Begini Ceritanya Ketika Konservasi Diteriakkan di Mall di Manado

Ada kemeriahan yang berbeda di Mega Mall, salah satu pusat perbelanjaan di kota Manado, Sulawesi Utara pada Jumat (2/9/2016) kemarin. Bukan hanya kesibukan orang berbelanja, tetapi juga ada panggung dengan aksi musik, pentas teatrikal dan pembacaaan puisi. Juga ada stand informasi.

Ya, itulah kegiatan aktivis dari berbagai lembaga konservasi dalam Festival Konservasi Sulawesi Utara 2016. Festival yang baru pertama kali diselenggarakan di Sulut ini, bertema “Satu Panggung untuk Alam yang Lestari”.

Festival yang berlangsung sampai 3 September 2016, berisi banyak kegiatan, seperti sosialisasi materi konservasi, berbagai macam lomba, musikalisasi puisi, pembagian bibit gratis, fun climbing, dan acara lainnya.

Penyelenggaranya yaitu Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) f/21, bekerjasama dengan berbagai lembaga konservasi di Sulut. LPM f/21 adalah sebuah lembaga fotografi yang fokus pada isu konservasi, lingkungan dan sosial-budaya.

Ronny Buol, Ketua LPM f/21 mengatakan, ide penyelenggaraan festival berasal dari pengalaman menyelenggarakan Festival Maleo 2015 yang hanya melibatkan 3 lembaga saja. Dari situ, pihaknya berkeinginan melibatkan seluruh lembaga konservasi di Sulut, dalam satu acara dan satu panggung menyuarakan untuk kelestarian alam.

“Intinya, kami ingin, masyarakat mengetahui kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan lembaga-lembaga konservasi juga instansi-instansi pemerintah. Karena, selama ini, upaya pelestarian, penelitian, atau peningkatan populasi, hasilnya hanya dikonsumsi orang-orang yang paham konservasi,” ujar Ronny kepada Mongabay.

Menurutnya ketika masyarakat bertindak yang bertentangan agenda konservasi, mereka menjadi pihak yang selalu dipersalahkan. “Padahal, yang terjadi adalah mereka tidak mendapat informasi yang cukup. Karena itu, LPM f/21 coba mengemas cara yang cukup berbeda, seperti hiburan dan edukasi,” jelasnya.

Sudiyono Kepala BKSDA Sulut dan Is Mugiono Direktur PJLHK KLH ketika mengunjungi stand Manengkel Solidaritas dalam Festival Konservasi Sulawesi Utara 2016 di Mega Mall, Manado, Sulawesi Utara, pada Jumat (02/09/2016). Festival yang baru pertama kali diselenggarakan di Sulut ini, bertema “Satu Panggung untuk Alam yang Lestari” diikuti oleh berbagai lembaga konservasi di Sulut. Foto : Themmy Doaly
Sudiyono Kepala BKSDA Sulut dan Is Mugiono Direktur PJLHK KLH ketika mengunjungi stand Manengkel Solidaritas dalam Festival Konservasi Sulawesi Utara 2016 di Mega Mall, Manado, Sulawesi Utara, pada Jumat (02/09/2016). Festival yang baru pertama kali diselenggarakan di Sulut ini, bertema “Satu Panggung untuk Alam yang Lestari” diikuti oleh berbagai lembaga konservasi di Sulut. Foto : Themmy Doaly

Sudiyono, Kepala BKSDA Sulut, mengapresiasi terselenggaranya festival ini. Sambutan masyarakat dan mitra non pemerintah sangat positif. Masyarakat dapat mengetahui dampak dan manfaat konservasi,  misalnya tentang wisata konservasi. Sehingga masyarakat dapat menjadi guide ,membuka penginapan maupun menjual kebutuhan konsumsi bagi wisatawan.

“Efek semacam ini yang kita harap bisa diketahui masyarakat luas. Artinya, dengan melibatkan diri dalam pelestarian alam, masyarakat memperoleh berbagai manfaat, salah satunya peluang peningkatan ekonomi,” terangnya.

Is Mugiono, Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi (PJLHK) KLHK, melihat dukungan luar biasa dari masyarakat terhadap festival ini. Dia meyakini, lewat dukungan tersebut, agenda-agenda konservasi akan semakin mudah dijalankan.

Selama ini, dia mengakui, agenda konservasi sering terkendala dari sisi penegakan hukum yang tidak cukup memberi efek jera. Namun, menurut dia, selain sanksi hukum, sesungguhnya ada juga kegiatan-kegiatan yang banyak sekali melibatkan masyarakat.

Stand pendidikan konservasi Tangkoko dalam Festival Konservasi Sulawesi Utara 2016 di Mega Mall, Manado, Sulawesi Utara, pada Jumat (02/09/2016). Festival yang baru pertama kali diselenggarakan di Sulut ini, bertema “Satu Panggung untuk Alam yang Lestari” diikuti oleh berbagai lembaga konservasi di Sulut. Foto : Themmy Doaly
Stand pendidikan konservasi Tangkoko dalam Festival Konservasi Sulawesi Utara 2016 di Mega Mall, Manado, Sulawesi Utara, pada Jumat (02/09/2016). Festival yang baru pertama kali diselenggarakan di Sulut ini, bertema “Satu Panggung untuk Alam yang Lestari” diikuti oleh berbagai lembaga konservasi di Sulut. Foto : Themmy Doaly

Kegiatan utama konservasi seperti perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan. “Dari kegiatan yang seperti inilah masyarakat akan banyak dilibatkan dalam konteks pemanfaatan isi dari kawasan konservasi itu sendiri.”

Dia berbagai lembaga konservasi semakin aktif meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang manfaat dan dampak pelestarian alam. “Festival Konservasi ini merangkul anak-anak muda. Semoga, pekerjaan KLHK yang selama ini belum benar-benar berhasil, dengan dukungan generasi muda, dapat terlaksana dikemudian hari,” harapnya.

 Interaksi Masyarakat

Harry Hilser, Field Project Manager Yayasan Selamatkan Yaki menilai restival ini menjadi ajang efektif menyampaikan pesan penyelamatan lingkungan hidup. Sebab, banyak lembaga konservasi bisa bekerjasama meningkatkan kesadaran masyarakat, khususnya penyelamatan lingkungan.

Harry menyatakan pengunjung stand informasi merespon baik. Pengunjung jadi mengetahui dan terbuka wawasannya tentang status populasi, ancaman dan peranan yaki bagi lingkungan.

“Kami berharap, Festival Konservasi Sulawesi Utara bisa dilakukan kembali di tahun selanjutnya, dengan kegiatan yang lebih variatif,” katanya.

Stephan Lentey, Field Station Manager Macaca Nigra Project (MNP) mengatakan dengan festival ini, pihaknya menemukan ruang interaksi antara aktivis dan lembaga konservasi dengan masyarakat.

Seperti ketika MNP menampilkan jerat di stand informasi, beberapa pengunjung terlihat kaget. Meski MNP tidak bermaksud mengajak pengunjung memasang jerat.

Dia meyakini alat yang ditampilkan itu dapat menjadi tanda awas bahwa masih banyak jerat yang didapati di lapangan. “Kami memulai dengan hal terburuk, sehingga pengunjung tidak melihat hal yang manis-manis saja, tetapi menyaksikan dunia konservasi apa adanya,” papar Stephan.

Menurutnya salah satu poin penting dalam penyelenggaraan festival ini adalah kebebasan menyampaikan pendapat. Sebab, berbagai lembaga konservasi diberi ruang untuk menunjukkan apa yang sebaiknya dan seharusnya diperbuat untuk memperbaiki lingkungan di daerah ini.

“Perbaikan lingkungan hidup, bisa dilakukan dengan cara mengemukakan pendapat. Artinya, dunia konservasi tidak lurus-lurus saja. Ada pro dan kontra. Namun, hal ini, harus dianggap sebagai sesuatu yang perlu diluruskan untuk perbaikan.”

“Kedepannya, saya harap, kegiatan seperti ini akan tetap ada. Karena, kegiatan ini, adalah festival konservasi yang pertama kali dibikin di Sulawesi Utara,” ujar Stephan Lentey.

Kampanye Menolak Pertambangan

 Selain berbagi informasi secara persuasif dan edukatif kepada pengunjung, terdapat juga aksi pembentangan spanduk dan orasi di atas panggung. Lewat aksi tersebut, disuarakan penolakan terhadap aktifitas pertambangan di Sulut maupun keterlibatan perusahaan tambang dalam festival konservasi ini.

Aksi panggung grup band Lamp of Bottle di Festival Konservasi Sulawesi Utara 2016 di Mega Mall, Manado, Sulawesi Utara, pada Jumat (02/09/2016). Dalam aksinya, mereka membentangkan spanduk bertuliskan “Save Bangka Island” yang menolak pertambangan di Pulau Bangka. Foto : Themmy Doaly
Aksi panggung grup band Lamp of Bottle di Festival Konservasi Sulawesi Utara 2016 di Mega Mall, Manado, Sulawesi Utara, pada Jumat (02/09/2016). Dalam aksinya, mereka membentangkan spanduk bertuliskan “Save Bangka Island” yang menolak pertambangan di Pulau Bangka. Foto : Themmy Doaly

Penolakan tersebut dengan tegas disampaikan oleh Lamp of Bottle, sebuah grup band beraliran punk dari Minahasa Utara. Cindy Samiadji, vokalis band ini, mengaku kecewa setelah mengetahui bahwa festival ini ikut melibatkan salah satu perusahaan tambang yang mengeruk emas di Sulut.

Namun, karena sudah terlanjur mendaftar dan enggan mengundurkan diri atau melakukan boikot, pihaknya berinisatif melakukan pembentangan spanduk dan menyampaikan orasi penolakannya di atas panggung.

Spanduk itu bertuliskan “Save Bangka Island”, kampanye penyelamatan pulau Bangka, Minahasa Utara,  dari pertambangan. Sebab, mereka menilai meskipun sudah ada keputusan hukum dari Mahkamah Agung, tapi hingga sekarang belum ada eksekusi  pada perusahaan tambang yang mendapat izin operasi disana.

Lamp of Bottle memang dikenal banyak mengangkat tema lingkungan dalam lagu-lagunya. Dalam festival itu, mereka membawakan tiga lagu berjudul, “Ketika pohon terakhir ditebang”, “Lawan reklamasi” dan “Tambang go to hell”.

Cindy yang akrab dipanggil Iin memaparkan mereka sengaja memilih lagu itu karena berhubungan dengan permasalahan lingkungan di Sulut. “Sebab, ketika manusia hanya mengejar uang, dengan mengabaikan lingkungan, maka pada akhirnya kita akan mati bersama, karena uang tidak bisa dimakan,” terangnya.

“Kedepan, saya berharap, even seperti ini tidak lagi dibikin dilahan reklamasi dan tidak melibatkan lembaga-lembaga atau perusahaan-perusahaan perusak lingkungan,” tegasnya.

Ronny Buol, meluruskan bahwa pada awalnya banyak pihak yang mengkritik keterlibatan perusahaan tambang dalam festival konservasi.

Namun, ia mengaku tidak berada dalam posisi yang memahami benar konservasi. Sebab, pihaknya hanya ingin memberi ruang agar berbagai kegiatan yang telah dilakukan lembaga-lembaga konservasi di Sulut, bisa disampaikan ke masyarakat.

Sehingga jika kemudian terdapat perusahaan tambang terlibat dalam festival konservasi, maka itu adalah sebuah bentuk pemberian kesempatan untuk menyampaikan apa yang telah mereka lakukan terhadap lingkungan. Selain itu, jika perusahaan tambang dinilai telah melakukan kesalahan, ada baiknya berbagai pihak mau duduk berdampingan dan membicarakan apa yang selanjutnya harus dilakukan.

“Saya bukan dalam posisi membela, tapi mungkin selama ini kita terlalu menuduh mereka (salah satu perusahaan tambang yang terlibat dalam festival konservasi) merusak lingkungan, tanpa memberi mereka kesempatan memberi penjelasan.” terang Ronny.

Dia menambahkan, kesempatan menyampaikan pendapat itu juga diberikan bagi grup musik untuk melakukan kritik terhadap perusahaan tambang, tanpa dikenakan sensor sama sekali. “Silakan berteriak. Panggung Festival Konservasi Sulawesi utara 2016 adalah milik kita. Kritik yang disampaikan adalah dialektika,” pungkasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,