Ritual Sipaha Lima Parmalim, Ucap Syukur Limpahan Hasil Alam

Gondang Sebangunan, musik khas Batak ini, samar-samar terdengar dari kejauhan. Tiupan seruling dan gendang saling bersahutan, makin terdengar jelas, saat saya masuk ke Desa Hutatinggi Laguboti, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, Senin (18/7/16).

Di desa ini, setiap tahun digelar ritual Sipaha Lima, dalam kelender Batak bulan kelima atau dalam kelender Masehi pada Juli. Masyarakat Parmalim, mengadakan syukuran atas rezeki dan kesehatan selama satu tahun. Ritual digelar seharian selama dua hari, Minggu-Senin  (17-18/7/16).

Komunitas Parmalim terbesar di Desa Hutatinggi Laguboti. Saat ritual ini, ribuan pengikut Parmalim di seluruh nusantara berkumpul. Mereka berdoa, menari. Mereka tampak bahagia bisa berkumpul.

Pimpinan tertinggi Parmalim (I Huta Parmalim) Hutatinggi Laguboti, bernama Raja Marnangkok Naipospos. Dia mengenakan ikat kepala hitam, terlihat ada rumbai merah di kedua sisi kanan dan kiri.

Sepanjang ritual, Raja Marnangkok memimpin doa dan persembahan kepada Yang Maha Pencipta yang memberikan rezeki, dan kesehatan.

Raja Marnangkok Naipospos adalah cucu Raja Mulia Naipospos, meninggal dunia pada 18 Februari 1956.

Monang Naipospos, Ketua Puguan Parmalim mengatakan, hingga kini ada 6.000 jiwa atau 1.500 keluarga Komunitas Parmalim, tersebar di seluruh nusantara.

Dalam ritual Sipaha Lima Parmalim, ada penyembelihan kerbau hitam. Foto: Ayat S Karokaro
Dalam ritual Sipaha Lima Parmalim, ada penyembelihan kerbau hitam. Foto: Ayat S Karokaro

***

Begitu tiba di pintu masuk, tampak replika ayam jago di atap Bale Pasogit atau rumah Parmalim, berwarna merah, putih dan hitam. Ada empat bangunan di komplek ini. Sebuah gedung sebagai balai doa atau Bale Partonggoan, Balai Sakral atau Bale Parpitaan, Balai Pertemuan atau Bale Pangaminan, dan Balai Pekerjaan Dapur atau Bale Parhobasan. Semua dibangun berdasarkan corak khas Batak.

Iringan musik Gondang Sebangunan makin terdengar keras. Warga Parmalim berkumpul di lapangan memakai ikat kepala putih dan tutup kepala berbeda.

Bagi pria dan perempuan sudah menikah pakai tutup kepala disebut tali-tali berwarna putih. Ia menandakan kesucian. Bagi para pemimpin mengenakan tali-tali hitam, berarti kepemimpinan dan tanggung jawab.

Khusus perempuan wajib pakai sarung atau ragi berbentuk ulos jenis runjat, kebaya, selendang atau hande-hande bervariasi, yaitu mangiring, sedum, bintang maratur. Rambut disanggul.

Kini, mulai ritual menanam batang pohon atau borotan. Nasi putih segenggam diletakkan dalam tanah yang akan digali dan jadi lubang borotan. Setelah itu,  belasan orang bersama mengangkat kayu ukuran besar dari satu tempat ke tempat yang disiapkan.

Oloppon…oloppon…oloppon….” Begitu mereka berteriak saling bersahutan sampai pohon ukuran besar selesai tanam.

Bagi mereka, menancapkan batang pohon sebagai simbol menghargai dan menjaga alam dari kerusakan dan penebangan pohon tanpa aturan. Bagi warga Parmalim, menebang tiga pohon wajib tanam pohon lain.

Memakai ikat kepala hitam dan terdapat warna merah di kedua sisi adalah pimpinan tertinggi Parmalim Hutatinggi-Laguboti bernama Raja Marnangkok. Foto: Ayat S Karokaro
Memakai ikat kepala hitam dan terdapat warna merah di kedua sisi adalah pimpinan tertinggi Parmalim Hutatinggi-Laguboti bernama Raja Marnangkok. Foto: Ayat S Karokaro

Setelah borotan, tampak sejumlah warga Parmalim menggiring satu kerbau hitam. Ini binatang yang akan disembelih sebagai persembahan rasa syukur pada nikmat alam.

Monang Naipospos, mengatakan, bagi mereka menjaga lingkungan sebuah kewajiban dan kebutuhan. Mereka sadar betul, menjaga keseimbangan alam, sangat baik bagi kehidupan mereka.

Kala perusakan lingkungan terus terjadi, katanya, sama saja merusak diri sendiri. Parmalim menyadari, tak akan melakukan itu, dan tetap memegang teguh para leluhur.

“Kalau hutan rusak bencana dating. Kami tak mau itu terjadi. Menjaga alam sebuah kebutuhan bagi kami, ” katanya.

Ritual Sipaha Lima,  katanya, merupakan persembahan hasil “Gabe na niula” atau hasil kehidupan yang dicapai selama satu tahun.

Dulu, katanya, leluhur mereka petani. Ritual Sipaha Lima, juga dilakukan persembahan matumona atau persembahan hasil panen pertama selama satu tahun. Panen perdana itu, katanya, lebih dahulu disimpan untuk persembahan kepada Mulajadi Nabolon.

Sebulan sebelum Sipaha Lima, wajib memberikan tiga pikul hasil panen per keluarga  (ugasan torop/sokong). Ia sebagai wujud kasih sayang dan saling tolong menolong sesama warga Parmalim.

“Jika tak sanggup, dibebaskan dari kewajiban memberikan sokong tiga pikul hasil panen. Ini bentuk puji syukur hasil panen.  Sudah berlangsung sejak leluhur.”

Mengenakan ulos dan pakaian khas Batak, perempuan warga Parmalim ini berkumpul memperingati ritual Sipaha Lima. Foto: Ayat S Karokaro
Mengenakan ulos dan pakaian khas Batak, perempuan warga Parmalim ini berkumpul memperingati ritual Sipaha Lima. Foto: Ayat S Karokaro
Perayaan Sipaha Lima di Laguboti. Foto: Ayat S Karokaro
Perayaan Sipaha Lima di Laguboti. Foto: Ayat S Karokaro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,