Satu per satu tekuyung berhasil dikeluarkan Dewi dari tumpukan daun-daun dalam anyaman bambu. Tangkuk, begitu nama anyaman buat menjaring ikan maupun tekuyung ini.
Tekuyung, sejenis siput yang hidup di sungai dan biasa menempel di sela batu-batuan. Hampir setiap sore, perempuan 35 tahun ini membawa tangkuk.
Dewi bersama dua keponakan perempuan menangkap tekuyung sembari menikmati dingin dan aliran deras Sungai Batang Langkup.
Sungai ini, berada di pinggir pemukiman warga, berbatasan langsung dengan persawahan di Desa Rantau Kermas. Tradisi ini dapat dilakukan jika kedalaman sungai dangkal.
Sungai Batang Langkup, menjadi nadi kehidupan yang mengairi ribuan hektar persawahan mereka. Meskipun kemarau panjang, Sungai Batang Langkup, belum pernah kekeringan.
Dewi mengumpamakan, kekeringan di Sungai Batang Langkup sebagai satu pertanda kiamat.
“Dari nenek buyut kami belum pernah ada sejarah Sungai Batang Langkup kekeringan. Kalau kekeringan itu tanda kiamat,” katanya.
Saat kemarau panjang 1997, sungai ini masih mampu mengairi sawah-sawah mereka.
***
Hutan Adat Rantau Kermas menjadi sumber utama pasokan air ke Sungai Batang Langkup.
Hutan adat ini, awalnya diusulkan masyarakat Desa Rantau Kermas seluas 181 hektar. Kopi, merupakan produk utama mereka. Ada juga kayu manis dan lain-lain.
Awal 2015, Bupati Merangin mengukuhkan hutan Kermas, Kecamatan Jangkat, Merangin seluas 130 hektar. Desa ini, bagian masyarakat adat Serampas.
Masyarakat adat Serampas, tersebar di lima desa, yaitu, Desa Renah Alai, Rantau Kermas, Lubuk Mentilin, Rantau Kermas dan Desa Renah Kemumu.
Kelima desa ini masih memegang teguh nilai-nilai adat sejak nenek moyang mereka. Menjaga hutan dengan kearifan mereka.
Kearifan mereka berbuah manis, tak hanya bisa memenuhi kehidupan dari hutan, Kelompok Pengelola Hutan Adat (KPHA) Rantau Kermas Marga Serampas di Jangkat, Merangin Jambi, meraih juara ketiga apresiasi Wana Lestari 2016. Penghargaan ini diberikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Hasan Apede, Kepala Desa juga wakil ketua KPHA Rantau Kermas, tampil menerima penghargaan Menteri LHK. Penyerahan oleh Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Hadi Daryanto, di Manggala Wanabakti Jakarta, 16 Agustus lalu.
“Alhamdulillah, bangga kami bisa meraih penghargaan ini. Ini meningkatkan semangat kami terus menjaga dan mengelola hutan adat, menjaga kelestarian lingkungan untuk kami dan anak cucu,” katanya.
Pengakuan lewat perda
Baru-baru ini, masyarakat Serampas , mendapat pengukuhan melalui Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 2016 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Serampas.
Mereka tergabung dalam Marga Serampas ini, merupakan memiliki komitmen menjaga hutan dan lingkungan sekitar.
Pengesahan perda ini sejalan dengan implementasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK)-35, tentang hutan adat dan peraturan perundangg-undangan terkait.
Isi perda ini bersifat deklaratif, mengakui, dan memberikan perlindungan terhadap keberadaan dan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat Serampas yang selama ini terabaikan.
Dengan perda ini hak-hak hukum adat Serampas dapat dipulihkan dan menjadi pintu masuk pemberdayaan dan pembangunan di sana.
Manager Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) KKI Warsi, Adi Junedi mengatakan, pengesahan perda ini langkah awal bagi masyarakat Serampas menuju kedaulatan pengelolaan sumber daya alam.
“Tentu sesuai nilai, norma, dan pranata adat di Serampas, tak lepas dari koridor perundang-undangan berlaku.”
Perda ini, katanya, akan menjadi amunisi bagi masyarakat Serampas untuk melindungi hutan adat mereka.
“Baik perlindungan dari masyarakat luar maupun kebijakan yang dinilai merusak lingkungan.”
Dia berharap, dengan ada perda ini bisa jadi landasan hukum Menteri LHK menetapkan status hutan adat Serampas.
“Bisa jadi media resolusi konflik antara Masyarakat Adat Serampas dengan pengelolaan Taman Nasional Kerinci Seblat,” katanya.
Pengesahan perda disambut gembira masyarakat Serampas yang hadir dalam rapat paripurna DPRD Merangin.
“Kami berterimakasih kepada DPRD dan pemda Merangin yang telah mengesahkan perda ini. Tak bisa memberi apa-apa membalas kebaikan mereka,” kata Ketua Forum Masyarakat Adat Serampas, Ishak.
Bagi mereka, pengesahan ini langkah maju dalam mengelola dan mempertahankan wilayah adat agar lestari.
Dia berani menjamin, masyarakat Serampas tak akan menyalahgunakan perda ini. “Kami mampu menjaga hutan dengan baik.”
Dengan pengesahan perda ini, masyarakat Serampas memiliki payung hukum mengelola hutan adat.
“Kami sangat yakin. Kami berjanji menjaga hutan ini. Selama ini kami sudah membuktikan bisa menjaga hutan melalui aturan adat,” katanya.
Kelembagaan masyarakat hukum Adat Serampas ada delapan kedepatian. Yakni, Depati Seri Bumi Puti Pemuncak Alam Serampas, Depati Pulang Jawa, Depati Singo Negaro, Depati Karti Mudo Menggalo, Depati seniudo, Depati Paying, Depati Kertau, dan Depati Siba.
Bupati Merangin Al Haris mengatakan, perlu menetapkan perda karena selama ini masyarakat Serampas terbukti mampu mengelola lahan dalam bentuk penggunaan tanah ajum dan tanah arah.
“Ini bentuk pengelolaan tanah di Serampas yang secara komunal.”
Dia berharap, dengan ada perda masyarakat Serampas tak termarginalkan dalam pembangunan.
”Diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Serampas. Perda tujuan untuk mengatur dan menertibkan masyarakat,” katanya.
Dalam perda ini, ada semacam kesempatan kepada masyarakat untuk meningkatkan perekonomian. “Selama ini mereka ragu bertindak dan ragu berbuat,” ucap Haris.
Pengelolaan lahan adat
Dalam masyarakat adat Serampas ada istilah “Tanah Ajum Tanah Arah.” Berarti, pola pembagian tanah sesuai pemanfaatan, pembagian ini meliputi daerah apa yang boleh dibuka sebagai perladangan dan pemukiman. Tanah ajum berarti tanah boleh dibuka untuk pemukiman atau tempat tinggal penduduk.
Sedangkan tanah arah, berarti tanah boleh buat berkebun atau perladangan. Tanah basah untuk persawahan dan tanah kering untuk berladang.
Kriteria membuka lahan ini, di tempat datar dan berada dekat sungai dalam kawasan adat Serampas.
M Tanuin, Depati Payung mengatakan, dengan tanah ajum dan tanah arah, masyarakat membagi tanah sesuai penggunaan masing-masing.
Tanah ajum dan tanah arah ini, katanya, memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat Serampas.
“Tanah ini, warisan nenek moyang yang harus dijaga dan dilestarikan.”
Warga yang ingin mendapatkan tanah ajum, dan tanah arah, terlebih dahulu melapor kepada depati.
Apabila ada warga Serampas ingin membuka perladangan dalam satu depati, dia boleh membayar uang adat segantang beras dan seekor ayam. Sedangkan membuka perladangan berbeda depati, akan kena sanksi adat berupa beras 20 gantang dan kambing satu ekor.
Ada beberapa ciri-ciri tanah ajum dan tanah arah, seperti hanya masyarakat Serampas yang berhak atau bebas menggunakan tanah-tanah itu. Orang luar, katanya, tak boleh mengelola tanah ajum dan tanah arah di wilayah Serampas.
Kalaupun ingin mengelola, katanya, harus menjadi anak buah (mengikuti) warga Serampas, tak boleh membuka lahan baru.
Warga Serampas, boleh mengambil manfaat dari tanah ajum dan tanah arah hanya untuk keperluan sendiri. Jika untuk kepentingan orang lain, hak harus dicabut. Orang lain yang mengambil manfaat atas tanah itu akan mendapatkan sanksi adat.
Depati, katanya, bertanggung jawab atas tindakan-tindakan hukum oleh pihak-pihak lain di luar wilayahnya.
Tanah ajum dan tanah arah ini, dapat diperjualbelikan kepada masyarakat di luar kawasan adat Serampas. Apabila dijual ke luar, ada sanksi adat. Bahkan, bisa kena sanksi usir dari wilayah adat Serampas.
“Jelaslah penguasaan tanah ajum dan tanah arah hanya dibatasi untuk warga adat Serampas,” ucap Tanuin.
Untuk warga luar Serampas, katanya, berlaku ketentuan-ketentuan yang mengikat. “Jika ada melanggar aturan, tanah akan balik ke adat. Yang bersangkutan kena sanksi adat.”
Perda Masyarakat Hukum Adat Serampas
Pohon-pohon berdiameter lebih satu meter banyak di Hutan Adat Rantau Kermas. Foto: Elviza Diana