Perusahaan Akui Kelola Lahan Warga, Bantah Terlibat Penyanderaan, Siti: Kami akan Tindak Tegas

PT Andika Permata Sawit Lestari (APSL) membantah tudingan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya soal dugaan perusahaan di balik penyanderaan tujuh penyidik Jumat lalu. Meskipun begitu mereka mengakui menjadi bapak angkat dengan mengelola lahan warga dan menanami sawit.

“Lahan itu pure milik mereka, cuma kita tanami. Kita jadi bapak angkat. Hasilnya aja yang dibagi. Kami ndak punya lahan. Lahan itu punya mereka. Kelompok tani yang minta, kami datang. Operasional memang perusahaan di lapangan,” kata Novalina Sirait, Humas APSL kala dihubungi Mongabay, Senin (5/9/16) malam.

Perusahaan,  katanya, bekerjasama dengan warga yang kemudian membentuk kelompok tani, masing-masing menguasai lahan ribuan hektar. Dua di antaranya, Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) menguasai lahan sekitar 5.000 hektar, Kelompok Tani Melayu Terpadu sekitar 3.000 hektar.

Dia mengatakan, penahanan itu inisiatif petani yang merasa dirugikan dari penyegelan lahan terbakar oleh para penyidik. Dia membantah, penahanan para penyidik sebagai penyanderaan.

Ngak ada yang namanya kami di balik itu. Atau kami yang mem-back up.  Itu inisiatif masyarakat, masyarakat kelompak tani.  Ini kan dipelintir nih, jadi tidak ada yang namanya penyanderaan. Ada kesalahpahaman,” katanya.

Dalam pemberitaan Mongabay, sebelum ini, Menteri Siti Nurbaya mengatakan, para penyidik ditahan selama 10 jam oleh segerombolan orang mengaku kelompok tani sekitar 50 orang. Beberapa kali negosiasi gagal, setelah sekitar 10 jam akhirnya  mereka bebas setelah dijemput kepolisian dan anggota TNI. Menteri menduga kuat, APSL berada di belakang mobilisasi massa tersebut.

Siti menyebutkan,  penyelidikan APSL akan menjadi prioritas utama mereka dengan alasan tiga hal penting yakni perambahan kawasan hutan, pembakaran lahan dan penyanderaan.

Novalina menjelaskan, APSL memperoleh izin usaha perkebunan 3.112 hektar sesuai surat keputusan Dinas Perkebunanan pada 2002 berlokasi di Desa Sontang, Kecamatan Bonai Darussalam, Rokan Hulu.

Mengenai temuan dan penyegelan lahan terbakar luas, APSL juga membantah. Dia berdalih, lahan terbakar lahan milik kelompok tani, punya perusahaan tak terbakar.

“Tidak ada. Jauh sekali jarak kita dengan kebun kelompok tadi itu, perjalanan itu harus menyeberang fefry. Perhitungan jalan 50 menit. Areal kebun inti tak bersepadan juga itu,” katanya.

Segel yang dipasang KLHK dan dipaksa dicabut. Foto: KLHK
Segel yang dipasang KLHK dan dipaksa dicabut. Foto: KLHK

Dalam ekspose foto-foto udara yang diyakini di areal perusahaan seperti dalam rilis KLHK terlihat kawasan terbakar sangat luas, bekas kebakaran sudah dibersihkan dan siap tanam. Ada juga kebun sudah ditanami dan terbakar.  Terlihat bekas bangunan barak pekerja turut terbakar.  Bahkan, kala tim penyidik turun lapangan, menemukan pekerja perusahaan yang mengungsi terkena asap. Dari wawancara, mereka bukan warga dari daerah lain.

 

Tindak tegas

Pada Selasa (6/9/16), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya memberikan keterangan resmi, soal penyanderaan tujuh petugas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini.

“Kita tak akan mundur. Langkah hukum terhadap perusahaan dan terkait di lapangan akan dilakukan. Kita perlu dukungan kerja sama. Saya terima kasih, kalau masyarakat nyatakan aspirasi dan mau kerja sama,” katanya di Jakarta.

Untuk kasus ini, Menteri sudah berkonsultasi dengan Presiden Joko Widodo. Presiden menegaskan,  modus seperti ini harus diselesaikan. Presiden bilang, lakukan pendisiplinan, tegakkan hukum dan kalau perlu minta bantuan KPK.

Siti menyebutkan, mendapatkan data KPK soal status izin kebun di Riau, ada 447 perusahaan, yakni, hak guna usaha (HGU) 154, izin usaha perkebunan (IUP) 145, izin lokasi (21), dan tak berizin (127).

Khusus di Rokan Hulu, ada 59 perusahaan, sebanyak HGU (22), IUP (20), tak berizin (17).

“Bahwa KPK sudah review perusahaan tanpa izin,  seperti berada di hutan lindung, hutan produksi terbatas, tahura, atau hutan produksi konversi sekitar 1,5 juta hektar,” katanya.

 

Modus metamorfosis perizinan

Siti mengatakan, KLHK melihat dan mempelajari sejak November 2014, bahwa model-model ‘bapak angkat’ seperti itu menjadi modus perusahaan untuk menguasai lahan.

“Dari cerita-cerita empirik di kementerian, di Riau sering terjadi, perusahaan mengatasnamakan masyarakat atau kelompok-kelompok masyarakat yang sangat terorganisir dengan pemodal-pemodal yang mobile,” katanya.

Hamparan kebun sawit yang terbakar. Foto: KLHK
Hamparan kebun sawit yang terbakar. Foto: KLHK

Sejak awal duduk menjadi menteri dan menghadapi kebakaran hutan dan lahan, dia melihat pola ini. “Januari 2015, cek di Kalbar, lalu terjadi kebakaran. Saya juga pelajari di Kalteng. Modus sama. Sumut juga sama. Sumsel dan Jambi, ada indikasi, saya belum cek.”

Dengan modus yang serupa hampir di berbagai lokasi rawan karhutla ini, katanya, kalau dibiarkan, tak selesaikan berarti Indonesia akan begini terus dalam urusan dengan perusahaan yang terbakar.

Dia mengindikasikan, modus seperti ini merupakan proses metamorfosis perizinan. Awalnya, berangkat dari illegal logging,  masuk ke izin baik pertambangan, atau kebun lalu alih fungsi tata ruang.

“Ini metamorfosis yang buruk. Saya kira ini perlu benahi, disiplinkan dan penegakan hukum secara benar. Dari metamorfosis perizinan berakibat karhutla, itu betul-betul sangat menyakiti hati rakyat.”

 

Kebun sawit ilegal

Siti menceritakan, penyelidikan itu berawal dari karhutla 26-27 Agustus 2016 di Dumai, Riau, begitu pekat. Kabar dia dengar, ada masyarakat mengungsi di satu kecamatan.

“Saya khawatir, kalau ada yang ngungsi, itu betul-betul menyakiti rakyat dan buat penderitaan,” katanya.

Kebun terbakar dengan kelola 'bapak angkat' antara APSL dan warga. Foto: KLHK
Kebun terbakar dengan kelola ‘bapak angkat’ antara APSL dan warga. Foto: KLHK

Diapun meminta, pengecekan lapangan pada 28 Agustus 2016.  “Cek apa ada pengungsian itu. Ternyata itu, karyawan perusahaan yang barak terbakar.”

Lalu tim turun ke lapangan, berujung penyanderaan kala saat mereka mengumpulkan data dan menyegel lahan terbakar.

Rasio Ridho Sani, Dirjen Penegakan Hukum KLHK, mengatakan, sedang proses penyelidikan terhadap kasus ini.

“Kita menemukan fakta di lapangan, ada lahan terbakar sangat luas. Baik di lahan hutan, maupun di kebun,” katanya.

Kala mengumpulkan data inilah, katanya, malah tim penyidik dihadang, dan data-data mereka berupa foto-foto dipaksa dihapus. Segel yang sudah dipasang pun dipaksa dicabut kelompok warga.

“Fakta lokasi-lokasi itu merupakan hutan produksi. Artinya, pemanfaatan hutan produksi tanpa izin merupakan tindakan ilegal,” ujar dia.

Di lapangan, diketahui ada keberadaan APSL bersama para pekerja, yang melibatkan kelompok tani.

“Kami sedang menyiapkan langkah hukum. Silakan mereka membantah, kami bekerja dengan koridor hukum.”

Dirjen Penegakan Hukum juga menayangkan video kawasan gambut terbakar, dari hasil drone yang masih bisa diselamatkan.

Hari itu di Manggala, ketujuh penyidik dan polisi hutan yang sempat disandera juga hadir. Ketua tim menceritakan bagaimana drama penyanderaan oleh sekelompok massa selama sekitar 10 jam.

Kondisi di lokasi mereka sangat mencekam. Alat transportasi air mereka dilepas ke tengah sungai. Mereka diminta duduk di satu tempat. Ancaman dan teriakan-teriakan provokasi beberapa kali terdengar.

“Bunuh saja mereka.” “Bakar.”

“Dibuang saja ke sungai.”

Ada juga, katanya, yang mencoba melakukan pemancingan. Ketika kendaraan yang penyidik pakai diguncang dan alarm berbunyi, ada teriak, ”Ini saatnya kita bunuh…”

Kala ada bantahan penyanderaan itu, bagi mereka tak penting defenisi, apakah penahanan, ditawan atau sandera. “Tak pusing, biar publik yang nilai. Itu yang kami alami, intimidasi, kungkung kebebasan kami tinggalkan lokasi,” kata ketua tim penyidik KLHK.

 

Hutan yang terbakar berdampingi dengan kebun sawit. Foto: KLHK
Hutan yang terbakar berdampingi dengan kebun sawit. Foto: KLHK

Ketegasan Presiden

Yuyun Indradi, Jurukampanye Hutan Greenpeace dalam rilis, mengatakan, kejadian ini sinyal kuat bagi Presiden bahwa upaya menyelesaikan kasus karhutla di Indonesia tengah menghadapi hambatan serius.

Bukan saja kepolisian gagal membuka kembali SP3 penyelidikan atas 15 perusahaan sawit dan kehutanan terkait kebakaran di lahan konsesi di Riau, juga ada gerombolan orang berani menyandera penyidik KLHK yang tengah bertugas.

“Hukum harus ditegakkan untuk mencegah kebakaran, ini bukan hanya mencakup sanksi pidana, juga perdata dan administratif, hingga Presiden harus segera perintahkan kepolisian dan kementerian terkait meningkatkan kerjasama. Mereka harus memastikan perusahaan-perusahaan yang melanggar hukum mendapat sanksi.”

Masyarakat Indonesia, katanya, menanggung beban berat dari krisis kebakaran dan  asap, di sisi lain dapat berperan penting mengakhiri krisis dengan turut memantau kerusakan hutan dan gambut.

Masyarakat lokal, media dan LSM dalam posisi memberikan saran kepada para penegak hukum dan menyerukan kepada  perusahaan-perusahaan bahwa mereka tak bisa lepas dari perhatian publik.

Pemerintah, katanya, juga harus pemerintah merevisi kebijakan  terkait keterbukaan data dan informasi penting kehutanan yang dikecualikan. Juga membuka akses masyarakat terhadap peta dan data tentang siapa saja yang mengontrol lahan.

Sementara itu di Pekanbaru, dua gelombang aksi protes berlangsung di depan Polda Riau. Kelompok pertama dari massa HMI Cabang Pekanbaru. Kelompok massa kedua adalah mahasiswa Universitas Riau dengan jumlah lebih banyak, sekitar 100 orang. Kedua kelompok massa ini meminta SP3 15 perusahaan pembakaran lahan di Riau dibuka kembali.

Selain itu, mereka juga meminta Kapolri mencopot aparat Polda Riau yang terlihat pada foto “kongkow-kongkow” perwira menengah polisi dengan petinggi APSL.

APSL sendiri masuk daftar perusahaan yang sedang diselidiki atas kasus karhutla.

“Kami menuntut Presiden Jokowi segera membentuk tim independen menyelidiki SP3 perusahaan pembakaran hutan dan lahan di Riau,” kata Presiden Mahasiswa BEM Universitas Riau, Abdul Khair dalam orasi.

Wakil Kepala Kepolisian Daerah Riau, Kombes Suharsono menegaskan telah membentuk tim yang meneliti dan mengumpulkan informasi dari orang-orang yang ada di dalam foto. Tim juga mendalami keterkaitan “kongkow-kongkow” itu dengan kasus kebakaran hutan.

“Tentu butuh waktu untuk mengusut. Saya yakinkan, kita selidiki.

Termasuk tuntutan berikutnya terkait SP3 terhadap 15 perusahaan yang lahan terbakar,” katanya di hadapan mahasiswa.

Kebun sawit yang terbakar. Foto: KLHK
Kebun sawit yang terbakar. Foto: KLHK
Hamparan kebun sawit terbakar. Foto: KLHK
Hamparan kebun sawit terbakar. Foto: KLHK
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,