Amerika dan Tiongkok Meratifikasi Paris Agreement, Apa Pengaruhnya Untuk Indonesia?

Amerika Serikat dan Tiongkok, dua negara pengemisi gas rumah kaca terbesar di dunia telah mengumumkan secara resmi bakal meratifikasi perjanjian perubahan iklim Paris Agreement dari hasil Konferensi Perubahan Iklim pada Desember 2015.

Ini menandai kemajuan penting dan signifikan dalam menangani perubahan iklim global, karena gabungan emisi Amerika dan Tiongkok sebesar 40 persen dari total emisi gas rumah kaca dunia.

Komitmen Amerika tersebut diungkapkan Presiden AS, Barack Obama ketika berbicara pada KTT G20 di Hangzhou, Tiongkok pada Sabtu malam waktu setempat (03/09/2016), sebagai hasil negosiasi yang intens antara pejabat Tiongkok dan Amerika.

“Seperti yang saya percaya Paris Agreement pada akhirnya akan terbukti menjadi titik balik bagi planet kita, saya percaya bahwa sejarah akan menilai upaya hari ini sebagai hal yang penting,” kata Obama, yang berbicara di hadapan Presiden China, Xi Jinping, dan Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon, seperti dikutip dari website the Guardian.

Obama mengatakan pengumuman bersama ini menunjukkan bagaimana dua ekonomi terbesar di dunia mampu bekerjasama untuk menangani perubahan iklim.

Sebelumnya Tiongkok China telah mengumumkan secara resmi akan meratifikasi kesepakatan Paris dengan Presiden Xi bersumpah untuk secara jelas mengejar pembangunan berkelanjutan.

“Tanggapan kita terhadap perubahan iklim menjadi tanggungan bagi masyarakat kami dan kesejahteraan umat manusia di masa depan,” kata Xi, seperti dikutip dari Associated Press.

“Meskipun perbedaan kami pada isu-isu lain kami berharap bahwa kesediaan kita untuk bekerja sama dalam masalah ini akan menginspirasi ambisi yang lebih besar dan tindakan yang lebih besar di seluruh dunia,” katanya.

Sedangkan Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon  menyambut baik dan mengapresiasi komitmen Amerka dan Tiongkok yang bakal meratifikasi Paris Agreement. “Kepemimpinan dan kerjasama erat kedua negara adalah penting untuk akhir keberhasilan negosiasi perubahan iklim di Paris pada bulan Desember,” kata Ban Ki-moon seperti dikutip dari website PBB.

Dia menjelaskan Cina dan Amerika Serikat mewakili hampir 40 persen dari emisi gas rumah kaca global. Ratifikasi dua negara tersebut akan menambah momentum kekuatan untuk mengarahkan  Paris Agreement bakal berlaku  tahun ini.

Paris Agreement akan berlaku bila negara-negara yang merepresentasikan 55 persen dari total emisi gas rumah kaca dan 55 persen populasi dunia meratifikasinya. Sumber : WRI/the Guardian
Paris Agreement akan berlaku bila negara-negara yang merepresentasikan 55 persen dari total emisi gas rumah kaca meratifikasinya.  Sumber : WRI/the Guardian

“Dengan China dan Amerika Serikat membuat langkah bersejarah ini, kita sekarang memiliki 26 negara yang telah meratifikasi dan 39 persen dari emisi global menyumbang, tepatnya,” lanjutnya

“Kita hanya perlu 29 negara lain yang mewakili 16 persen dari emisi global untuk membawa Paris Agreement ini berlaku. Saya berharap dan optimis bahwa kita bisa melakukannya sebelum akhir tahun ini dan sebelum saya menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PBB berakhir,” katanya.

Untuk itu, Sekjen PBB itu mendesak semua pemimpin, khususnya negara-negara G20, untuk mempercepat proses ratifikasi dalam negeri mereka sehingga bisa mengubah aspirasi Paris ke tindakan iklim transformatif yang dibutuhkan dunia.

“Untuk membangun momentum lebih lanjut, saya telah mengundang para pemimpin dunia untuk acara tingkat tinggi di Markas Besar PBB di New York pada 21 September,” pungkasnya.

Apabila Paris Agreement mulai berlaku tahun 2016 seperti yang diharapkan, berarti hampir 200 negara wajib memenuhi janji penurunan emisi yang telah dibuat masing-masing negara tersebut atau INDC (Intended Nationally Determined Contributions)  yang dibuat sebelum Konferensi Perubahan Iklim di Paris Desember 2015.

Apel yang dihias logo konferensi perubahan iklim COP21 Paris 2015. Sumber : flikr UNFCCC
Apel yang dihias logo konferensi perubahan iklim COP21 Paris 2015. Sumber : flikr UNFCCC

Misalnya, Uni Eropa memiliki tekad kontribusi nasional bertekad memotong emisi sebesar 40% pada tahun 2030 dari tingkat 1990, dan Amerika Serikat hingga 28% pada tahun 2025 dibandingkan dengan tahun 2005.

Paris Agreement yang akan berlaku itu juga akan mengikat komitmen negara-negara untuk menjaga suhu bumi di bawah 1,5 celcius di atas tingkat pra-industri.

Pengaruhnya bagi Indonesia

Jalal, Governance Thamrin School of Climate Change and Sustainability Reader  melihat ratifikasi Amerika dan Tiongkok terhadap Paris Agreement menjadi sangat signifikan untuk mewujudkan komitmen dunia untuk mengejar target kenaikan suhu di bawah 2 derajat.

“Ini merupakan wujud nyata dan hasil dari negosiasi bilateral di antara dua negara tersebut yang dimulai sejak November 2014. Ini juga menggeser dari hanya kesepakatan bilateral, menjadi bagian dari komitmen global,” katanya.

“Jelas juga ini menunjukkan pergeseran dari pernyataan komitmen menjadi rencana detil di masing-masing negara, yang dituangkan ke dalam dokumen NDC (Nationally Determined Contributions) masing-masing. Ini juga akan memberi teladan NDC ke negara-negara lainnya,” lanjut Jalal.

Meskipun begitu, Jalal mengajak semua pihak untuk tetap perlu mengawal terus implementasi ratifikasi tersebut. “Obama di hari-hari terakhir kekuasaannya telah membuat Senat yang dikuasai Partai Republik dan capresnya, Donald Trump, berada dalan kesulitan besar. Tetapi harus tetap dipastikan langkah-langkah AS terus ditindaklanjuti, siapapun yang berkuasa kelak. Demikian pula dengan komitmen Tiongkok,” katanya.

Kebakaran hutan pinus. Api yang membakar hutan kayu pinus di Saitbuttu Saribu, Kecamatan Pam Sidamanik, Simalungun, Sumut, Senin, 22 Agustus 2016.
Kebakaran hutan pinus. Api yang membakar hutan kayu pinus di Saitbuttu Saribu, Kecamatan Pam Sidamanik, Simalungun, Sumut, Senin, 22 Agustus 2016. Kebakaran hutan dan lahan menjadi salah satu penyebab emisi GRK dari Indonesia. Foto : Ayat Karo karo

Bagaimanapun, menurutnya, penurunan emisi paling besar akan berasal dari sektor swasta. Kerjasama antara kedua pemerintahan tersebut dengan sektor swastanya akan menentukan tingkat keberhasilan implementasi komitmen tersebut. “Ini juga akan menjadi teladan tentang bagaimana sektor swasta di seluruh dunia bisa bekerjasama dengan pemerintahnya dan berkontribusi menurunkan emisi,” kata Jalal.

Sedangkan pengaruh bagi Indonesia, menurutnya, sangat penting untuk melihat kembali bagaimana Indonesia dapat berkontribusi di dalam penanganan perubahan iklim. “Apakah ada kerjasama bilateral atau multilateral yang bisa dilakukan?” katanya.

“Pilihan untuk mendekati Tiongkok dan AS sendiri sangatlah terbuka. Kita memiliki hubungan bisnis dan diplomatis yang semakin menguat dengan keduanya, seharusnya juga dimanfaatkan untuk membuat peran global kita menjadi lebih kokoh,” tegasnya.

Sektor swasta Indonesia sangat mungkin melakukan kerjasama bisnis hijau dengan perusahaan-perusahaan dari kedua negara itu. Namun juga, bisa meluaskan kerjasama dengan perusahaan dari negeri-negeri lain untuk teknologi dan pembiayaan rendah emisi.

“Masyarakat sipil sendiri adalah bagian yang semakin penting dalam diplomasi internasional. Dengan masyarakat sipil AS, kita punya banyak kerjasama yang kuat. Kali ini mungkin kita juga perlu menjajaki kemungkinan bekerjasama dengan masyarakat sipil Tiongkok, bila ternyata mereka memiliki peran yang besar dalam kesepakatan AS-Tiongkok itu,” pungkas Jalal.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,