Menyekat Kanal, Hindarkan Kebakaran Lahan Gambut Kawasan TN Sebangau

Tangan Sutarno begitu cekatan memasang papan pada deretan kayu galam yang tertancap di eks kanal SSI (Sanitra Sebangau Indah), Resort Mangkok, Taman Nasional Sebangau. Seorang temannya bersiap memaku agar papan tersebut menempel dengan kuat.

Kanal yang saat ini sedang disekat merupakan kanal eks HPH SSI. Memiliki panjang kanal 24 kilometer, dengan lebar 9 meter dan kedalaman sekitar 4-5 meter. Kanal ini dibangun tahun 1998, fungsinya untuk mengangkut kayu. Kanal dibangun membelah kubah gambut, sehingga air dari area gambut mengalir deras dan menyebabkan gambut kering dan rawan terbakar saat musim kemarau.

“Kami sedang membangun dam atau sekat kanal (tabat) semi permanen. Untuk membangun satu dam semi permanen, prosesnya sekitar lima hari,” tutur ayah empat anak warga Desa Sebangau Permai, saat dijumpai Mongabay akhir Agustus lalu.

Beberapa orang lainnya sibuk memasukkan tanah pada karung putih. Tumpukan karung berisi tanah seketika tersedia, menumpuk di pinggir sisi kanal tersebut. Jumlahnya mencapai ratusan. Karung-karung berisi tanah itu, nantinya akan diletakkan di tengah sekat kanal guna menahan air dan membuat sekat kanal menjadi kokoh.

Di atas tanah pada pinggiran sekat kanal tersebut, nantinya ditanami pohon endemik Kalimantan seperti blangiran (Shorea balangeran), pulai (Alstonia sp.), jelutung (Dyera sp), Diospyros sp.

Penanaman jenis tanaman keras adalah untuk memperkuat struktur dam. Saat kayu kanal lapuk antara 6-10 tahun kemudian, tanaman kayu keras di atas dam akan berfungsi menangkap ragam sedimentasi, sehingga akan membentuk hamparan baru. Dengan tanaman tumbuh menjulang, ia akan menahan air agar tak cepat mengalir. Untuk membuat sekat kanal, dengan demikian tidak memerlukan material semen atau bahan bangunan lain.

Siang itu, total ada sembilan orang yang sedang bekerja. Mereka berasal dari desa sekitar TN Sebangau. Jika sesuai rencana, mereka akan mengerjakan tiga buah sekat kanal selama 20 hari. Guna kepentingan istirahat saat malam tiba, mereka membangun sebuah camp sederhana terbuat dari terpal dan kayu.

Bagi Sutarno, saat paling tepat untuk pembangunan kanal adalah pada saat air pasang sedang surut. “Kemarin saat air sedang pasang, kami sampai harus menyelam untuk menancapkan kayu galam,” tuturnya.

Panjang kayu galam yang digunakan berkisar sekitar lima meter. Dua meternya ditancapkan pada dasar sungai. Material kayu galam dan papan yang digunakan untuk pembangunan sekat kanal tersebut didatangkan dari luar kawasan TN Sebangau. Diangkut bergotong royong oleh warga menggunakan perahu tradisional atau yang biasa disebut cess.

Sutarno mengatakan, banyak manfaat yang dirasakan warga sekitar TN Sebangau dengan keberadaan sekat-sekat kanal yang sudah dibangun. Sebelum adanya sekat, kebakaran hutan sangat parah. Meski tahun 2015, masih terjadi kebakaran, namun untuk areal di sekitar TN Sebangau, titik api relatif sedikit. Hal ini karena keberadaan sekat-sekat kanal tersebut membuat gambut yang semula kering saat kemarau, menjadi basah kembali. Ketersediaan air pun relatif terjamin.

Karung berisi tanah, digunakan untuk mengisi konstruksi sekat kanal. Foto: Indra Nugraha
Karung berisi tanah, digunakan untuk mengisi konstruksi sekat kanal. Foto: Indra Nugraha

Ketua Forum Masyarakat Sebangau (Formas) Sabran M. Usin (50) mengatakan,  pembangunan sekat kanal dilakukan secara kolaboratif antara masyarakat bersama WWF Indonesia Kalteng. Menurutnya, kesadaran masyarakat ikut serta dalam membangun sekat kanal sudah sangat tinggi. Bahkan dia harus mengatur penjadwalan agar yang pengerjaan sekat kanal secara bergantian.

“Sebenarnya banyak yang ingin ikut serta dalam pembangunan sekat kanal ini. Tapi kami harus atur agar semuanya mendapatkan giliran. Tak dikerjakan oleh orang yang itu-itu saja,” katanya.

Menurutnya, kesadaran masyarakat dalam ikut serta membangun sekat kanal didasari oleh pemikiran bahwa hutan harus diselamatkan. Hutan bukan warisan nenek moyang, tetapi  titipan anak cucu yang pada saatnya nanti mereka akan mengambilnya.

“Karena itu kami tak ingin meninggalkan kerusakan hutan bagi generasi selanjutnya. Jadi maju mundurnya, baik atau tidaknya tergantung dari apa yang kita lakukan sekarang. Hutan ini memang perlu dimanfaatkan, tapi juga tetap perlu dilindungi agar tetap lestari,” katanya.

Dia mengatakan, tahun 1970-an, saat masih kecil, hutan di area itu masih sangat terjaga. Orangutan masih dengan mudah ditemukan menyeberang sungai Sebangau lewat dahan-dahan yang saling bersentuhan.

Kondisi itu berubah saat HPH SSI mengeksploitasi hutan yang ada, lalu membuat kanal di lahan gambut menggunakan alat berat untuk menarik kayu. Kerusakan dialami bahkan hingga saat ini. Karenanya, dia dan warga sekitar TN Sebangau memiliki tekad untuk bersama-sama memulihkan ekosistem gambut di area tersebut. Menurutnya kebakaran dan asap kabut seolah menjadi agenda tahunan. Ia pun ingin mengubah itu.

“Kerusakan hutan 10-15 tahun terakhir ini memang bukan main. Yang membuat kami prihatin adalah untuk memperbaiki ini butuh waktu lama, tak cukup satu atau dua tahun. Butuh keseriusan. Oleh karena itu kami berbuat sebisa kami membantu pemerintah dan lembaga yang bergerak di lingkungan untuk menyelamatkan hutan,” katanya.

“Makanya semua etnis disini bisa bersama-sama ikut membangun dam. Semua etnis bisa sengsara jika hutan rusak. Kesadaran ini yang kami pupuk di masyarakat,” ucapnya. Dia berharap, melalui  pembangunan dam, sumur bor, dan lain-lain dampak karhutla betul-betul dihindari.

Peta distribusi hotspot titik api di dalam dan sekitar kawasan TN Sebangau pada tahun 2015. Dok: USAID Lestari
Peta distribusi hotspot titik api di dalam dan sekitar kawasan TN Sebangau pada tahun 2015. Dok: USAID Lestari

Menurut staf kontruksi dam dan hidrologi dari WWF Indonesia Kalteng, Petris Perkasa, sejak tahun 2005 pihaknya telah membangun lima dam di area eks HPH SSI. Rencananya, bangun dam lagi 26 unit, baik permanen, semi permanen maupun yang sederhana. Saat ini,  23 dam sudah selesai dibangun.,  sisa tiga lagi bakal selesai paling lambat akhir tahun ini.

Sedangkan secara keseluruhan dam  telah dibangun di TN Sebangau  lebih dari 1.000 unit dibarengi penanaman kembali  dengan jenis-jenis endemik Kalimantan,  mencakup wilayah SSI 400 hektar, hulu Sebangau 262 hektar, dan  Salawati 24 hektar.

“Sebelum dibuat dam laju air deras sekali. Karena lebih 10 km adalah kubah gambut yang membuat air terbuang berlebihan. Akibatnya, di areal ini sangat panas dan tidak nyaman karena hutan rusak,  sering terbakar.  Gambutnya kering akibat tata kelola air  tidak bagus,” jelas Petris.

Menurut Petris, sebelum membangun dam  terlebih dulu membuat perencanaan dan mendeteksi keadaan kanal bersama masyarakat. Untuk menentukan berapa panjang kanal,  kecepatan arus air, kedalaman air dan sebagainya.

“Pelibatan masyarakat adalah kunci sukses pembangunan sekat kanal. Hasil survei itu kita olah bersama untuk menentukan berapa banyak  yang akan dibangun. Tanpa keterlibatan masyarakat kami tak akan berhasil,” katanya.

Dalam hal monitoring, sebelum bikin dam, juga membangun pipa Ground Water Level (GWL) untuk mengukur tinggi muka air tanah. Pipa ditanam di tanah sedalam dua meter. Tiap bulan, diteliti seberapa besar debit air untuk mengetahui pola aliran.

Hasil pengukuran  masyarakat, lalu dianalisis tim WWF yang nantinya diberikan kepada Balai TN Sebangau. Setelah ada kelayakan, barulah dibangun dam.

“Jadi kami tak sembarang membangun dam untuk pembasahan area. Sudah ada sekitar 80 pipa yang kami tanam. Kami punya data dari tahun 2005 tentang pola air dan pemetaan lokasi rentan kebakaran.”

Dari hasil survei, tinggi muka air naik rata-rata satu meter. Sebuah indikasi yang baik. Keberadaan sekat kanal pun, selain  kawasan terhindar kebakaran, juga menguntungkan ekonomi masyarakat sekitar.

Buktinya, jumlah ikan bertambah banyak di sekitar sekat kanal. Ini yang dimanfaatkan masyarakat sebagai tambahan pendapatan.

“Kita membangun dengan pola berkelanjutan. Bagaimana agar masyarakat dengan rela hati ikut membangun. Ini semua untuk alam dan masa depan mereka. Kedepannya masyarakat juga bisa membangun eko wisata, pemanduan wisata, karena mereka tahu berbagai kekayaan alam di sini,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,