Terbungkus Kardus Kecil Tanpa Pakan, Ratusan Burung Selundupan Mati Lemas

Sebagian burung sitaan dari Bandara Adi Sumarno, yang masih hidup dititipkan di Taman Satwa Taru Jurug. Ratusan burung ini tampak lemas dan stres. Bersyukur, kondisi mereka kini mulai membaik.

Petugas Balai Karantina Pertanian Yogyakarta Wilayah Kerja Bandara Adi Sumarmo, Boyolali, pada Senin, (22/8/16), curiga dan menghitung ulang burung kiriman dari Bandara Kualanamu, Deli Serdang, Sumatera Utara. Benar saja, dalam dokumen pengiriman disebutkan 87 ekor, ternyata berisi burung berbagai jenis, sampai 300-an. Sebagian besar burung selundupan.

Total burung ada 342, hidup saat diserahterimakan ke TSTJ tinggal 139, sebanyak 203 ekor mati. Burung-burung itu lalu diserahkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah Resort Surakarta. Ratusan burung hidup langsung dititipkan ke Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ).

“Pas datang pertama, kacer ada 80, tledekan 112, poksai empat, lovebird 20, gelatik 66, serinditan tiga, kepodang tujuh, cucak hijau 50,” kata Bimo Wahyu Widodo Dasir Santoso, Direktur Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) Surakarta, Sabtu, (27/8/16), di Surakarta.

Kini, kondisi burung-burung sitaan BKSDA Surakarta itu berangsur membaik. Menempati beberapa kandang lega, terlihat lebih aktif. Sesekali terdengar kicauan.

Saat Mongabay, melihat satwa yang eksotis itu di TSTJ, burung-burung itu masih dalam pengawasan dan dipisahkan dari kandang lain. Tak ada ring pada kaki burung yang menunjukkan kuat dugaan satwa hasil tangkapan dari alam.

Ada bentangan kain sebagai penutup di luar lokasi kandang agar burung-burung tak stres.

“Sekarang masuk fase karantina. Kita ingin tak ada mati lagi. Sekitar satu, dua minggu mereka ada di tempat khusus. Setelah itu akan ditempatkan di kubah burung. Kita lepaskan di sana. Semoga nanti berkembang biak,” katanya.

 

 

Kecurigaan petugas

Seminggu sebelumnya, atau Sabtu, (20/816), petugas Balai Karantina melihat paket peti sekitar satu meter. Kecurigaan petugas, kata Joko Triono dari BKSDA, karena dokumen menyebutkan jumlah burung tak sesuai ukuran tempat.

“Tempat paket kira-kira sebesar meja kerja, sekitar 1x1x1,5 meter. Ada lubang-lubang kecil. Kita curiga, dibuka. Setelah penerima paket datang, kita tanya, buka bersama,” katanya, Senin, (29/8/18).

Sedihnya, burung-burung itu hanya diletakkan dalam kardus kecil dengan masih bersekat-sekat.

“Burung dimasukkan ke kardus kecil, seperti kardus gelas. Burung nengok saja nggak bisa. Juga tak ada pakan. Memang penyiksaan,” katanya.

Sebagai lembaga konservasi satwa, katanya, TSTJ berkoordinasi dengan BKSDA untuk merawat burung-burung itu.

“Barang sitaan masuk ke Taman Jurug menjadi milik negara, baik dilindungi maupun tidak. Tak bisa diperjualbelikan. Kami berkewajiban memelihara. Dalam pemeliharaan memang ada yang mati juga, walaupun sudah maksimal,”katanya.

Dana pemeliharaan, hanya mengandalkan tiket masuk, parkir, dan permainan. Hingga kini, belum ada dana bantuan pemerintah untuk satwa.

Nuraini, dokter hewan di Taman Jurug, mengatakan, kondisi burung saat diterima memang mengenaskan. Banyak mati, stres, lemas, dan tak selincah burung-burung biasanya.

“Burung tak sehat, kita pisahkan. Seperti orang, kalau stres daya tahan tubuh drop. Burung diberi vitamin, juga antibiotik. Kandang hangatkan diberi lampu. Sekarang cukup membaik, yang stres mulai tak stres lagi,” kata dokter yang bekerja di kebun binatang Jurug 15 tahun itu.

Burung-burung diberi makan sesuai jenis. Pakan berupa buah, biji-bijian, serangga, dan ulat didapat dari penyedia pakan.

Nuraini, dokter hewan Taman Satwa Jurug di tempat karantina. Foto: Nuswantoro
Nuraini, dokter hewan Taman Satwa Jurug di tempat karantina. Foto: Nuswantoro

 

 

Koleksi Jurug

Bimo mengatakan, selama Taman Jurug punya kandang, siap menerima satwa apa saja. Kewajiban lembaga konservasi merawat, mengembangbiakkan. Jika satwa mati, akan diawetkan.

“Misal ada tangkapan harimau, kalau ada kandang kita terima. Kalau tak ada, BKSDA akan mencarikan tempat lain. Bisa ke kebun binatang Jogja, atau Surabaya.”

Joko mengatakan, menitipkan burung sitaan ke lembaga konservasi sudah sesuai aturan.  Satwa, katanya, bisa dititipkan di lembaga konservasi seperti kebun binatang.

“Kalau Surakarta bisa ke Jurug maupun Gajah Mungkur.”

Satwa juga bisa ke penangkaran swasta. “Tinggal nanti kita dapatkan satwa jenis apa. Disesuaikan tempat penangkaran, dan kemampuan pengelola.”

Rencananya, burung-burung itu tak dilepasliarkan, tetapi untuk koleksi Jurug. Untuk melepasliarkan,  harus mempertimbangkan banyak hal seperti jenis, habitat, predator, makanan, dan sejauh mana perlu campur tangan manusia.

“Kita tak boleh sembarangan. Contoh kera, kalau langsung dilepas malah jadi masalah. Perlakuan sama dengan orangutan. Tak kita lepaskan begitu saja. Proses juga lama. Perlu kajian, survei, dan penyiapan lokasi,” ucap Joko.

Dia berharap, masyarakat sadar tak menyia-nyiakan kehidupan binatang. “Dengan kejadian kemarin. Kasian. Banyak mati karena kesalahan manusia. Kalau dikirim dengan memperhatikan kesejahteraan satwa mungkin tak begitu.”

 

 

Modus penyelundupan

Menurut Joko, pengiriman satwa pada Sabtu, satu modus mengelabuhi petugas bandara dan karantina.

“Pengiriman Sabtu, hari libur. Pengirim dan penerima mencari kesempatan tak ada petugas. Sabtu, Minggu, libur, yang mengirim dan yang dikirim libur, petugas juga libur. Mereka mencari kelengahan petugas.”

Dampak fatal. Daya tahan satwa menurun karena melewati beberapa hari dalam kargo. Terlebih tanpa pakan, dan ruang paket sangat sempit.

Hitung-hitungan Joko, jika dikirim Sabtu, paling tidak sehari sebelumnya sudah masuk kotak untuk dikirim ke Surakarta.

“Penyiksaan sudah mulai tiga hari sebelum paket dibuka Senin.”

Pengakuan kepada petugas, burung itu melalui jualbeli di internet Rp150 juta. Burung dikirim atas nama Joko Perdana alamat Medan kepada Harno, Surakarta.

Menurut Joko, baik nama pengirim maupun penerima bisa saja palsu atau samaran. Sebab, barang bisa diambil dengan menunjukkan nomor resi.

“Seharusnya di sana (Kualanamu) dicek saat hendak dikirim, hingga ketahuan kalau pengiriman melebihi jumlah. Kalau di sini hanya menerima,” katanya.

Dugaan dia, modus semacam ini sering dilakukan. Setidaknya BKSDA Surakarta, pernah mengalami kejadian dua kali. “Andai tak mencurigakan sekali mungkin tak ketahuan.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,