Ternyata Nelayan Rawa Gambut Mampu Hidup Sejahtera, Inilah Harapan Mereka

Beberapa tahun lalu, saat masih muda, Jajan (53), warga asli suku Dayak Ngaju, merupakan perambah kayu di kawasan Taman Nasional Sebangau, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Namun meskipun saat itu mendapat pemasukan yang besar, tapi dia mengaku uangnya habis tidak meninggalkan jejak. Tidak menjadi harta apapun yang dapat dia nikmati.

Sebaliknya, dia justru merasa mampu menghidupi keluarganya saat mulai menjadi nelayan tradisional sejak 2009 lalu.

“Saya menyesal dulu rusak Hutan Sebangau. Coba kalau hutan di sini seperti dulu, mungkin penghasilan kami dari cari ikan jauh lebih besar saat ini,” jelas bapak tiga anak kepada Mongabay Indonesia, di pondoknya di kawasan Solowati, awal September lalu.

Sekarang Jajan mencari ikan bersama istrinya, ikan tangkapan dijual segar maupun dijadikan ikan asin. Dalam setahun penghasilannya mencapai Rp100 juta. Ikan banyak ditangkapnya di Sungai Sebangau, sungai pembatas TN Sebangau dan Blok C eks PLG (Proyek Lahan Gambut) sejuta hektar.

Ikan yang dia tangkap banyak jenisnya, seperti ikan tapa, gabus, sepatung, dan baung. Dalam menangkap ikan, mereka menggunakan pancing atau alat perangkap ikan tradisional lainnya.

Hal yang sama dirasakan oleh Isam (56), nelayan beretnik Banjar, yang sudah 20 tahun menjadi nelayan di Sungai Sebangau. Menurutnya, menjadi nelayan sudah lebih dari cukup untuk mengasapi dapur. Bahkan terbilang sejahtera.

Pada masa puncak ikan, antara September hingga bulan Desember, rata-rata per bulan mendapatkan uang sekitar Rp8 juta per bulan. “Pada bulan-bulan biasa, sekitar Rp3-4 juta per bulan,” jelas Isam, yang juga mantan perambah hutan ini.

“Hidup jauh lebih enak dan tenang dibandingkan saat masa HPH dulu. Uang banyak tapi entah ke mana perginya,” jelas Isam yang sekarang tinggal di daerah Mangkok bersama keluarganya.

Sebelum adanya perusahaan HPH, masyarakat Dayak Ngaju hidup dengan mencari ikan atau nelayan. Mereka menjadi pemasok ikan untuk masyarakat di Banjarmasin, Palangkaraya, Barito, bahkan hingga ke pulau Jawa.

“Nyaris tidak ada pertanian di sini. Baru setelah datangnya transmigran, HPH dan aktifitas perusahaan perkebunan, lahan gambut dibuka menjadi pertanian dan perkebunan,” ucap Jajan.

Area gambut memang membentang di antara dua area yang diapit oleh Sungai Katingan dan Kahayan, sehingga area ini kerap disebut sebagai lansekap Katingan-Kahayan.

Menurut data riset USAID Lestari, lahan gambut di lansekap Katingan-Kahayan ini mencapai 795.759 hektar, mayoritas berada di Kabupaten Pulang Pisau dan merupakan lahan gambut terluas di Kalimantan Tengah yang memiliki total luas wilayah 3.006.640 hektar.

Lokasi ini mengalami degradasi kurang lebih 1,9% per tahun di tahun 1997-2000 atau kurang lebih 6,5% per tahun. Hampir setiap tahun mengalami kebakaran, termasuk terakhir tahun 2015. Pemerintah pun melalui Badan Restorasi Gambut (BRG) pun lalu menjadikannya sebagai pusat restorasi gambut di Kalimantan Tengah.

Salah satu pemukiman nelayan di sepanjang Sungai Sebangau, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Mereka selain menjual ikan segar juga ikan asin. Foto Taufik Wijaya
Salah satu pemukiman nelayan di sepanjang Sungai Sebangau, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Mereka selain menjual ikan segar juga ikan asin. Foto Taufik Wijaya

Gaya hidup yang berubah seiring dengan pembukaan wilayah ini bagi proyek transmigrasi, perkebunan dan PLG memang cukup berefek pada perilaku warga lokal. Sebagian lalu berorientasi kepada keuntungan dan memburu uang untuk mengikuti gaya hidup orang kota.

Hal ini setidaknya dialami oleh orang-orang usia paruh baya seperti Jajan dan Isam yang merasakan era boom kayu.

Perasaan serupa dirasakan oleh Bahran (54), seorang warga asal Desa Garong, yang menetap di kampung nelayan di muara Sungai Bangah, anak Sungai Sebangau.

Dia mengaku dulunya bekerja sebagai perambah. Setelah hutan habis, dia pun menjadi nelayan. Bahran sendiri bukan asli Dayak Ngaju, dia asal Banjar. Saat ini selain menjadi nelayan, dia memiliki kebun dan juga usaha rumah walet. Menurutnya hutan, sungai dan gambut yang terpelihara baik akan memudahkan mereka mendapatkan ikan dan berbagai jasa kebaikan alam.

Bahran mengaku saat ini dia hanya aktif mencari ikan pada masa puncak, selebihnya dia mengurusi kebun. Di wilayah area Blok C, dia mengaku memiliki 1.000 batang sengon. Dia berpendapat harus ada pengaturan area yang mengakomodasi hidup masyarakat.

“Saya berharap jangan semua lahan gambut di Blok C direstorasi, kami juga perlu berkebun buat hidup. Ada kebun karet juga sawit milik warga,” kata Bahran yang juga memiliki usaha rumah walet Rp350 juta yang sengaja dibangunnya.

Bahran, mantan perambah yang menjadi nelayan, kini membuka kebun sengon dan telah memiliki rumah walet. Foto Taufik Wijaya
Bahran, mantan perambah yang menjadi nelayan. Selain itu kini dia membuka kebun sengon dan memiliki rumah walet. Foto Taufik Wijaya

Mereka pun serempak menolak jika dikatakan para nelayan setempat yang dianggap merusak lahan gambut lewat cara membakar.

Meskipun terdengar aneh bagi  kebanyakan orang, tetapi membakar lahan kerap dilakukan oleh para penangkap ikan di lahan gambut, khususnya pada musim kemarau.

Tujuannya agar ikan-ikan “dapat diarahkan ke satu arah” untuk kemudian dijaring. Tetapi dampak jangka panjangnya lingkungan rusak, dan ikan pun kehilangan habitat hidupnya. Sehingga populasinya menurun.

“Kalau kami yang lakukan, jelas kami rugi. Itu kerjaan para pencari ikan dari luar. Selain membakar, mereka juga nyetrum, jadi banyak anak ikan yang mati. Bahkan ada yang memburu anakan ikan toman untuk dijual ke pasar sebagai bibit,” jelas Isam.

Menurutnya para nelayan lokal tidak melakukan metode membakar.

“Kami tidak pernah membakar. Kami hanya membuat sekat atau tabat sementara pada anak-anak sungai kecil untuk mencari ikan saat musim kemarau. Tabat sifatnya bukan permanen karena dibuat dari ranting pohon dan tanah lumpur,” jelasnya.

Pernyataan itu diamini Jajan, menurutnya membakar lahan gambut, sama saja membunuh diri mereka sendiri. “Seperti tahun 2015 kemarin, sudah sulit mencari ikan, kesehatan kami pun terganggu.”

Guna mencegah serbuan warga luar yang membuka kebun ilegal di Blok C dan melakukan praktik bakar lahan, Jajan menyarankan pemerintah melakukan penutupan kanal Garong yang menghubungkan Sungai Kahayan dengan Sungai Sebangau. Kanal ini juga menghubungkan beberapa kanal lainnya yang berada di Blok C.

“Kanal tersebut menjadi pintu masuk orang luar ke wilayah ini. Misalnya mereka yang mencari ikan dengan jumlah besar dengan cara membakar lahan gambut, sehingga embung atau genangan air tempat ikan berkumpul dapat ditemukan dengan cepat dan mudah.”

Kanal Garong yang menghubungkan Sungai Kahayan dan Sungai Sebangau yang melintasi Blok C eks PLG. Kanal ini yang menjadi transportasi para pemburu ikan dari luar pada musim kemarau yang dituduh sering melakukan pembakaran. Kanal ini diusulkan agar ditutup. Foto Taufik Wijaya
Kanal Garong yang menghubungkan Sungai Kahayan dan Sungai Sebangau yang melintasi Blok C eks PLG. Kanal ini yang menjadi akses transportasi para pemburu ikan dari luar, yang pada musim kemarau yang dituduh sering melakukan pembakaran. Kanal ini diusulkan agar ditutup. Foto Taufik Wijaya

Okta Simon, Sebangau Project Leader WWF Kalimantan Tengah, setuju jika kanal Garong ditutup.  Menurutnya hal itu dapat meminimalisir dampak kerusakan.

“Orang-orang luar masuk ke wilayah TN Sebangau dan Blok C dari kanal tersebut. Banyak yang menyangka mereka warga Desa Garong, padahal hanya sebagian kecil,” ungkap Okta kepada Mongabay Indonesia.

“Saya rasa jika kanal ditutup tidak akan memberikan dampak signifikan bagi masyarakat Desa Garong.  Sebagian besar mereka bertani dan berkebun di lahan lain.”

Selain mencegah aktifitas manusia yang menyebabkan kebakaran, penutupan kanal Garong dengan menggunakan sejumlah sekat kanal juga dapat mendorong pembasahan di Blok C, yang pada akhirnya akan mendorong populasi ikan yang akan membawa kesejahteraan bagi nelayan lokal.

“Kalau menurut saya nelayan lokal sangat arif dengan lingkungan,” jelas Okta.

Penjelasan Okta tampaknya masuk akal jika dihubungkan dengan mitos yang berlangsung di masyarakat setempat. Bagi masyarakat Dayak Ngaju dan Banjar, sejak ratusan tahun lalu terlarang hukumnya jika berani membakar di sekitar lahan gambut.  Jika hal tersebut dilanggar, maka akan muncul dampak buruknya.

“Jika kita membakar ikan seluang dan udang saat berada di lahan gambut, maka hanya dalam hitungan menit rumah akan digoyang oleh makhluk halus. Kalau kita membakarnya di atas  perahu, perahu pasti dibalikkan,” jelas Jajan.

“Baru setelah jauh dari lahan gambut, kita berani membakar ikan atau hewan tangkapan.”

Untuk membuktikan mitos itu, Dedi Siswanto, seorang penggiat lingkungan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, saat mahasiswa pernah sengaja melanggar mitos tersebut.

“Saya bersama seorang kawan melakukannya. Benar saja, beberapa menit kemudian rumah panggung yang kami diami seperti digoyang orang ramai-ramai,” jelasnya.

“Setidaknya hal itu membuktikan tidak begitu mudahnya masyarakat menggunakan api saat berada di lahan gambut.”

Beragam jenis ikan air tawar yang disimpan di keramba kecil ini, seperti toman, gabus, tapa dan sepatung. Foto Taufik Wijaya
Beragam jenis ikan air tawar yang disimpan di keramba kecil ini, seperti toman, gabus, tapa dan sepatung. Foto Taufik Wijaya

Dedi pun lalu menilai mitos yang masih dipegang masyarakat, baik suku Dayak Ngaju maupun Banjar tersebut membuktikan jika dalam kehidupan sehari-hari ada kearifan dalam membakar.

Hal itu yang saat ini sebenarnya dapat menjadi modal sosial dalam revitalisasi kearifan tradisional dalam mengelola gambut. Dedi pun berkeyakinan bahwa masyarakat lokal tidak begitu gampang membakar lahan gambut.

“Mereka pasti belajar dari pengalaman. Jika sembarangan membakar di lahan gambut yang menyebabkan kabut asap, jelas mereka tidak akan melakukan hal tersebut,” ujarnya.

Jajan siang itu masih sibuk dengan hasil tangkapannya. Tampak dia amat mensyukuri hasil tangkapan hari itu.

Seperti kebanyakan rekannya sesama nelayan rawa gambut, Jajan pun berharap pemerintah segera dapat merestorasi lahan gambut di lahan terbakar, baik di TN Sebangau maupun di Blok C, lokasi eks PLG.

“Saya berharap hutan kembali lebat di lahan gambut, sehingga ikan dapat kembali banyak seperti dulu.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,