Juli – Agustus seharusnya menjadi bulan puncak panen di kawasan Kintamani, Bangli, Bali. Kawasan ini merupakan pusat produksi kopi paling luas dan terkenal dibandingkan daerah produksi kopi lain, seperti Pupuan di Tabanan, Plaga di Badung, dan Munduk di Buleleng.
Namun, pada awal Agustus lalu, panen kopi di Kintamani tak sebanyak sebelumnya. Biji-biji kopi di pohon masih banyak berwarna hijau. Sebagian juga terlihat kering dan menghitam. “Panen tahun ini memang tak sebanyak tahun lalu karena sampai sekarang hujan masih turun,” kata Putu Sumawan, petani di Desa Catur, Kintamani.
Menurut Putu, sejak tiga tahun terakhir, hasil panen terus menurut. “Panen bagus itu sekitar tiga atau empat tahun lalu,” lanjutnya.
Putu memiliki tiga hektar lahan kopi arabika. Kintamani memang kawasan produsen kopi arabika yang bahkan sudah memiliki indikasi geografis. Menurut Putu, saat ini tiap pohon hanya menghasilkan sekitar 3 kg gelondong merah. Padahal sebelumnya bisa mencapai 5 kg-7 kg per pohon.
Karena takut merugi akibat hasil panen yang terus menurun, Putu pun memilih untuk menjual kopinya dengan sistem tebas, menjual seluruh kopi yang masih ada di kebun, kepada tengkulak. Harga total Rp38 juta.
“Lebih praktis karena jadi tidak perlu mikir panen atau menjemurnya,” ujarnya.
Kondisi agak berbeda dialami I Ketut Jati, petani yang juga Ketua Kelompok Petani Kopi Subak Abian Triguna Karya Desa Catur. Menurut Jati, jumlah produksi kopinya masih bagus. Jika dihitung per hektar, hasilnya berkisar antara 7-8 ton gelondong merah.
Tahun ini, dia mengaku memperoleh 15 ton kopi gelondong merah dari 2 hektar lahannya dibandingkan 14,5 ton pada tahun lalu. Dalam 1 hektar ada sekitar 1.500 pohon.
Meskipun demikian, Jati membenarkan bahwa secara umum petani di Kintamani memang mengalami penurunan jumlah produksi. “Secara umum berat berkurang karena curah hujan. Buah jadi jelek, hitam dan tanpa isi,” katanya. Hujan yang masih turun dengan deras juga mengakibatkan kopi yang sudah tua jatuh sehingga tak bisa lagi dipanen.
Selain akibat perubahan cuaca, penurunan jumlah produksi juga terjadi karena alasan-alasan lain.
Pertama, petani kopi banyak yang beralih ke tanaman jeruk karena hasilnya dianggap lebih baik. Selain kopi, Kintamani memang terkenal juga dengan komoditas jeruknya. Tahun lalu banyak petani jeruk mendapatkan hasil panen bagus. Menurut Jati, ada yang bahkan bisa mendapatkan Rp400 juta hingga Rp500 juta. Karena tergiur dengan hasil tersebut, petani kopi pun ingin beralih ke tanaman jeruk. “Tanaman kopi pun dibabat terus diganti tanaman jeruk,” katanya.
Kedua, jumlah lahan kopi di kawasan yang terus berkurang. Meskipun bernama resmi Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Kintamani, lahan kopi di daerah ini meliputi tiga kabupaten, termasuk Buleleng dan Badung. Menurut Jati, luas lahan di kawasan MIPG pada awalnya sekitar 14.000 hektar. Saat ini mungkin tinggal 7.000 hektar. “Itu pun tinggal setengah yang masing budidaya kopi arabika. Paling banyak tinggal 4.000 hektar,” katanya.
Ketiga, umur tanaman yang makin tua. Sebagian besar tanaman kopi di Kintamani sudah berusia lebih dari 20 tahun. Pohon milik Jati, misalnya, sudah berumur 25-30 tahun. Dari 2 hektar miliknya, sehektar berusia 25 tahun, dan sebagian kecil yang baru diremajakan.
Terancam Punah
Fakta-fakta di lapangan tersebut sesuai dengan data Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian per 2015. Menurut buku Statistik Perkebunan Kopi Indonesia 2015, tiga tahun terakhir luas kebun kopi di Bali memang terus menurut dari 36.617 hektar pada 2013 menjadi 29.302 hektar (2014) dan 29.199 hektar (2015).
Dari sisi luas tanaman yang menghasilkan, jumlahnya juga setali tiga uang. Pada 2013 terdapat 26.524 hektar lahan kopi namun pada 2014 menjadi 24.726 hektar dan pada 2015 berkurang lagi menjadi 24.721 hektar. Hal ini berdampak terhadap turunnya produksi kopi dalam bentuk berasan (green bean) yaitu 17.331 ton pada 2013, turun menjadi 15.298 ton (2014) dan 15.293 ton (2015).
Angka-angka di atas merupakan data dari seluruh wilayah produksi kopi Bali. Bangli, kabupaten di mana Kintamani berada, menyumbang hampir 57 persen dari jumlah total produksi kopi arabika maupun robusta di Bali. Sekitar 25 persen di Kabupaten Buleleng. Sisanya di kabupaten lain yaitu Badung, Tabanan, dan Gianyar.
Berdasarkan fakta dan data penurunan produksi kopi di Kintamani tersebut, Hendarto Setyobudi, pengusaha kopi di Desa Mengani, Kecamatan Kintamani menyampaikan kekhawatiran lebih besar. “Jika tidak diurus dengan serius, kopi kintamani hanya akan tinggal sejarah,” katanya.
Kekhawatiran Hendarto itu berdasarkan pengalamannya berbisnis kopi di Kintamani. Dia menambahkan, selain penyebab seperti perubahan cuaca, alih fungsi lahan kopi ke jeruk, serta berkurangnya lahan juga karena petani kurang melakukan perawatan kebun.
“Tidak ada perawatan kebun sehingga semak-semak terlalu tinggi. Padahal, tanaman kopi membutuhkan cukup sinar matahari agar buahnya bagus,” ujarnya. Menurutnya, saat ini per hektar lahan hanya menghasilkan 4-5 ton biji kopi gelondong merah. Itu pun jika dirawat dengan baik. Jika tidak dirawat, dia menambahkan, hasil panennya hanya 1 ton per hektar.
Sebagai pengusaha kopi, Hendarto membeli kopi dari petani di seluruh kawasan. Dia dan Jati merupakan pengusaha yang mengolah dan menjual kopi tersebut ke kota-kota lain di Indonesia, terutama Jakarta, Surabaya, dan Denpasar. Mereka menjual kepada pemilik kafe dan sekitarnya. Kopi kintamani juga sebagian dijual kepada eksportir.
Berkurangnya jumlah produksi kopi kintamani berdampak terhadap kenaikan harga biji kopi. Menurut Jati, saat ini harga gelondong merah mencapai Rp8.200 per kg. Menurut Hendarto sekitar Rp 7.500. Harga ini memang menguntungkan bagi petani karena tinggi. Namun, menurut Hendarto, tidak adil bagi pembeli karena mereka masih harus mengolahnya lagi sebelum dijual ke pihak lain.
Pemangkasan Massal
Menurut Hendarto, makin menurunnya jumlah produksi kopi di Kintamani menjadi persoalan serius bagi pengembangan kopi di Bali. Sebab, Kintamani adalah pusat produksi utama kopi di Bali.
Untuk itu, dia menyarankan agar petani kopi di Kintamani melakukan pemangkasan massal agar jumlah produksi kembali normal, berkisar 7-8 ton per hektar. “Agar petani bisa melakukan pemangkasan secara massal, pemerintah perlu memberikan bantuan modal misalnya untuk membeli gergaji dan gunting,” katanya.
Menanggapi usulan tersebut, Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Perhutanan Kabupaten Bangli Ni Wayan Manik mengatakan, pemerintah sudah melaksanakan program pemangkasan sebagai bagian dari peningkatan kualitas dan kuantitas produksi di tingkat hulu.
Manik mengatakan program pemangkasan sudah berpengaruh terhadap kenaikan jumlah produksi. Namun Manik tak bisa menyebut data kenaikan secara pasti dengan alasan dia baru menjabat sehingga tidak hapal dengan data-datanya.
Di tingkat hilir, Manik mengatakan pemerintah juga sudah mendampingi petani untuk melakukan pengolahan kopi melalui perusahaan pengolahan kopi PT Bhakti Mukti Bangli. “Kopi kintamani sudah diekspor hingga Jepang sehingga menjadi komoditas andalan Bali. Karena itu pengembangan kopi termasuk perhatian utama bagi Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Perhutanan Bangli,” katanya.