Kertabuana, Desa Penghasil Padi yang Merana Akibat Himpitan Tambang Batubara

Memasuki Desa Kertabuana yang berada 12 kilometer dari Tenggarong, Ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, kita serasa berada di Pulau Dewata. Deretan rumah dengan pura di halaman rumah, mulai sederhana hingga penuh ornamen, terlihat jelas di sini.

Tahun 1980, sebanyak 250 kepala keluarga dari Bali memang mengikuti program transmigrasi. Saat itu secara administratif desa ini masuk Desa Embalut, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Kemudian, menjadi desa tersendiri bernama Kertabuana.

“Saat kami datang, masih berupa hutan. Banyak batang pohon besar,” ujar Nyoman Derman (55), warga Desa Kertabuana.

Bertahun Nyoman dan warga mengelola hutan menjadi lahan pertanian, baik persawahan maupun perladangan. Kerja keras mereka berbuah manis, Kertabuana kemudian dikenal sebagai sentra penghasil padi. Bukan hanya di Kutai Kartanegara melainkan juga di Kalimantan Timur.

Namun, predikat itu meluntur seiring masuknya perusahaan tambangan batubara ke desa tersebut. Di selatan desa, beroperasi PT. Kitadin, anak perusahaan Group Banpu dan di utara ada PT.Mahakam Sumber Jaya (MSJ), Group Harum Energi.

Akibat operasi pertambangan itu, berdasarkan data Greenpeace Indonesia Maret 2016, sekitar 50 persen lahan pertanian dan perladangan produktif Desa Kertabuana dikuasai perusahaan yang dikonversi menjadi areal pertambangan.

Petani di Desa Kertabuana yang memanen padinya. Sebagian besar lahan pertanian di desa ini sudah beralih menjadi areal tambang. Foto: Yustinus S.Hardjanto
Petani di Desa Kertabuana yang memanen padinya. Sebagian besar lahan pertanian di desa ini sudah beralih menjadi areal tambang. Foto: Yustinus S.Hardjanto

Pilih padi

Di lahan belakang rumahnya, Nyoman Derman menanam padi, kacang panjang, tomat, dan mentimun. Sambil menghidangkan timun yang baru dipetik dan kelapa muda, ia menceritakan kisah perlawanannya terhadap perusahaan tambang, akhir pekan lalu.

“Dulu lahan pertama saya di sana. Kini telah menjadi area pertambangan. Perubahan dimulai tahun 2000-an,” ujarnya menunjuk ke utara.

Saat itu, Nyoman merupakan ketua kelompok Tani Suka Karya. Pada 2003, lahan persawahannya tiba-tiba dikepung aktivitas persiapan penambangan. Nyoman melawan, tidak mau melepas lahannya kepada perusahaan. Ia dilaporkan sebagai provokator oleh perusahaan dan dianggap menghambat operasi pertambangan.

Akibatnya, Nyoman meringkuk tiga bulan di penjara. Keluar dari tahanan, ia melepas sawahnya. “Saya minta ganti rugi dengan angka besar. Uangnya, saya belikan lahan ini.”

Bertani di lahan baru tidak membuat Nyoman terbebas dari masalah, sebab tak jauh dari lahannya terlihat aktivitas penambangan oleh perusahaan. “Sawah di sini adalah tadah hujan.”

Dengan musim yang tidak menentu dan luapan air yang membawa lumpur bekas tambang, membuat kehidupan petani makin sulit. Mereka bukan hanya mengalami penurunan hasil, melainkan juga kerap gagal tanam.

Kehadiran tambang telah merenggut kemakmuran warga Desa Kertabuana. Selain kesulitan air bersih, gagal panen dan kesulitan tanam juga dialami petani. Foto: Yustinus S. Hardjanto
Kehadiran tambang telah merenggut kemakmuran warga Desa Kertabuana. Selain kesulitan air bersih, gagal panen dan kesulitan tanam juga dialami petani. Foto: Yustinus S. Hardjanto

Masalah tersebut sudah disampaikan ke pemerintah maupun perusahaan, namun sampai sekarang tidak ada penyelesaian. Kesulitan yang dihadapi oleh para petani, membuat mereka terdesak untuk melepaskan lahannya ke perusahaan. Lahan yang telah dibebaskan oleh perusahaan dan belum ditambang itu kemudian dipinjam oleh warga untuk bercocok tanam. “Sekarang, banyak petani yang menjadi buruh derep (panen padi),” ujar Nyoman.

Selain limpasan air buangan, operasi pertambangan batubara juga membuat sumber air bersih hilang dan tercemar. Anak sungai yang menjadi air baku untuk perusahaan air minum terganggu dan tak bisa dipakai lagi. Kini, air baku yang diolah adalah air yang bersumber dari lubang bekas tambang milik PT. MSJ.

Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Batubara Greenpeace Indonesia mengatakan, setelah operasi tambang mencapai Kertabuana, desa yang subur itu menjadi kesulitan sumber air bersih. Warga harus menggali sumur hingga kedalaman 20 meter lebih. “Padahal, dahulu sebelum perusahaan tambang beroperasi, banyak sumber airnya.”

Bondan menuturkan, ia pernah menemui pengelola air minum dan menanyakan kelayakan air olahan dari lubang bekas tambang itu. Pengelola menyebutkan, air tersebut layak dipakai dan pernah diteliti. Namun, kami tak tahu persis bagaimana penelitian itu, apakah dilakukan berkala atau tidak. Selain itu, air yang diambil tersebut bagian permukaan atau sampai endapan lumpur, tidak diketahui juga.

“Bagaimanapun, air bekas lubang tambang membawa dampak buruk, sebagaimana diutarakan oleh warga disini yang umumnya masih bertahan sebagai petani,” lanjut Bondan.

Senada, Nyoman mengatakan bahwa kehadiran tambang tidak banyak membantu kehidupan warga. Hanya orang-orang muda yang bisa bekerja dan sekarang juga lesu sehingga banyak pekerja yang dirumahkan.

“Kalau kami yang tua ini tentu lebih padi ketimbang batubara,” pungkasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,