Opini : Melindungi Hutan Kita dengan Perbankan Berkelanjutan

Mengubah Mindset Pembiayaan Projek

Setelah selama hampir dua tahun bekerja keras, akhirnya website www.forestsandfinance.org dapat diselesaikan. Pekerjaan kolaboratif antara Rainforest Action Network, Tranformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia dan Profundo itu akhirnya bisa dipersembahkan ke seluruh dunia pada tanggal 6 September 2016.

Peluncurannya bertepatan dengan hari pertama PRI (Principles for Responsible Investment) in Person, sebuah konferensi internasional yang menyatukan para investor yang punya perhatian kepada keberlanjutan, di Singapura.

Buat para penandatangan United Nations Principles for Responsible Investment (UN PRI), menilai kelayakan investasi dari sudut pandang non-finansial adalah keniscayaan. Mereka berjanji untuk memasukkan unsur-unsur lingkungan, sosial dan tata kelola—atau environment, social and governance, disingkat ESG—ke dalam pengambilan keputusan investasi. Logikanya, hanya investasi yang layak dalam finansial dan ESG saja yang benar-benar bisa dilakukan.

Hal ini sesungguhnya mudah dipahami. ESG adalah cara untuk memastikan bahwa perusahaan bisa beroperasi dengan risiko bisnis yang terkelola dengan baik. ESG adalah cara melihat risiko secara komprehensif, sehingga ini bukanlah merupakan beban tambahan bagi perusahaan, melainkan bantuan yang sangat berharga untuk memastikan kesuksesan investasi.

Sejumlah penelitian telah dipublikasikan dengan hasil yang konsisten, yaitu bahwa perusahaan yang memiliki kinerja ESG yang tinggi juga cenderung memiliki kinerja finansial yang baik. Vice versa.

Namun demikian, lantaran banyak perusahaan yang beroperasi dengan mindset jangka pendek, dan ESG pun relatif baru diperkenalkan, maka pengabaiannya masih kerap terjadi. Oleh karena itu, beragam cara diperlukan untuk membujuk, mendorong, dan memaksa perusahaan menjadi lebih memiliki perhatian kepada ESG ini.

Salah satu cara adalah sebagaimana yang dipromosikan oleh website tersebut. Bagaimanapun, perusahaan tak bisa melakukan bisnisnya bila tak ada pemberi modal bagi mereka, baik itu investor maupun bank.

Kebakaran dan kerusakan gambut parah di berbagai daerah yang akan menjadi target restorasi BRG. Foto: Sapariah Saturi
Kebakaran dan kerusakan gambut parah di berbagai daerah yang akan menjadi target restorasi BRG. Foto: Sapariah Saturi

Oleh karena itu, mengubah sikap investor dan bank adalah esensial bila kita ingin perusahaan-perusahaan lebih peduli kepada keberlanjutan. Sama dengan perusahaan yang perlu menghitung kelayakan ESG investasinya, investor dan bank perlu juga membuat keputusan investasinya berdasarkan kriteria kelayakan ESG.

Ketiga organisasi yang membuat website itu percaya bahwa akuntabilitas para pemberi modal itu hanya akan bisa dituntut bila terdapat informasi yang valid dan lengkap tentang siapa melakukan investasi di mana, dan apa saja risiko investasi yang melekat di situ.

Hutan Indonesia dan Investasi

Kelestarian hutan di Indonesia sudah lama menjadi perhatian para pemangku kepentingannya. Mereka melihat bahwa empat sektor industri yang membawa risiko kelestarian hutan terbesar adalah kelapa sawit, pulp dan kertas, karet, serta kayu.

Oleh karenanya, empat sektor itulah yang kemudian menjadi perhatian utama. Lantaran ingin fokus kepada mereka yang paling membawa risiko, maka dipilihlah 50 perusahaan terbesar.

Pertanyaannya kemudian, siapakah yang membiayai investasi yang berisiko itu? Dari data yang bisa dibaca pada website tersebut, di sepuluh besar asal negara investasi, berturut-turut ditempati oleh Malaysia, Tiongkok, Jepang, Indonesia, Singapura, Inggris, Amerika Serikat, Swiss, Jerman dan Prancis. Dari lima peringkat teratas saja, sudah sekitar USD25 miliar digelontorkan antara 2010 – 2015.

Karena investasi di sektor-sektor ini bersifat jangka panjang, maka waktu 6 tahun itu hanyalah menggambarkan sebagian (kecil) saja dari total investasi perbankan di sektor-sektor yang membawa risiko bagi kelestarian hutan.

Presiden Joko Widodo, bersama jajaran menteri kala mengunjungi titik kebakaran lahan gambut di Kalimantan Tengah, baru-baru ini. Pada 23 Oktober 2015, dalam rapat terbatas, Presiden memerintah menghentikan pemberian izin di lahan gambut. Foto: dari Facebook Luhut B Pandjaitan, Menteri Polhukam
Presiden Joko Widodo, bersama jajaran menteri kala mengunjungi titik kebakaran lahan gambut di Kalimantan Tengah, baru-baru ini. Pada 23 Oktober 2015, dalam rapat terbatas, Presiden memerintah menghentikan pemberian izin di lahan gambut. Foto: dari Facebook Luhut B Pandjaitan, Menteri Polhukam

Jika dilihat dari bank yang memberikan pinjaman, pada kurun waktu yang sama Maybank saja menggelontorkan USD2,716 miliar, CIMB berinvestasi sebanyak USD2,544 miliar, disusul oleh Mizuho Financial dengan USD1,635, HSBC dengan USD1,603, dan DBS dengan USD1,442. Itu bukanlah jumlah yang sedikit, dan tentu punya pengaruh yang sangat besar bila digelontorkan tanpa mempertimbangkan kelayakan ESG.

Risiko dan Kelayakan ESG

Risiko ESG sendiri sangatlah jelas. Di aspek lingkungan, kehilangan keanekaragaman hayati, perubahan iklim, hilangnya air, serta polusi sangatlah dominan. Secara sosial, beragam kejadian terkait pemindahan paksa, pelanggaran HAM, konflik lahan, eksploitasi buruh, serta masalah kesehatan banyak ditemukan.

Sementara, secara tata kelola yang menonjol adalah suap, beragam aktivitas ilegal, kejahatan keuangan, serta dampak reputasional. Risiko tersebut bukan saja dialami oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki bisnis yang merisikokan kelestarian hutan secara langsung, melainkan juga secara objektif menjadi risiko investor dan bank yang membiayainya.

Bayangkan sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang meminjam modal kepada bank mengalami kebakaran hutan dan lahan karena tidak melakukan pengelolaan dengan benar. Apakah kemudian perusahaan tersebut bisa membayar pinjamannya? Hal yang sama juga terjadi bila sebuah perkebunan kelapa sawit nekat membuka perkebunan di lahan gambut.

Berbagai kasus sudah jelas menunjukkan bahwa risiko hilangnya air lalu tumbang dan matinya tanaman sangatlah besar. Lagi-lagi mungkinkah perusahaan seperti ini membayar kreditnya? Pada akhirnya, bank yang meminjamkan modal kepada perusahaan tersebut juga akan mengalami kondisi non performing loan yang merisikokan bisnisnya.

Ketika para ibu bentrok dengan Brimob, polisi, TNI, satpam SI dan preman. Foto: Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng
Ketika para ibu yang berjuang menyelamatkan lahan pertanian dan kawasan Kendeng bentrok dengan Brimob, polisi, TNI, satpam Perusahaan Semen Indonesia dan preman. Foto: Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng

Terkait risiko sosial, dampak yang sama juga dapat timbul.  Sebuah perusahaan yang ketika pembukaan lahannya tidak mendapatkan free, prior and informed consent—disingkat FPIC atau padiatapa—dari masyarakat sangat besar peluangnya untuk mengalami hambatan dalam operasinya. Lagi-lagi, ini menimbulkan risiko gagal bayar bagi bank yang memberikan modal.

Bahkan, bank juga bisa terseret ke dalam kondisi guilty by association apabila perusahaan-perusahaan yang mendapatkan modal darinya ternyata banyak yang bereputasi buruk.

Rapor Kebijakan ESG Bank

Gambaran di atas menjelaskan bahwa sudah seharusnya bank menjadi lebih berhati-hati dalam keputusan investasinya. Dalam website tersebut bisa dibaca berbagai kebijakan yang sekarang sudah menjadi norma yang diharapkan oleh pemangku kepentingan keberlanjutan akan dipenuhi oleh perbankan.

Bagian pertama dari kebijakan itu adalah cakupan komitmen. Dalam hal ini bank diharapkan untuk menandatangani kovenan internasional yang terkait dengan isu-isu hutan dan lahan; memiliki kebijakan perlindungan hutan spesifik per sektor yang bisa diakses oleh publik; memberlakukannya untuk seluruh jenis jasa finansial yang disediakannya; menerapkan secara seragam untuk seluruh kliennya; serta melakukan penilaian independen secara regular atas isu-isu legalitas, sosial dan lingkungan.

Bagian kedua terkait dengan standar lingkungan. Di sini harapan terhadap perbankan juga sangat lugas: melarang degradasi lahan serta konversi hutan alam; melarang operasi kehutanan/pertanian di area hutan primer; melarang operasi kehutanan/pertanian yang merusak kawasan hutan yang merupakan high conservation value (HCV) dan high carbon stock (HCS); melarang operasi di kawasan lindung; serta mensyaratkan pengecekan legalitas untuk seluruh operasi dan rantai pasokannya.

Bagian ketiga, standar sosial, menjelaskan harapan pemangku kepentingan yang lain lagi. Di sini bank diharapkan untuk selalu mengecek legalitas hak atas lahan; mensyaratkan FPIC bagi masyarakat adat bila memang bisa diaplikasikan; melarang tenaga kerja paksa dan tenaga kerja anak; mensyaratkan perlindungan kesehatan dan keselamatan untuk pekerja dan masyarakat; serta memiliki mekanisme penyelesaian keluhan dari masyarakat.

Aksi Greenpeace menentang perusakan hutan di Semenanjung Kampar, Riau tahu n 2009 silam. Foto: Greenpeace Indonesia
Aksi Greenpeace menentang perusakan hutan di Semenanjung Kampar, Riau tahu n 2009 silam. Foto: Greenpeace Indonesia

Dari hasil penelitian ketiga organisasi didapatkan gambaran yang tak begitu menyenangkan. Dari skor maksimal untuk seluruh kebijakan itu (30), tak ada satupun bank yang bisa memenuhinya. ABN Amro mendapatkan yang tertinggi (24), disusul Rabobank (23), lalu Credit Suisse (20), Citigroup (18), dan Standard Chartered (17).

Bandingkan dengan bank-bank yang paling banyak memberikan curahan kapital di sektor-sektor yang merisikokan kelestarian hutan di Indonesia: Maybank (0), CIMB (0), Mizuho (10), HSBC (16) dan DBS (0). Hanya HSBC saja yang memiliki skor lumayan di dalam kebijakannya. Sementara, yang lainnya terhitung buruk.

Menuju Perbankan Berkelanjutan

Kalau secara kebijakan saja skornya nol—yaitu Maybank, CIMB, dan DBS—tidak bisa dibayangkan bagaimana praktiknya. Mereka yang memiliki skor terbilang baik saja belum tentu kebal dari investasi yang berdampak negatif, apalagi bank-bank yang tak memiliki kebijakan yang tegas.

Perlu juga dinyatakan bahwa kaitan antara bank-bank yang tak memiliki kebijakan yang jelas dengan perusahaan-perusahaan yang paling merisikokan kelestarian hutan sangatlah erat. Hal tersebut secara sangat cepat bisa ditemukan di dalam website.

Orangutan Sumatera salah satu satwa khas Indonesia yang hampir musnah akibat ekpansi bisnis pulp and paper di Sumatera. Foto: Rhett A. Butler
Orangutan Sumatera salah satu satwa khas Indonesia yang hampir musnah akibat ekpansi bisnis pulp and paper di Sumatera. Foto: Rhett A. Butler

Perusahaan-perusahaan yang kerap disebut dalam kasus-kasus dampak negatif sosial dan lingkungan di berbagai media massa, misalnya, adalah klien bank-bank yang tak memiliki kebijakan yang kokoh itu.

Namun, memiliki kebijakan yang lumayan lengkap pun masih perlu pembuktian di lapangan apakah memang benar-benar diimplementasikan. Implementasi tersebut bukan hanya pada tahap pengambilan keputusan investasi, namun juga sepanjang daur proyek yang dibiayai.

Kalau kemudian ditemukan ketidaksesuaian antara kondisi di lapangan dengan apa yang seharusnya ditegakkan, perlu dilihat apa tindakan yang diambil oleh bank tersebut. Tindakan perbaikan tentu perlu diambil, namun misalkan ditemukan diskrepansi yang terlampau jauh, dan tak kunjung diperbaiki, tentu jalan yang diambil perlu adalah penghentian pembiayaan.

Itu semua jelas membutuhkan dukungan sumberdaya manusia yang mumpuni. Para bankir yang terlibat perlu mendapatkan pelatihan yang tepat agar bisa mengambil keputusan investasi yang memerhatikan risiko ESG dengan sungguh-sungguh; melakukan pemantauan, penilikan dan evaluasi atas implementasinya; mengambil tindakan yang tepat untuk setiap jenis dan tingkat ketidakpatuhan klien atas kebijakan bank; serta menegakkan transparensi kepada seluruh pemangku kepentingan keberlanjutan hutan. Tentu saja, itu semua mustahil dicapai apabila tidak ada kebijakan SDM dan organisasi yang mendukungnya.

Buat bank-bank yang mendapatkan skor rendah dalam kebijakan, apa yang dituntut oleh pemangku kepentingan itu akan terasa sangat berat. Namun, sebagaimana yang telah kerap dinyatakan oleh para pakar, pengelolaan risiko ESG adalah alat bantu bisnis perbankan agar menjadi lebih baik.

Mereka yang melaksanakannya akan mendapatkan banyak keuntungan, sementara yang melawan kehendak zaman ini—the age of sustainable development, menurut Jeffrey Sachs—jelas akan mengalami kerugian, bahkan hingga kehilangan bisnisnya.

Sebab, lawan dari keberlanjutan adalah kepunahan.

***

Rahmawati Retno Winarni*,  Direktur Eksekutif, Tranformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia

Jalal **,  Reader on Corporate Governance and Political Ecology, Thamrin School of Climate Change and Sustainability.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,