ini ketika orang berbicara mengenai dampak negatif dari rokok, sebagian besar memang hanya  berpikir mengenai dampak kesehatan dari konsumsi rokok, terutama konsumsi langsung.

Belakangan, orang juga mulai berbicara mengenai dampak konsumsi tidak langsung, atau yang biasa disebut dengan dampak merokok pasif (secondhand smoke, environmental tobacco smoke). Menurut catatan WHO, sekitar 10% dari total kematian akibat rokok itu terkait dengan aktivitas pasif—lebih tepatnya terpaksa—tersebut.  Kalau sekarang diketahui ada 6 juta kematian per tahun akibat rokok, 600.000 di antaranya adalah karena keterpaksaan tersebut.

Di Indonesia sendiri, kematian akibat rokok ditengarai kini berada antara 217.000 – 240.000 jiwa per tahunnya. Belum lagi sekitar sejuta orang setiap tahunnya terkena penyakit terkait konsumsi rokok.  Baik data di tingkat global maupun Indonesia adalah data ilmiah yang ditopang oleh ilmu pengetahuan yang solid.  Tentu saja, penyangkalan terus dilakukan oleh beberapa pihak yang tak ingin wajah buruk industri ini mengemuka.  Namun penyangkalan itu tidaklah ditopang oleh data yang valid dan reliabel.

Dampak Produksi dan Konsumsi Rokok terhadap Tujuan SDGs

Lebih jauh daripada dampak kesehatan akibat konsumsi rokok, kini juga diketahui bahwa konsumsi rokok memiliki beragam dampak non-kesehatan, mulai dari dampak ekonomi untuk para perokok, dampak sosial, hingga dampak lingkungan.  Mundur ke belakang, produksi rokok juga memiliki dampak negatif yang signifikan.

Berbagai dampak tersebut, bila benar-benar diperhatikan, akan membawa kita kepada kesimpulan bahwa produksi dan konsumsi rokok itu bertentangan secara diametrikal dengan pembangunan berkelanjutan.  Karenanya, produksi dan konsumsi rokok dalam jumlah luar biasa besar seperti di Indonesia, akan menggagalkan pencapaian berbagai Tujuan dalam Sustainable Development Goals (SDGs).

Ilustrasi kesegaran pohon dan hutan bagi paru-paru. Sumber : pinimg.com
Ilustrasi kesegaran pohon dan hutan bagi paru-paru. Sumber : pinimg.com

Tulisan ini akan menjelaskan bagaimana produksi dan konsumsi rokok sesungguhnya terkait dengan beragam Tujuan SDGs dan mengungkapkan mengapa produksi dan konsumsi itu dapat menggagalkan pencapaian berbagai Tujuan tersebut.

Tujuan 1 Penghilangan Kemiskinan. Petani tembakau kerap merupakan petani-petani termiskin, dengan pendapatan jauh di bawah UMR. Demikian juga dengan buruh industri rokok, yang merupakan buruh dengan pendapatan terendah di Indonesia.  Rokok dikonsumsi secara timpang: kelompok-kelompok miskin menggunakan pendapatan mereka untuk konsumsi rokok dalam proporsi yang sangat besar, nomor dua setelah beras.  Hal itu terus-menerus dinyatakan dalam laporan kuartalan BPS, sehingga sang Kepala BPS kerap menyatakan bahwa kemiskinan di Indonesia akan jauh berkurang bila masalah konsumsi rokok ini ditangani.

Konsumsi rokok juga merupakan perangkap kemiskinan lewat rendahnya status kesehatan dan turunnya produktivitas. Jeratan itu mulai dari masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap bahaya rokok, maraknya iklan, serta sifat nikotin yang adiktif.  Orang miskin kemudian tertarik untuk merokok, di antaranya untuk melupakan tekanan ekonomi yang mereka rasakan, namun hasilnya malah mereka terperangkap di dalam lingkaran kemiskinan.

Tujuan 2 Penghilangan Kelaparan. Lahan-lahan pertanian yang seharusnya bisa dimanfaatkan  untuk budidaya tanaman pangan malahan dipergunakan untuk bercocok tanam tembakau.  Kesuburan lahan menjadi berkurang karena pertanian tembakau yang tidak berkelanjutan. Sangat terkenal di kalangan ahli pertanian bahwa tembakau adalah salah satu komoditas yang menggunakan pestisida dalam jumlah yang besar, sehingga meracuni tanah dan air dalam waktu yang lama, dan membuat pertanian pangan menjadi turun.Kabar baik juga terjadi.

Sejak tahun 2012 luas lahan pertanian yang dipergunakan untuk tembakau dilaporkan cenderung menyusut, dan para petani mengganti tembakau dengan beragam tanaman, termasuk tanaman pangan.  Alih tanam ini jelas berkontribusi pada Tujuan penghilangan kelaparan.  Di sisi konsumen, pendapatan yang seharusnya bisa dipergunakan untuk membeli makanan dengan nutrisi tinggibagi anggota keluarga kerap dialihkan untuk membeli rokok, terutama di kalangan miskin.  Di Indonesia, majoritas perokok adalah dari kalangan buruh, petani dan nelayan yang pendapatannya rendah, sehingga konsumsi rokok membuat keluarga mereka mengalami malnutrisi.

hutan kalteng_1017 desa sungai rungan rhett butler mongabay

Tujuan 3 Kesehatan.

Menurut Tobacco Atlas 2015, rokok telah membunuh 217.400 orang Indonesia di tahun 2014, dengan sedikitnya 25.000 di antaranya adalah perokok pasif.  Korban-korban rokok termasuk ibu dan anak balita, yang jumlahnya semakin banyak dari tahun ke tahun karena tak mendapatkan perlindungan yang memadai.

Umur mulai merokok yang semakin muda juga menyebabkan jumlah korban beragam Penyakit Tak Menular (PTM) semakin banyak di Indonesia, selain juga ditemukannya penyakit-pennyakit tersebut di usia yang semakin muda. Beban BPJS Kesehatan terus menerus bertambah akibat PTM ini, dan dalam beberapa kesempatan para pakar kesehatan menyatakan kemungkinan kebangkrutan BPJS lantaran konsumsi rokok.

Tahun 2013  Kementerian Kesehatan menghitung bahwa ketika Indonesia mendapatkan Rp103 triliun dari cukai rokok kerugian kesehatannya saja mencapai Rp378,75 triliun, alias 3,7 kali lipatnya.  Ini belum menghitung kerugian aspek lainnya.Yang mungkin juga belum banyak diketahui adalah bahwa pertanian tembakau sendiri membawa dampak kesehatan yang buruk, di antaranya keracunan pestisida dan green tobacco sickness (GTS).  Di Jember, gejala GTS telah ditemukan di antara 66,3% petani tembakau yang diteliti Rokhmah dan Khoiron (2014).  Kemungkinan besar, proporsi yang sama juga terjadi di berbagai sentra produksi tembakau di Indonesia.

Tujuan 4 Pendidikan.

Orangtua miskin yang memiliki anak-anak usia sekolah kerap mengorbankan sekolah anak-anaknya karena rokok.  Walaupun pendidikan dasar telah digratiskan di Indonesia, namun biaya pendukungnya (transportasi, nutrisi, kelengkapan belajar) kerap dikalahkan oleh konsumsi rokok orangtuanya.

Pendidikan pada strata yang lebih tinggi—yang belum digratiskan—tentu saja menjadi sulit dijangkau oleh anak-anak dari rumah tangga miskin.  Pada banyak kasus, orangtua miskin kemudian memilih menyekolahkan hanya anak laki-lakinya, sehingga melestarikan ketimpangan gender dalam pendidikan.

Pemerintah berkurang kesempatannya untuk membangun fasilitas pendidikan yang baik lantaran harus membuang sebagian APBN untuk mengobati orang-orang yang sakit karena konsumsi rokok.  Selain itu, konsumsi rokok diketahui menurunkan 7 poin IQ secara rerata (Weiser, 2010).  Dengan lebih dari 60 juta perokok di Indonesia, secara kolektif bangsa ini kehilangan kecerdasan setara dengan 420 juta poin IQ.  Tentu, ini adalah masalah yang sangat serius untuk bangsa ini bila ingin memenangkan kompetisi dan/atau mampu berkolaborasi dengan bangsa-bangsa lain.

Meski telah berusia lanjut Rusnawati, perempuan dari Desa Lampoko, Balusu, Kabupaten Barru, Sulsel termasuk yang paling bersemangat dalam kegiatan penanaman mangrove tersebut. Foto : Wahyu Chandra
Meski telah berusia lanjut Rusnawati, perempuan dari Desa Lampoko, Balusu, Kabupaten Barru, Sulsel termasuk yang paling bersemangat dalam kegiatan penanaman mangrove tersebut. Foto : Wahyu Chandra

Tujuan 5 Kesetaraan Gender.

Para perokok kerap tidak memperhatikan perempuan dewasa dan anak perempuan ketika mereka merokok.  Hal ini menurunkan status kesehatan perempuan secara keseluruhan, padahal perokok di antara mereka jauh lebih sedikit dibandingkan kaum lelaki.  Para perempuan banyak yang dibujuk untuk menjadi perokok dengan ‘argumentasi’ kesetaraan gender.  Lelaki banyak yang merokok, masakan perempuan tidak boleh?

Padahal, dengan merokok itu perempuan kemudian menurun status kesehatan dan produktivitasnya secara keseluruhan, yang semakin memperparah ketimpangan gender.  Para kepala keluarga yang perokok juga kerap mengabaikan kebutuhan nutrisi, dan pelayanan kesehatan kepada perempuan-perempuan yang sakit, lantaran uangnya dipergunakan untuk membeli rokok.  Hal ini menjadi sangat nyata di kelompok-kelompok miskin, dan itu membuat perempuan miskin menderita ketimpangan dua kali dari semakin parahnya ketimpangan ekonomi dan gender.

Tujuan 8 Ekonomi Inklusif. 

Industri rokok masih kerap memanfaatkan pekerja anak sebagai tenaga kerja gratis atau dibayar sangat murah dalam pertanian tembakau.  Hal ini bisa disaksikan hampir diseluruh daerah penghasil tembakau.  Kabar terbarunya bisa dibaca pada laporan HRWG (2016) yang bertajuk The Harvest is in My Blood: Hazardous Child Labor in Tobacco Farming in Indonesia. Hak-hak pekerja dalam industri rokok kerap diabaikan, terutama terkait dengan kesehatan dan keselamatan kerja (di kalangan petani tembakau) dan upah yang layak (di kalangan pekerja).

Ini bukan ‘sekadar’ masalah HAM, melainkan masalah ekonomi yang sangat mendasar apabila Indonesia ingin bertransformasi ekonominya menuju kondisi yang lebih adil.  Lebih buruk lagi, petani tembakau terus dijerat oleh sistem yang memaksa mereka terus menanam tembakau dengan penghasilan rendah, lantaran harga komoditas ini sepenuhnya ditentukan oleh ‘gudang’ yang merupakan perpanjangan perusahaan-perusahaan rokok.

Banyak pula laporan bahwa para petani yang hendak pindah menanam komoditas lain, yang lebih menguntungkan bagi kehidupan mereka, kerap menghadapi kecaman bahkanancaman.  Sementara, pertanian dan pengeringan tembakau yang membuka hutan secara massif bukan saja merusak lingkungan, melainkan juga bertentangan dengan semangat ekonomi hijau.  Ini semua menghambat transformasi menuju ekonomi inklusif.

Tujuan 10 Ketimpangan. 

Para petani tembakau Indonesia adalah di antara yang paling miskin dibandingkan penanam komoditas lain.  Pekerja industri rokok di negeri ini adalah yang paling rendah upahnya dibandingkan pekerja industri lainnya.  Upaya meningkatkan pendapatan petani dihambat oleh pembelian tembakau pada harga yang fluktuatif dan cenderung rendah lantaran dikuasai sepenuhnya oleh industri rokok.

Sementara, karena konsumen rokok juga terdiri dari orang miskin dan pra-sejahtera, membuat mereka sulit menabung dan berinvestasi untuk hal yang produktif, maka ketimpangan menjadi sulit diperbaiki.  Ini jelas bertentangan dengan upaya meningkatkan status ekonomi 40% masyarakat termiskin yang ingin dicapai dalam SDGs.

Terkait dengan petani tembakau, ketimpangannya diperparah—atau bahkan terutama disebabkan—oleh impor tembakau (yang terakhir tercatat sebanyak 180 ribu ton) yang sudah melampaui produksi tembakau lokal (160 ribu ton, dengan 40 ribu di antaranya diekspor).  Dengan harga yang lebih murah dan bea masuk nol rupiah tembakau lokal makin tersingkir.

Pekerja industri rokok terus mengalami PHK karena industri rokok melakukan mekanisasi, di mana setiap mesin memiliki produktivitas setara dengan 900-1.000 pekerja.  Dalam jangka panjang, Roadmap Industri Hasil Tembakau (IHT) yang dibuat oleh Kementerian Perindustrian bahkan merencanakan untuk menambah terus produksi mesin.

Bayangkan, kalau pada tahun 2015 yang produksinya direncanakan mencapai 399 miliar batang terdapat 77 miliar yang merupakan Sigaret Kretek Tangan (SKT), pada tahun 2020 produksinya akan mencapai 524 miliar batang, dan SKT hanya naik menjadi 77,5 miliar.  Kenaikan produksi sebanyak 125 miliar batang rokok itu hanya memberikan proporsi 0,5 miliar—alias 0,4% saja—yang disisakan buat tenaga kerja.  Sebanyak 99,6%-nya diperuntukkan untuk mesin.

Rumah burung berbentuk burung yang dipasang di pohon di sebuah taman kota. Foto : thomasdambo.com
Rumah burung berbentuk burung yang dipasang di pohon di sebuah taman kota. Foto : thomasdambo.com

Tujuan 11 Kota dan Pemukiman yang Berkelanjutan.

Kota dan pemukiman yang berkelanjutan di antaranya memiliki tujuan menurunkan dampak lingkungan perkotaan, dengan perhatian khusus pada kualitas udara dan penanganan sampah, termasuk dengan mendukung pembangunan ruang publik yang aman, inklusif, serta hijau.  Rokok—bersama-sama dengan pencemaran dari kendaraan bermotor—telah menyebabkan kualitas udara perkotaan menjadi buruk. Bahkan, di dalam ruangan, para perokok telah membuat penurunan mutu yang sangat parah.

Walaupun sudah ada berbagai peraturan di tingkat nasional maupun daerah, pelanggaran atasnya terus terjadi.  Padahal, partikel pencemar bisa tinggal sangat lama karena menempel di ruangan dan furniturnya, membuat risiko bagi orang-orang yang datang ke ruangan tersebut, bahkan jauh setelah aktivitas merokok di situ berhenti.  Ini membuat tujuan menciptakan ruang publik yang aman dan inklusif sulit dicapai.

Masalah sampah dari puntung rokok juga bukan masalah kecil, karena sebagian besar—kalau bukan malahan seluruh—puntung rokok dibuang sembarangan dan/atau berakhir di alam.  Toksisitasnya tentu membahayakan makhluk hidup, tapi sebagai sampah puntung rokok jelas menjijikan, dan hingga kini belum ada pengelolaan yang memadai atasnya.  Berbagai negara dan kota telah menghitung biaya pengelolaan sampah puntung rokok, dan hasilnya sangatlah mahal.

Tujuan 12 Pola Konsumsi dan Produksi.  

Konsumsi rokok telah dibuktikan membahayakan kesehatan dan mengakibatkan kematian prematur.  Para perokok meninggal hingga 10 tahun lebih awal dibandingkan bukan perokok, dengan mutu kehidupan yang lebih rendah karena didera berbagai jenis penyakit tak menular, seperti gangguan jantung dan paru.  Rokok jelas adalah contoh konsumsi yang buruk bagi konsumen maupun lingkungannya.  Kalau dalam konsumsi berkelanjutan terdapat tujuan pengelolaan limbah sepanjang daur hidup, rokok adalah salah satu produk yang paling tidak sesuai dengan tujuan itu.

Walaupun di Indonesia telah dinyatakan bahwa nikotin adalah B3, namun hingga sekarang pengelolaannya belum seperti limbah B3 lainnya.  Pencemaran dari puntung rokok terus terjadi lantaran bahan pembuatnya tidaklah bersifat biodegradable.  Demikian juga dengan produksinya.  Pertanian tembakau adalah salah satu di antara pertanian yang paling berdampak negatif pada lingkungan lantaran penggunaan pestisida berlebih dan deforestasi yang diakibatkannya.  Hingga kini, tak ada budidaya dan pengeringan tembakau yang berkelanjutan.

Bahkan, tak ada perusahaan rokok yang benar-benar memulihkan hutan dan lahan yang rusak karena produksi dan pengolahan tembakau.  Yang ada hanyalah greenwashing penanaman pohon—yang diiklankan secara massif di banyak media massa negeri ini—denganskala jauh sekali di bawah kerusakan yang ditimbulkan.

Hutan mangrove di Teluk Arguni Kaimana Papua Barat. Menurut Conservation Internasional (CI) Indonesia, mangrove berperan penting sebagai stok karbon GRK untuk mengatasi perubahan iklim dan berperan ekologis yang menguntungkan secara ekonomis. Foto : M Ambari
Hutan mangrove di Teluk Arguni Kaimana Papua Barat. Menurut Conservation Internasional (CI) Indonesia, mangrove berperan penting sebagai stok karbon GRK untuk mengatasi perubahan iklim dan berperan ekologis yang menguntungkan secara ekonomis. Foto : M Ambari

Tujuan 13 Perubahan Iklim.

Kalau hutan diketahui memegang peranan sangat penting dalam pengelolaan perubahan iklim, terutama untuk fungsi carbon sink, jelas produksi rokok punya dampak buruk bagi perubahan iklim.  Di banyak negara berkembang penghasil tembakau, lebih dari 5% deforestasi yang terjadi terkait dengan produksi rokok.

Pada tahun 2007 diperkirakan bahwa 40% dari deforestasi di Korea Selatan dan Uruguay terkait dengan produksi rokok, sementara di Malawi bahkan angkanya mencapai 80%. Ada perkiraan yang menyatakan bahwa sekitar 1,5 juta pohon per hari ditebang di seluruh dunia untuk membuka lahan bagi budidaya tembakau dan pengeringannya.  Artinya, sekitar 600 juta pohon setahun.  Tetapi perkiraan tersebut tampaknya terlampau kecil.

Di Indonesia, WALHI Nusa Tenggara Barat berulang kali menyatakan bahwa setidaknya 1,4 juta pohon ditebang setahunnya terkait dengan produksi tembakau.  Padahal, produk dari provinsi tersebut hanya sekitar 20% dari produk nasional.  Karena Indonesia mengimpor tembakau lebih banyak daripada memproduksi sendiri, Indonesia  juga bertanggung jawab atas deforestasi di negeri-negeri asal tembakau impor tersebut, seperti Tiongkok.Hal yang juga sangat penting untuk diingat adalah bahwa penyangkalan atas penyebab dan dampak perubahan iklim dilakukan dan diajarkan oleh mereka yang dahulu menyangkal bahaya rokok, sebagaimana yang sudah dibongkar oleh Oreskes dan Conway dalam Merchants of Doubt (2010).

Bahkan, hingga kini perusahaan-perusahaan rokok global terus membayari penyangkalan terhadap perubahan iklim.  Mengapa? Kalau perubahan iklim diterima secara mutlak sebagai fakta ilmiah dan menjadi kebijakan publik, maka peraturan-peraturan terkait lingkungan secara umum akan menguat, dan seluruh dampak negatif lingkungan dari produksi dan konsumsi rokok akan diatur dengan ketat.  Hal itu terungkap dalam sebuah laporan Greenpeace USA (2013), Dealing in Doubt: The Climate Denial Machine Vs Climate Science.

Tujuan 14 Sumber Daya Lautan.

Data dari Ocean Conservancy (2012) menyatakan bahwa puntung rokok merupakan sampah paling banyak yang ditemukan di pantai seluruh dunia, 19% dari total sampah, hampir dua kali lipat pembungkus makanan dan botol plastik, yang menempati peringkat kedua dan ketiga.

Sementara kebanyakan orang bisa melihat bahwa pembungkus dan botol plastik adalah masalah yang sangat besar, orang tidak sadar bahwa puntung rokok adalah masalah yang lebih besar karena jumlah sampah, kesulitan dikumpulkan, dan toksisitasnya yang melampaui plastik.Hal yang sama juga ditemukan di pantai-pantai di Indonesia, juga di terumbu karangnya.

Banyak penyelam yang memiliki kepedulian lingkungan telah melaporkan bahwa karang-karang yang indah di Indonesia ternyata menjadi semacam perangkap puntung rokok.  Puntung rokok juga diketahui telah meracuni ikan air tawar dan laut.  Penelitian Slaughter, dkk. (2014),Toxicity of Cigarette Butts, and Their Chemical Components, to Marine and Freshwater Fish, menyatakan racun yang terkandung di dalam 1 puntung yang diencerkan dengan 1 liter air cukup untuk membunuh ikan dan biota laut lainnya.

Sampah plastik dan mikroplastik di lautan membahayakan bagi penyu karena dianggap makanan. Banyak penyu dan biota laut yang mati karena memakan sampah di lautan. Foto : ecowatch
Sampah plastik dan mikroplastik di lautan membahayakan bagi penyu karena dianggap makanan. Banyak penyu dan biota laut yang mati karena memakan sampah di lautan. Foto : ecowatch

Tujuan 15 Ekosistem Daratan.

Sekali lagi, budidaya dan pengeringan tembakau di seluruh dunia bertanggung jawab atas setidaknya 200.000 hektare deforestasi setiap tahunnya.  Itu angka di tahun 1990an.  Ketika diprojeksikan ke kondisi sekarang di mana produksi rokok jauh lebih besar, terutama di negara-negara berkembang, luasan hutan yang hilang sangat mungkin menjadi jauh lebih besar.

Di Indonesia, tercatat belasan ribu hektare hutan dan lahan rusak di Temanggung, sebagaimana yang telah dikeluhkan oleh Pemerintah Kabupaten tersebut. Sayangnya, tak ada tindakan yang dilakukan atas hal tersebut.  Pemerintahnya tak meminta industri rokok bertanggung jawab atas kerusakan massif itu.  WALHI NTB telah mencatat hilangnya minimal 1,4 juta pohon per tahun untuk industri rokok, mengakibatkan ancaman hilangnya seluruh hutan di provinsi tersebut dalam 10 tahun ke depan, pun seluruh keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya.

Sekurang-kurangnya 75% dari total rokok yang dikonsumsi di Indonesia—yang berarti sekitar 300 miliar batang per tahun—dibuang ke alam, sehingga bisa menyebabkan peracunan daratan, termasuk ekosistem air tawar,selama lebih dari satu dekade.  Ini karena bahan pembuat filter sampai sekarang tidaklah bersifat biodegradable.

Tujuan 16 Perdamaian, Keadilan, Institusi yang Kokoh.

Iklan, promosi dan sponsorship rokok yang diperbolehkan hampir di semua tempat di Indonesia pada hakikatnya adalah kekerasan terhadap anak-anak.  Mereka kemudian cenderung mencoba merokok di usia sangat muda, lantaran tak bisa mengambil keputusan secara rasional, dan menjadi ketagihan karenanya. Industri rokok juga adalah industri yang ditengarai berada di balik penghilangan ayat adiktif di UU Kesehatan 2009, sebagaimana yang diselidiki oleh majalah Tempo.

Penggantian Roadmap Industri Hasil Tembakau yang tadinya membatasi produksi rokok di angka 260 milyar batang per tahun menjadi lebih dari dua kali lipatnya di tahun 2020, pembuatan RUU Pertembakauan, dan percobaan penyelundupan pasal kretek pada RUU Kebudayaan seluruhnya sangat tampak melayani kepentingan industri ini, dan bertentangan dengan kepentingan publik.

Bukan saja kepentingan kesehatan publik, namun kepentingan kesejahteraan dan keberlanjutan secara luas.  Industri ini adalah industri yang paling tidak transparan di antara seluruh industri legal yang ada di Indonesia, namun pengaruh politiknya luar biasa besar, hingga mampu menggoyahkan institusi yang seharusnya melindungi seluruh masyarakat. Hal ini misalnya bisa dilihat dari Tobacco Industry Interference Index yang dikeluarkan setiap tahunnya.

Seperti laporan tahun sebelumnya, SEATCA (2016) menyatakan bahwa pengaruh industri rokok di dalam kebijakan publik di Indonesia adalah yang tertinggi di antara negara-negara ASEAN.  Alpanya negara dalam melindungi masyarakat—menjadikan negara sebagai institusi yang lemah—bisa dipastikan merupakan hasil kerja industri yang memang kepentingannya bertentangan secara diametrikal dengan kesejahteraan dan keberlanjutan ini.

Tujuan 17 Revitalisasi Kemitraan Global.

Secara global, hampir seluruh negara sepakat dengan pengendalian dampak buruk produksi dan konsumsi rokok melalui Framework Convention for Tobacco Control (FCTC) yang digagas oleh WHO.  Indonesia adalah satu-satunya negara besar dan stabil yang belum mengaksesinya.  Lebih daripada sekadar belum mengaksesinya, banyak pejabat Indonesia yang telah menyatakan permusuhan pada konvensi tersebut.

Berulang kali Panglima TNI menyatakan bahwa FCTC adalah proxy war terhadap Indonesia. Padahal, secara tidak sadar Panglima TNI-lah yang menjadi proxy dalam peperangan melemahkan Indonesia.  Lagipula, bila FCTC adalah sebuah proxy war, mengapa para panglima tentara negara-negara lain membiarkan negaranya menandatangani FCTC?  Bahkan, ada banyak petinggi militer di negara-negara lain yang menjadi kampiun dalam pengendalian tembakau, juga seluruh angkatan bersenjata punya program pengendalian tembakau yang kokoh.

Apakah Panglima TNI adalah yang paling pandai di antara para panglima itu sehingga hanya dia yang ‘mengetahui’ hakikat FCTC, ataukah dia yang sesungguhnya paling tidak paham sehingga menjerumuskan bangsanya sendiri ke dalam pilihan yang melemahkan kita dalam jangka panjang? Keengganan Indonesia menandatangani/mengaksesinya telah membuat negeri ini kehilangan kesempatan dalam kerangka kemitraan global FCTC.  Indonesia juga terancam tidak mendapatkan tempat yang layak dalam kemitraan dengan negara-negara anggota PBB karena dianggap tak serius dengan pencapaian SDGs.

***


Banyak di antara argumentasi yang membela industri rokok menyatakan bahwa permasalahan rokok harus dipandang secara komprehensif, bukan ‘sekadar’ masalah kesehatan. Argumentasi itu seakan meyakini bahwa bila permasalahan rokok dilihat dengan menimbang aspek-aspek lain maka akan tampak sisi positifnya.
SDGs adalah cara pandang komprehensif yang kita butuhkan itu.

Dengan cara pandang itu, alih-alih menjadi tampak lebih positif, yang sangat jelas terlihat adalah bahwa industri rokok ini semakin memberatkan bangsa Indonesia.

Dan, seperti yang telah ditunjukkan di atas, sangat banyak—yaitu 14 dari 17!—Tujuan SDGs yang akan gagal atau sangat sulit dicapai bila produksi dan konsumsi rokok tidak dikendalikan secara efektif. Baik itu dimensi planet, people, prosperity, peace maupun partnership (5Ps) semuanya terpengaruh oleh kinerja pengendalian tembakau.

Akankah kita kembali mengulangi kegagalan pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) lantaran bertekuk lutut pada kepentingan industri rokok?
Semoga tidak.

*Jalal, Governance Thamrin School of Climate Change and Sustainability Reader.  Tulisan ini merupakan opini penulis

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,