Penyelundupan Trenggiling Masih Saja Terjadi, Mengapa?

Sebanyak 657 ekor trenggiling (Manis javanica) dalam kondisi beku diamankan Polda Jawa Timur, dari rumah tersangka berinisial SF, warga Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Ratusan trenggiling itu disimpan dalam lima unit freezer atau kotak pendingin, yang siap dipasarkan oleh pengepul berinisial JH, yang saat ini berstatus buron.

Penangkapan pelaku berawal dari laporan masyarakat, terhadap aktivitasnya sebagai penjual tokek. Pelaku sudah lima tahun ini menyimpan trenggiling, yang diakui sebagai titipan JH.

“Kami masih kembangkan hasil tangkapan ini, dan kami belum bisa mengatakan kemana barang ini akan dikirim,” ujar AKBP Eko Hengky, Kasubdit Penmas Polda Jawa Timur, kepada Mongabay akhir pekan ini.

Kepala Balai Besar Konservasi Sumber daya alam (BKSDA) Jawa Timur, Ayu Dewi Utari mengatakan, barang bukti trenggiling rencananya segera dimusnahkan agar tidak disalahgunakan.

BKSDA Jawa Timur juga akan melakukan langkah pencegahan perdagangan satwa liar dilindungi, termasuk melalui media online. Sosialisasi akan dilakukan ke lembaga pendidikan maupun masyarakat, dengan melibatkan semua elemen pemerhati satwa dan lingkungan. “Kami terus lakukan sosialisasi bersama NGO, menyadarkan masyarakat untuk tidak memelihara atau menangkar satwa liar dilindungi,” ujar Ayu.

Kasus

Irma Hermawati, Legal Advisor Wildlife Crime Unit (WCU) mengatakan, penyelundupan trenggiling ini termasuk yang terbesar di 2016. Akhir 2014, Mabes Polri juga telah menangkap penyelundup trenggiling sebanyak lima ton di Medan.

Maraknya perburuan trenggiling di alam, kata Irma, dipicu kepercayaan masyarakat dan warga negara tertentu bila memakan daging atau organ tubuhnya akan menambah kebugaran. “Ada yang dibuat sup, dimakan, untuk bahan kosmetik, juga keberuntungan. “Bahkan, sisik yang dijual terpisah seharga US 5 Dollar per keping, atau US 600 Dollar untuk seekor trenggiling yang biasanya memiliki 120 keping sisik.”

657 ekor trenggiling beku tanpa sisik dalam 5 freezeer ini disita polisi dari rumah pelaku di Jombang, sekarang diamankan di Mapolda Jawa Timur. Foto: Petrus Riski
657 ekor trenggiling beku tanpa sisik dalam 5 freezeer ini disita polisi dari rumah pelaku di Jombang, sekarang diamankan di Mapolda Jawa Timur. Foto: Petrus Riski

Irma menuturkan, penyelundupan trenggiling ke luar negeri biasanya dikirim ke Tiongkok, Vietnam, dan Thailand. “Masih banyak yang lolos, karena biasanya dicampur ikan beku lalu  ditulis produk perikanan pada dokumen.”

Sementara Ketua PROFAUNA Indonesia, Rosek Nursahid menyebutkan, penyelundupan trenggiling terjadi karena tingginya permintaan daging maupun sisik. Daging tersebut banyak dimanfaatkan untuk olahan makanan di restoran-restoran Tiongkok, sementara sisiknya diduga untuk bahan baku sabu kualitas bagus. “Itu yang membuat penyelundupan trenggiling selalu dan terus terjadi dalam jumlah besar.”

Menurut Rosek, tidak ada tempat di Jawa Timur yang secara khusus populasi trenggiling melimpah. Pengepul mendapatkan trenggiling dari berbagai daerah, taman nasional, maupun hutan, sebelum menjualnya ke pemesan.

“Biasanya di Tahura R. Soerjo, pegunungan Kawi dan masih banyak lagi tempat penangkapan trenggiling. Pemburu biasanya membawa anjing untuk menangkapnya.”

Trenggiling merupakan satwa yang tubuhnya dilindungi sisik. Di Indonesia, populasinya tersebar di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Meski telah dilindungi, namun perburuan terus terjadi.

Barang bukti trenggiling mati yang akan diselundupkan ke Singapura melalui Bandara Juanda, Surabaya, Juli 2015 lalu. Foto: Petrus Riski

Mitos

Di masyarakat Tiongkok dan Indochina, daging dan organ tubuh trengging merupakan salah satu bahan racikan obat tradisional yang disebut traditional chinese medicine (TCM). Satwa liar yang masuk kategori Apendiks II ini, daging dan organ tubuhnya dipercaya mampu menyembuhkan penyakit.

Prof. Gono Semiadi, ahli mamalia dan Wildlife Management Zoologi-LIPI mengungkapkan, dari penelitian dan kajian yang telah dilakukan LIPI, dalam daging dan organ tubuh trenggiling tidak ditemukan kandungan atau khasiat yang bersifat obat untuk menyembuhkan penyakit.

“Secara farmakologi, tidak ada khasiat obat. Tapi, dalam dunia pengobatan, kadang bukan senyawanya saja yang harus mempunyai nilai kesehatan, tetapi juga sugesti untuk menyembuhkan.”

Di masyarakat Tiongkok, daging trenggiling termasuk makanan para “pembesar” atau golongan atas, seperti halnya sarang burung walet. “Kalau ditanya nilai apa yang ada, ya nilai gizi, seperti daging ayam. Namun, untuk menyembuhkan penyakit, tidak ada.”

Terkait informasi sisik trenggiling sebagai bahan racikan sabu, Gono menampik anggapan tersebut. Menurutnya, tidak ada nilai farmakologi dari sisik trenggiling, terlebih bahan racikan setara narkoba. “Sisik trenggiling itu hampir sama dengan jaringan kuku manusia, mendekati sekali, meskipun ada jaringan semacam rambut. Banyaknya perburuan, lebih karena si pengumpul berani bayar mahal. Di Tiongkok, populasinya sudah sangat rendah, sehingga mereka minta ke negara tetangga.”

Perburuan trenggiling dalam jumlah besar, menurut Gono, dipastikan mengganggu rantai ekosistem yang ada. Trenggiling merupakan satwa pemakan rayap dan semut-semutan, sehingga berkurang atau hilangnya trenggiling pada suatu ekosistem mengakibatkan meledaknya populasi rayap atau semut. “Untuk populasinya kita belum tahu persis. Secara biologis belum banyak yang memahami perihal satwa ini,” pungkasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,