Kisah Sukses Para Petani Salassae Tebar ‘Virus’ Organik

Arman adalah petani dari Desa Salassae, Kecamatan Bulukumpa, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Sejak tiga tahun lalu, bersama sejumlah pemuda di desanya ia memproklamirkan diri bebas dari penggunaan bahan-bahan kimiawi dalam bertani melalui pertanian organik. Mimpi mereka kini menjadi kenyataan. Kisah sukses mereka seperti virus menyebar cepat ke petani-petani lain di Sulawesi.

Dalam diskusi bertajuk ‘Pertanian Alami dan Kedaulatan Pangan di Salassae’ yang diselenggarakan di Kantor Bakti, Makassar, awal Agustus 2016 lalu, Arman bercerita bagaimana inisiatif itu dilakukan, dimulai dari sebuah langkah kecil dan mimpi sederhana.

“Saya dulu pakai pupuk konvensional berupa pupuk kimia, namun pemakaian yang banyak dan terus menerus membuat sawah kami sampai hancur tanahnya. Hasilnya pun lebih sedikit dibanding modal yang kami keluarkan. Untuk sawah saya seluas 3,5 hektar, harus keluar biaya Rp5 juta, namun hasilnya tak lebih dari 20 karung per hektar. Bahkan pernah hanya 5 karung saja,” kisah Arman.

Ia kemudian memutuskan untuk hijrah ke pertanian organik karena biaya pertanian konvensional yang semakin mahal. Belum lagi ketersediaan pupuk yang terbatas dan kadang telat datangnya.

“Kadang kita menunggu pupuk tidak ada yang datang. Kadang datang ketika sawah sudah mulai berbuah. Jadi pupuknya tidak terpakai lagi. Akhirnya padi kadang tidak berbuah,” tambahnya.

Pilihannya pada pertanian organik karena seluruh bahan-bahan yang dibutuhkan untuk bertani tersedia di alam yang tak membutuhkan pembiayaan untuk pengadaannya. Ia juga bermimpi mengembalikan kesuburan tanah di desanya, yang selama rusak karena ketergantungan yang besar pada produk-produk kimiawi.

Ketika ia memulai pertanian organik ini di tahun 2013, hasilnya memang tak segera kelihatan. Sebagian warga juga masih takut beralih ke sistem pertanian oragnik ini karena dianggap berisiko besar. Masih sedikit yang percaya pertanian bisa dikelola dengan baik tanpa input kimia di dalamnya.

Momentum terjadi pada tahun 2015, ketika terjadi serangan penyakit blast dan kresek secara besar-besaran terhadap sawah mereka. Gagal panen dimana-mana, kecuali untuk sawah milik Arman dan sejumlah petani lainnya yang sudah berpindah ke pertanian organik.

“Petani-petani lain di sekitar sawah saya akhirnya mulai tertarik untuk mengikuti jejak kami. Ada juga petani lain yang pernah organik, namun keluar, kini ikut lagi sama kami.”

Pemuda petani Salassae, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan menciptakan sendiri pupuk cair menggunakan bahan-bahan yang mudah diperoleh di sekitar pekarangan rumah. Penggunaan pupuk organik ini memangkas biaya pertanian mereka yang selama ini banyak digunakan untuk pembelian pupuk dan pestisida. Foto: Wahyu Chandra
Pemuda petani Salassae, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan menciptakan sendiri pupuk cair menggunakan bahan-bahan yang mudah diperoleh di sekitar pekarangan rumah. Penggunaan pupuk organik ini memangkas biaya pertanian mereka yang selama ini banyak digunakan untuk pembelian pupuk dan pestisida. Foto: Wahyu Chandra

Peningkatan hasil pertanian Arman ternyata bertahap, jika tahun pertama ia hanya  bisa menghasilkan 15 karung per hektarnya, maka tahun kedua naik menjadi 20 karung. Sekarang hasilnya telah mencapai 25 karung.

Tidak hanya di pertanian, dalam beternak pun mereka menerapkan sistem organik, menghasilkan ayam yang berkualitas dan sehat untuk dikonsumsi.

“Lemaknya tidak ada, seperti ayam kampung. Ayamnya juga tidak stres. Kandangnya pun tidak berbau seperti peternakan ayam pada umumnya,” tambah Arman.

Ketika memulai inisiatif organik ini, para petani membuat kompos mikroba yang kemudian digunakan di lahan pertanian mereka sebanyak dua kali. Tindakan ini ternyata berhasil mengembalikan unsur hara tanah. Hasilnya terbukti dua tahun kemudian ketika tanpa menggunakan kompos, nitrat dan nutrisi lagi, mereka bisa panen dengan  baik.

“Tantangan terbesarnya di awal memang pada kondisi tanah yang sudah sangat rusak maka dibutuhkan upaya pemulihan kesuburan dan fungsi tanah. Di situlah fungsi kompos dan mikroorganisme yang kita berikan.”

Pertanian sebagai induk peradaban

Inisiatif pertanian organik di Desa Salassae ini tak terlepas dari peran Armin Salassa. Ia adalah warga Salassae yang hidup lama di perantauan. Ia memilih pulang kampung, mengumpulkan para pemuda yang umumnya mantan TKI dari Malaysia untuk bersama memikirkan nasib pertanian di kampung mereka.

“Pikiran kami saat itu adalah para mantan TKI ini sudah berbulan-bulan hanya tidur-tiduran saja karena tidak ada keahlian. Tidak ada uang karena tidak ada pekerjaan. Tidak ada pekerjaan tidak ada uang. Tidak ada uang tidak ada makanan. Ini adalah lingkaran kemiskinan. Tantangannya, bagaimana cara memberdayakan mereka yang tidak mempunyai keahlian dan pendidikan ini.”

Sebagai langkah awal mereka menyepakati membentuk lembaga keuangan mikro yang disebut Komunitas Swabina Pedesaan Salassae (KSPS). Organisasi ini ternyata berkembang pesat sebagai wadah bagi para petani organik. Mereka bahkan sempat mendapat pelatihan dan pendampingan dari Bank Indonesia.

Kompos mikroorganisme yang dibuat petani Salassae, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan digunakan untuk mengembalikan unsur hara tanah dengan cara pertanian organik. Terbukti dengan hanya dua kali pemberian kompos ini kondisi tanah membaik dan menghasilkan panen yang baik. Foto: Wahyu Chandra
Kompos mikroorganisme yang dibuat petani Salassae, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan digunakan untuk mengembalikan unsur hara tanah dengan cara pertanian organik. Terbukti dengan hanya dua kali pemberian kompos ini kondisi tanah membaik dan menghasilkan panen yang baik. Foto: Wahyu Chandra

Armin mengakui tidak memiliki pengetahuan yang spesifik tentang pertanian organik. Pengetahuannya diperoleh dari interaksi dengan petani-petani organik di Aceh dan Jakarta. Dari merekalah Ia mengumpulkan banyak buku-buku pertanian organik yang kemudian dibawa untuk diterapkan di kampung.

“Modal saya adalah keyakinan, karena secara ilmu sangat terbatas, dan malah kemudian bertemu dengan petani-petani yang tak punya ilmu juga. Lalu kita coba praktekkan apa yang ada di  buku. Hasilnya daun cabenya lebar-lebar. Ada daun kacang panjang yang lebih panjang dari biasanya.”

Keberhasilan inilah yang kemudian mereka diceritakan ke petani-petani lain, bahkan lintas daerah sehingga semakin banyak petani lain yang ingin bergabung. Ketika Mongabay berkunjung ke Desa Salassae tahun 2014 silam, jumlah mereka hanya puluhan saja, kini telah mencapai ratusan orang.

Mereka kini cukup aktif keliling ke berbagai daerah, hingga luar Sulawesi Selatan membagi inspirasi mereka. Pada tahun 2015 lalu mereka membentuk organisasi yang disebut Federasi Petani Sulawesi Selatan, yang bertujuan mendorong pemerintah dan menyebarkan informasi mengenai praktik organik ini. Mereka membuat pelatihan-pelatihan untuk petani pelatih yang akan melatih petani-petani lainnya.

Di Kabupaten Bantaeng membidani lahirnya Serikat Petani Butta Toa. Daerah lain yang siap membentuk organisasi serupa adalah Kabupaten Jeneponto dan Enrekang.

Menurut Armin, ada semacam aturan yang mereka terapkan dalam organisasi bahwa mereka dilarang bekerja tanpa didahului dengan diskusi terlebih dahulu. Semua bacaan dan diskusi harus tuntas sebelum mereka bekerja di sawah.

“Karena begini, kalau kita ada perencanaan maka ketika keliru bisa terkoreksi sebelum diterapkan. Tapi kalau langsung tanam dan hasilnya salah, maka bisa saling menyalahkan, kenapa dulu tanam di situ. Jadi teman-teman petani di Salassae wajib dulu diskusi baru menanam. Tidak boleh tanpa perencanaan.”

Mereka juga dilatih untuk bicara dan mengajarkan ilmu mereka ke petani lain. Pupuk-pupuk ataupun pestisida alami dan pengetahuan bertani tidak dikomersilkan.

“Tidak ada orang di Salassae yang tergoda mau menjual informasi itu. Karena kita sudah sepakat bahwa itu tidak boleh dijual. Bahwa itu harus sebarluaskan ke seluruh Indonesia. Jadi prinsip kami siapa yang belajar maka selanjutnya ia wajib mengajar ke petani lain. Jadi semua petani kami di Salassae dilatih untuk bicara, menjelaskan dan mengajar kepada yang lainnya.”

Armin mengakui, inisiatif organik ini lahir berangkat dari pemahaman bahwa mengurus pertanian sama haknya dengan mengurus induknya peradaban. Kapan pertanian rusak maka akan merusak anak-anak peradaban yang lain, seperti politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya.

“Sejak zaman dahulu sudah ada pertanian. Jadi kalau tidak ada yang mengurusi induk peradaban ini maka anak-anak peradaban yang lain akan hancur pula.”

Peran perempuan

Salah satu kunci sukses berhasilnya pertanian organik di Desa Salassae adalah besarnya keterlibatan perempuan. Bahkan, menurut Muhammad Nur, petani Salassae lainnya, peran perempuan malah lebih besar dibanding laki-laki karena perempuan lah yang paling paham bagaimana membuat pupuk-pupuk cair.

“Mereka memahami nitrogen, fosfor, kalium kalsium dan unsur-unsur mikronya. Jadi ibu-ibu itu yang membuat pupuk dari sisa nasi itu. Semuanya dibuat oleh ibu-ibu. Kita laki-laki jadi seperti pensiun,” katanya.

Dalam struktur organisasi KSPS, peran perempuan pun sangat besar, dalam pengemasan produk, pasca panen, hingga pemasaran. KSPS ini bahkan dipimpin oleh perempuan.

“Kita laki-laki hanya mengambil sedikit peran. Perempuan juga yang paling sering kasih materi pelatihan ke petani-petani lain. Saya justru melihat tugas mereka lebih banyak dibanding kami laki-laki.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,