Ketika PLTA Datang, Ketenteraman Warga Seko Hilang

Benyamin Langga, mengajak saya berjalan menjejak pematang sawah, menapak punggung bukit, dan menuruni lereng curam. Dia lahir 60 tahun silam. Langkah tegap baik jalan datar, menurun ataupun mendaki.

Ketika kami tiba pada lereng dan memandang Sungai Betue, aliran air dari ketinggian serupa sapuan kuas putih. Rimbun pohon di beberapa titik terlihat menyejukkan. Seekor elang hitam dengan sayap membentang lebar bermain di atas kepala. Di bagian bawah lereng, tiga elang alap bermain saling kejaran, atau mungkin sedang ritual kawin.

Udara makin panas hari itu. Dari Desa Tana Makaleang, Kecamatan Seko, Luwu Utara, tempat memulai perjalanan, beberapa orang mengatakan jika Basseang–tempat pengeboran dan pengujian sampel PLTA-yang hendak kami tuju tak jauh, sekitar 30 menit berjalan.

Kaki kami tak sekuat masyarakat setempat. Alhasil, jarak tempuh mencapai 1,5 jam berjalan kaki.

Saat perjalanan kembali, tenggorokan kering. Benyamin, tiba-tiba mempercepat langkah, mendaki punggung bukit. Di balik beberapa pohon terlihat rumah kebun. Beberapa menit kemudian, dia sudah terlihat berjalan dengan gendongan keranjang di punggung, berisi beberapa mentimun.

“Dari kebun saya. Makan ini supaya tidak haus,” katanya. Mentimun terasa sangat menyegarkan.

Suara mesin motor terdengar samar dari balik tenda lokasi pengeboran. Dua orang datang dengan tergesa. Menggunakan sepatu lars dan terlihat kelelahan. Salah seorang bernama Topel. Dia adalah Kepala Desa Tana Makaleang. Dia membuka pembicaraan dengan saya dengan nada tinggi. Bibirnya bergetar. “Kita ini dari mana?” katanya.

“Buat apa datang kesini. Ini kan harus melapor.”

“Saya dengan masyarakat, mau lihat lokasi kebun mereka,” kata saya.

“Oh tidak bisa seperti itu. Saya ini kepala desa. Saya pemerintah di sini. Semua aktivitas dan apapun di wilayah ini harus sepengetahuan saya,” kata Topel.

Topel terus melanjutkan dialog seperti tak ada jeda.

“Harus melapor dong. Saya tidak tahu siapa kita. Siapa tahu provokator. Kan bisa saja saya menuduh provokator. Ade–adik– ini harus tahu, kondisi desa sekarang lagi tidak stabil. Lagi memanas, karena ada yang sengaja menghalang-halangi jalannya perusahaan.”

“Kalau adik ini saya usir bagaimana. Kan bisa saja.”

Topel duduk di depan saya dalam tenda pekerja lapangan untuk beristirahat. Di dekat kami ada beberapa sampel batuan yang telah diangkat dari pengeboran.

Dia menggoyang-goyangkan pedang berbungkus pipa besi bulat. Sambil terus berbicara dia menghentakkan pelan pedang itu ke tanah, diantara selangkangan.

Andri Karyo, warga setempat, mengatakan, ketika ada rencana pembangunan PLTA di Seko, hingga pengeboran, masyarakat terbelah dua. “Ada yang mendukung ada yang tidak,” katanya.

“Karena saya tak mendukung PLTA, rumah saya ini menjadi tempat musyawarah, saya dianggap biangnya.”

Bahkan, sesama keluarga saling tak bertegur sapa, gara-gara pro kontra ini.  Termasuk hubungan Andri dan sang paman, menjadi renggang karena berbeda pilihan.

“Sebenarnya sedih juga seperti ini.”

Kampung Longa nampak-kubah masjid diantara atap rumah penduduk. Pada 2014, wilayah ini jadi patok survei pengembang. Foto: Eko Rusdianto
Kampung Longa nampak-kubah masjid diantara atap rumah penduduk. Pada 2014, wilayah ini jadi patok survei pengembang. Foto: Eko Rusdianto

***

Pekan pertama Juni 2016, saya bersama dua pengurus Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Tana Luwu, menempuh perjalanan menggunakan jasa ojek, selama dua hari dari Sabbang menuju Seko Tengah, Desa Tana Makaleang.

Kami tiba di rumah Andri sekitar pukul 21.00. Badan penuh lumpur dan tulang serasa remuk. Di tangga rumah, seratusan sandal berjejer. Bertumpuk.

Malam itu, ada pertemuan masyarakat menolak PLTA yang akan dibangun PT Seko Power Prima.

Ruangan sesak. Anak muda, orang tua–laki-laki dan perempuan. Mereka duduk dan berdiskusi. Saya melihat dari pintu dapur. Seorang ibu membaringkan cucu yang terlelap di pangkuan dengan tetap takzim mendengar diskusi.

“Mengapa harus menolak PLTA?” tanya saya.

“Kalau nanti di bangun, itu di Ratte (tempat rencana power house PLTA) ada saya punya kebun. Nanti dimana saya olah kebun dan sawah lagi,” katanya.

“Kalau saya dikasih ganti rugi dan diminta pindah. Saya tidak mau. Itu tanah warisan dari orang tua, sejak dulu.”

Tana Makaleang adalah desa yang sejuk. Masuk dalam rumpun adat Pohoneang. Rumah-rumah panggung berdempet. Ada lapangan rumput luas. Jalan-jalan kecil, beberapa titik menggunakan rabat beton, sebagian besar tanah berlumpur.

Di wilayah ini, tak ada jaringan telepon seluler. Perusahaan Listrik Negara (PLN) tampak enggan dan tak cukup berani membangun jaringan listrik.

Warga yang memiliki kemampuan finansial, akan membeli genset. Beberapa warga mencantolkan kabel bersama dan urunan membeli solar. Listrik dari daya generator ini akan dinikmati sejak pukul 18.00-21.00 atau paling lama 22.00.

Jika gelap malam membungkus desa ini, orang-orang akan terlelap. Atau sebagian menyalakan lampu LED yang telah diisi daya, atau menggunakan penerangan petromaks.

Di Tana Makaleang, saya melihat keuntungan tak memiliki jaringan seluler, setiap orang akan saling bertukar pendapat atau sekadar berbagi cerita. Bukan memoloti telepon seluler.

Selama sepekan saya menikmati keramahan desa ini. Orang-orang membagi senyum dengan penuh kebahagiaan. Saat berjalan melintasi rumah-rumah penduduk, selalu saja warga mengajak sekadar mencicipi kopi atau penganan lain.

Namun, di bagian hati warga yang dalam, mereka resah. Sejak 2014, PT Seko Power Prima, hendak membangun pembangkit dengan kapasitas 480 Mega Watt.

Kapasitas terpasang PLTA inilah yang akan menjadi pemikat perusahaan dan pemerintah membujuk masyarakat Seko dan Luwu Utara, jika kelak ada listrik tak akan terjadi pemadaman bergilir.

Pada lansekap alam, Sungai Uro dan Betue berbeda hulu, namun hilir menyatu yang membentuk Sungai Karama di Kalumpang , Mamuju, Sulawesi Barat. Sungai Karama saat ini dalam tahap konstruksi pembangunan PLTA milik Kalla Group.

Batang Sungai Betue yang menjadi ancang-ancangnya. Dalam kerangka acuan dokumen Analisis dampak lingkungan (Andal) Seko Power Prima, perusahaan akan membendung sungai di Sae dan mengalihkan aliran air menuju Ratte menggunakan tiga terowongan dengan luas penampang masing-masing mencapai delapan meter.

Jadinya, Ratte menjadi rumah turbin atau rumah pembangkit (power house) dan Sae menjadi DAM.

Staf AMAN Tana Luwu pada bagian pemetaan melihat jarak lurus dari Sae menuju Ratte menggunakan perangkat internet, mencapai 18 kilometer. Terowongan akan membentang diantara pepohonan, tebing, atau bahkan terkubur dalam tanah. Dan bahkan dapat membelah kampung.

Inilah yang menjadi kekhawatiran masyarakat. Akhirnya, pada awal 2016, beberapa perwakilan masyarakat termasuk AMAN Tana Luwu, menggunakan fasilitas pemerintah daerah Luwu Utara mengadakan studi banding ke PLTA Musi.

“Itu benar. Saya ikut. Kami diperlihatkan bagaimana proses PLTA itu berjalan. Tak ada penjelasan bagaimana kondisi awal dan bagaimana masyarakat setempat,” kata Bata Manurun, Ketua AMAN Tana Luwu.

“Sejak kepulangan studi banding itu, kami dari AMAN Tana Luwu tetap menolak dan bersama masyarakat,” katanya.

Topel,  salah seorang yang ikut dalam lawatan itu. “Di PLTA Musi, semua baik-baik saja. Pada awal 2014 hingga 2015, saya menjadi garda depan menolak pembangunan ini (PLTA Seko). Tapi dari Musi, saya salah kaprah selama ini. Ternyata ini untuk kebaikan,” kata Topel.

Asumsi warga, kata Topel, jika terowongan memasuki kampung, dan memindahkan pemukiman itu tak benar. Di teras rumah, yang luas dia menunjuk gugusan gunung di bagian samping rumah.

“Informasi yang saya terima, terowongan itu akan ditempatkan di bagian itu. Jadi kampung aman. Kalau masyarakat disuruh pindah, tentu saya juga menolak.”

Ungkapan Topel ini, berbanding terbalik dengan apa yang disampaikan Plt. Kadis Pertambangan Luwu Utara, Ahmad Yani saat pertemuan di Hotel Tree Makassar, pada 29-30 Agustus 2016.

“Sekarang yang saya tahu PLTA Sekopower Prima hanya memiliki izin prinsip dan izin lokasi,” katanya.

“Soal bagaimana bentuk PLTA itu kelak, kita belum tahu. Apakah akan menggunakan terowongan penuh atau kanal air terbuka. Atau kah di-combain. Itu kita tunggu hasil kajian.”

Rumah penduduk di Desa Tana Makaleang diterangi cahaya listrik dari genset. Foto: Eko Rusdianto
Rumah penduduk di Desa Tana Makaleang diterangi cahaya listrik dari genset. Foto: Eko Rusdianto

***

Kerangka acuan Andal Seko Power Prima mencapai ratusan halaman. Dokumen ini disetujui November 2014 oleh Plt. Sekretaris Daerah Luwu Utara dengan syarat penyusunan Andal paling lama tiga tahun.

Awal Juni 2016, ketika menyambangi Seko, beberapa pekerjaan lapangan Seko Power Prima sudah berjalan. Di Basseang, mesin bor bekerja.

Mahdi, Geolog dari Universitas Hasanuddin yang mengawal kegiatan mengatakan, setiap hari kedalaman bor lima meter. Ini akan terus bekerja hingga 130 meter.

Pengoboran ini, kata Mahdi, untuk melihat dan mengetahui tekanan air dalam air tanah. “Mengapa harus mengebor, bukankah PLTA ini hanya akan mengalihkan air dari sungai lalu ke turbin?” tanya saya.

“Saya tidak tahu. Kami hanya diminta dan dipekerjakan disini,” kata Mahdi.

Di Basseang, saya mencoba menghadap ke arah Sae, tempat rencana pembangunan DAM. Di hadapan saya, Sae tak terlihat, hanya ada deretan pegunungan. Salah satu hamparan punggungan tepat di depan saya adalah tanah milik Benyamin. “Kalau nanti pipa atau terowongan itu masuk ke kebun, saya tidak mau.”

Dalam acuan Andal menyebutkan, panjang terowongan mencapai 16.407 meter, berlapis penampang bulat dengan diameter penampang delapan meter. Untuk pipa penyalur lima meter. Pipa pesat (penstock) yang membawa air menuju turbin diameter dalam 20 meter, diameter luar 30 meter serta tinggi 16 meter.

Saya mencoba membandingkan dengan PLTA Larona di Luwu Timur. Tipe bangunan dan rencana PLTA Seko, hampir mirip. Menggunakan kanal dan menyalurkan melalui pipa, menggunakan tiga unit turbin masing 3 x 65 MW. Panjang kanal (waterway) delapan km dan pipa pesat (penstock) satu km dengan diameter pipa dua meter.

Di Larona, mengisi air penuh dalam pipa perlu waktu sekitar empat jam. “Kapan waktu, pernah pengisian cepat karena kebutuhan energy meningkat. Di baypass menjadi tiga jam. Apa yang terjadi pipa mengayun. Itu berisiko sangat tinggi,” kata teknisi di Larona, nama enggan disebutkan.

Andri khawatir dengan pipa PLTA itu. Jika melihat peta bumi, kampung dalam wilayah Desa Tana Makaleang dan Embonatana (termasuk Sae) berada diantara dua buah badan sungai besar, Uro dan Betue.

Yulius Patoo, warga Desa Tana Makaleang mengatakan, wilayah bermukim penduduk dalam posisi menyempit. “Kalau pernah liat gitar, pada bagian yang menyempit, kampung berada tepat di tempat itu. Tapi begitu Uro dan Betue memberikan kami air dan kehidupan,” katanya.

“Kalau mau menarik garis lurus, dari batang Sungai Uro ke Betue, jaraknya hanya sekitar tiga kilometer,” kata Andri.

“Kalau jarak sedekat itu, saya kira itu berisiko besar. Ingat ini rekayasa, penuh perhitungan dan pertimbangan. Kampung dan masyarakat di tempat itu pasti akan was-was dan harus mendapatkan penyuluhan yang baik,” kata staf PLTA Larona.

Tak hanya itu, dalam Sungai Uro pun kelak akan dibangun PLTA berkapasitas 90 MW. Dua rencana pembangunan pembangkit ini dikerjakan perusahaan sama.

Pada catatan kerangka acuan Andal Sungai Betue dikelola Seko Power Prima (PLTA Seko-1) dan Sungai Uro oleh Seko Power Prada (PLTA Seko-2).

Sebelumnya, pemberian izin prinsip Dinas Pertambangan dan Energi Luwu Utara pada PT Asri Power 28 Desember 2012. Permohonan perpanjangan izin prinsip kemudian disetujui 18 Juni 2014, dan pengubahan nama menjadi PT Seko Power Prima.

Di Luwu Utara, kata Plt. Dinas Pertambangan dan Energi Ahmad Yani, mengatakan ada 11 izin prinsip PLTA yang akan dibangun,masing-masing tersebar di beberapa wilayah yang memiliki badan sungai dengan debit air memadai.

“Kalau semua jadi, jumlah daya yang akan dihasilkan mencapai 1.154 MW. Kan kita tidak tahu kapan semua berjalan dan beroperasi.”

Lembah Sungai Betue. Foto: Eko Rusdianto
Lembah Sungai Betue. Foto: Eko Rusdianto

***

Saya berdiri di Kampung Longa, tak jauh dari Sae. Ada masjid berdiri di pinggir jalan utama. Beberapa penduduk menyatakan, suatu ketika perusahaan datang dan membuat patok, sebagai jalur terowongan. Beberapa warga melayangkan protes, lalu patok itu dicabut.

Di Sae, saya berdiri pada sebuah ketinggian, air Sungai Betue terdengar bergemericik. Di sisi kiri dan kanan terhampar berhektar-hektar lahan persawahan padi. Juga perkebunan. Wilayah ini, kelak berada di bawah rencana pembangunan DAM pembangkit listrik.

Rencana konstruksi DAM PLTA Seko Power Prima setinggi 30 meter. Saat pengoperasian bendungan, akan terjadi kenaikan tinggi air di lokasi hingga 15 meter. Saya berkali-kali menelpon dan mengirim pesan untuk  Ginandjar Kurli sebagai manager operasional PLTA tetapi tak pernah ada tanggapan.

Di Sae, tak ada yang bisa mengetahui kemana jalur terowongan akan menembus hutan dan menerobos pegunungan menuju Ratte. Namun, sesuai surat pertimbangan teknis penggunaan kawasan hutan, Seko Power Prada untuk PLTA, kepada Balai Penetapan Kawasan Hutan Wilayah VII Makassar, Oktober 2015 memohon area 411,02 hektar.

Dalam poin ke empat seluas 38,84 hektar pada kawasan  hutan lindung dan 2,68 hektar pada tubuh air.

DI Palandoang, kampung yang dituju sebelum Sae dari Sabbang, motor ojek yang membawa kami harus berhenti dan menunggu giliran. Sebuah alat berat, sedang bekerja mengeruk tebing tanah dan meratakan jalanan.

Di depan mobil berat–dikenal dengan sebutan beko–dua orang pekerja sedang berisitirahat memandang aliran sungai yang berada di bawah mereka. Sungai itu, adalah anak-anak sungai yang dimana hilir masuk ke Sungai Betue.

Pembangunan jalan ini oleh Seko Power Prima. Tanah-tanah dari kendaraan alat berat itu dibuang ke sungai, bahkan telah menutup sebagian aliran.

“Kenapa tanah tidak dibuang di tempat lain,” tanya saya.

Nda bisa, disini tanah orang, nanti yang punya marah dan tidak diizinkan. Kalau ke sungai kan tidak ada yang marah,” kata si pekerja.

Berpedoman kembali pada kerangka acuan Andal Seko Power Prima, tahap pra konstruksi semua buangan tanah akan ditempatkan di tempat aman dan digunakan sebaiknya agar tak merusak lingkungan.

Rupanya janji tertulis dan praktik lapangan tak berjalan sesuai kesepakatan.

Plt. Kadis Pertambangan dan Energi, Ahmad Yani di Makassar, dalam diskusi multi pihak mengatakan, Seko Power Prima baru mengantongi izin prinsip dan lokasi, hanya sebatas kegiatan survei dan pengkajian. Kelak, katanya, menjadi acuan Andal dan akan duduk bersama semua pihak.

“Yakinlah, kalau PLTA atau proyek ini, lebih banyak mudarat, Pemda Luwu Utara, menjadi garda terdepan akan menolak. Mari kita beri kesempatan dulu,” katanya.

Sejak berhembus kabar akan ada pembangunan PLTA di Seko, beberapa warga dari tiga wilayah adat Pohoneang, Hoyyane, dan Amballong dihantui kecemasan. Gencar kabar datang silih berganti, dari mulai sawah penduduk tenggelam hingga pemindahan penduduk.

Kini, rasa saling curiga pun makin tinggi. Masyarakat terbelah dalam dua opsi, menerima dan menolak.

Padahal pada Oktober 2014, ketika perusahaan memasuki Seko – Seko Tengah–tak ada yang meminta izin pada masyarakat. Pengembang dengan enteng memasang patok batas dan area survei yang akhirnya memicu pemberian sanksi adat, membayar Rp10 juta dan kerbau.

Pemberian sanksi itu pula disertai upaya perjanjian antara masyarakat adat dan Seko Power Prima untuk tak lagi beraktivitas dalam wilayah adat.

Keadaan berbalik, perusahaan melaporkan kejadian itu sebagai upaya pemerasan.

Sengkarut PLTA Seko ini berjalan terus menerus hingga kini. Pada Agustus 2015, LSM tergabung dalam Simpul Jaringan Aktvitas Luwu Utara (Sijalu) aksi di Dedung DRPD untuk mempercepat pembangunan PLTA.

Respon dewan kabupaten cukup baik, dalam waktu cepat paripurna membolehkan pembangunan PLTA.

Pada Oktober 2015, pengembang dikawal 70 Brimob menuju Seko. Masyarakat memblokade jalan masuk desa. Pada Mei 2016, kembali penutupan akses jalan menuju Seko Tengah. “Kami dengar informasi, jika alat perusahaan akan masuk. Kami menghalangi,” kata Andri.

Warga berhasil menghalau. Mereka mendirikan bangunan beratap di jalan utama desa. Pada 17 Mei 2016, rumah Andri dijaga beberapa polisi. Ada yang berdiri di depan rumah, dan di belakang.

“Saya dan Pak Daniel Basri dibawa ke Polres Luwu Utara. Kami ditanya dan diperlakukan dengan baik,” katanya.

Tertangkapnya Andri dan Daniel, membuat masyarakat Seko Tengah, khawatir. Beberapa orang menangis dan blokade jalan tidak dihiraukan.

“Rupanya ini cara mereka menangkap kami. Jadi konsentrasi warga pecah, dan alat berat masuk ke lokasi. Maka seperti yang kau lihat di Basseang, sudah ada pengeboran sampel,” ucap Andri.

Apakah perlawanan warga mengendur? Pada awal Agustus 2016, puluhan warga kembali mendatangi lokasi pengeboran Basseang dan membongkar tenda.

Alat-alat perusahaan disusun rapi dan dibungkus terpal tenda. Beberapa sampel batuan dan tanah hasil pengeboran disita masyarakat.

“Saudara-saudara kami di Seko Tengah, bukan orang jahat. Kami tak ingin berkelahi. Maka tenda dibongkar dengan baik dan sampel bor itu dikembalikan ke tanah lagi karena asal memang dari situ,” kata Yulius Patoo.

Sungai di wilayah Palondoang dengan hulu masuk ke Sungai Betue. Foto: Eko Rusdianto
Sungai di wilayah Palondoang dengan hulu masuk ke Sungai Betue. Foto: Eko Rusdianto

***

Seko Dalam, beberapa pengertian warga berarti sahabat atau kerabat. Orang-orang Seko selalu menghargai setiap tamu dan selalu berlaku sopan. Seko dibagi dalam tiga wilayah administrasi Seko Tengah, Seko Padang dan Seko Lemo.

Mahir Takaka, warga Seko Padang, kini pengurus AMAN Pusat mengatakan, jika tanah Seko penuh kedamaian sepanjang waktu mendapat teror atas nama pembangunan. Pada dekade 1990-an, ada perusahaan usaha kayu, PT Kendari Tunggal Timber. Konsesi perusahaan ini, meliputi Baebunta, Sabbang, Rongkong dan Seko.

Pada awal kemunculan Kendari Tunggal Timber, masyarakat menaruh harapan besar, karena dijanjikan beragam program pemberdayaan.

“Rupanya hanya isapan jempol. Apa yang ditinggalkan KTT, jalan hutan carut marut. Longsor dimana-mana, karena tegakan kayu besar sudah hilang,” katanya.

Data lain menyebutkan, di Seko Padang, sejak 1985 ada pula perusahaan pengembangan perkebunan bernama PT Seko Fajar menggunakan izin hak guna usaha. Luas areal 35.000 hektar. Pada 2011, diusulkan sebagai HGU terlantar karena tak tergarap. Setahun kemudian oleh Badan Pertanahan Nasional HGU dicabut.

“Tapi Seko Fajar banding di PTUN dan sekarang memenangkan kembali. Jadi kembali lagi dikuasi mereka,” kata Mahir.

Bukan tak mungkin, kekhawatiran beberapa masyarakat akan kehadiran PLTA, katanya, peruntukan lebih pada usaha mendorong industri besar, seperti pertambangan.

Data terbaru dirilis Dinas Pertambangan dan Energi Luwu Utara, jika Seko ada dua izin pengelolaan tambang. Pertama, perusahaan Kalla Aribamma akan menambang bijih besi dengan luas konsesi 6.812 hektar di Marante, Seko Padang.

Kedua, Citra Palu Mineral akan menambang emas dengan luas konsesi 36.382 hektar meliputi Seko Padang dan Rampi.

“Saya bukan anak sekolahan, tapi sekarang, kita tahu ada beberapa rencana penambangan di Seko. Saya kira listrik itu kelak akan digunakan untuk industri,” kata Andri.

“Kini, saya mempertahankan apa yang menjadi hak kami sebagai masyarakat. Jika pun harus mati, maka itu konsekuensi.”

Jadi, siapakah sebenarnya penikmat pasokan listrik yang akan dibangun ini?

Hamparan padang ilalang di wilayah Sodangan, Seko Padang yang masuk wilayah HGU perusahaan. Foto: Eko Rusdianto
Hamparan padang ilalang di wilayah Sodangan, Seko Padang yang masuk wilayah HGU perusahaan. Foto: Eko Rusdianto
Sungai Betue. Foto: Eko Rusdianto
Sungai Betue. Foto: Eko Rusdianto
Alat berat perusahaan mulai bekerja dan timbunan tanah sebagian menutupi sungai. Foto: Eko Rusdianto
Alat berat perusahaan mulai bekerja dan timbunan tanah sebagian menutupi sungai. Foto: Eko Rusdianto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,