Paox Iben: Keliling Nusantara untuk Masyarakat Adat

Nama lengkapnya Ahmad Ibnu Wibowo, namun lebih dikenal sebagai Paox Iben. Pria berambut gimbal kelahiran Semarang, 8 Februari 1976 ini berkeliling ke beberapa daerah di Nusantara sepanjang Oktober 2015 – Juni 2016 dengan sepeda motor besar Kawazaki Versys 650 cc.

Ditemui di Makassar, pada akhir Agustus 2016 lalu, dalam persiapannya menuju Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk menghadiri sebuah ritual panen, lelaki yang kini menetap di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) sejak 2005 ini bercerita tentang perjalanannya ke sejumlah daerah dan komunitas adat di Indonesia.

Menurutnya, perjalanannya tersebut adalah rangkaian dari misinya untuk keliling Indonesia dan dilanjutkan dengan keliling dunia membawa pesan Bhinneka Tunggal Ika for the World.

“Jadi kita ingin memperkenalkan ragam budaya Indonesia ke se-antero dunia, bahwa kita ini memiliki beragam budaya, suku, agama dan ras. Indonesia ada sekitar 17 ribu pulau dan 700 lebih bahasa. Ini tentu tidak mudah mengelolanya dan ternyata sampai sekarang kita mampu,” katanya.

Perjalanan keliling daerah dan komunitas adat ini sendiri mendapat dukungan dari Sajogjo Institute (Sains) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Khusus untuk AMAN, misi yang diemban Paox adalah menguatkan komunitas adat terkait etnografi.

Belajar Keindonesiaan

Paox memulai perjalanannya dengan menyusuri wilayah barat Indonesia, meliputi Jawa dan Sumatra selama 2 bulan lebih, sebelum akhirnya beralih ke wilayah timur Indonesia, mulai dari Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Kalimantan.

Ada lima komunitas adat yang secara khusus dikunjunginya, antara lain di Sumbawa (NTB), Ende Flores (NTT), Enrekang (Sulawesi Selatan), Halmahera Tengah (Maluku Utara), dan Bulungan (Kalimantan Utara).

Perjalanan Paox Iben berkeliling Nusantara sendirian dengan mengendarai sepeda motor besar Kawazaki Versys 650 cc, melalui jalur darat dan laut. Foto: Paox Iben
Perjalanan Paox Iben berkeliling Nusantara sendirian dengan mengendarai sepeda motor besar Kawazaki Versys 650 cc, melalui jalur darat dan laut. Foto: Paox Iben

Dalam perjalanan tersebut ia menyempatkan diri untuk singgah untuk berbagi di komunitas-komunitas lainnya. Misalnya di Makassar, ia bertemu dengan komunitas seni dan berdiskusi tentang wacana keindonesiaan di sejumlah perguruan tinggi. Ia juga sempat singgah di Poso dan Tentena, Sulawesi Tengah, dan Bolaan Mongondow, Sulawesi Utara berbicara tentang perdamaian.

“Jadi di setiap komunitas yang saya kunjungi itu selalu ada upaya semacam diskusi dan belajar bersama, yang temanya tidak jauh dari segi budaya, kebhinnekaan dan keindonesiaan,” tambahnya.

Menurutnya, selama perjalanan tersebut ia tidak hanya sekadar melihat Indonesia dari segi keindahan alam dan budaya saja, namun juga terkait persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat adat yang terpinggirkan.

“Dalam konteks kenegaraan, komunitas adat ini seolah memiliki cap stereotif sebagai komunitas yang tertinggal dan terisolir. Padahal banyak hal yang sesungguhnya bisa kita bongkar bahwa mereka ini kan sebenarnya penjaga utama Nusantara ini,” ujarnya.

Masyarakat adat seharusnya dilihat sebagai pilar berdirinya bangsa ini, namun kenyataannya, di satu sisi mereka dilihat sebagai warisan leluhur dan warisan tradisi. Namun di sisi lain mereka terpinggirkan dan tergencet, dan bahkan di beberapa wilayah kondisinya sudah seperti genosida budaya hingga fisik.

Ia mencontohkan yang terjadi di Bulungan, Kalimantan Utara. Di Bulungan ia bertemu dengan Komunitas Dayak Punan yang eksistensinya terancam punah. Populasi yang tersisa kini hanya sekitar 200 kepala keluarga, tersebar di beberapa wilayah.

“Mereka terancam punah karena mereka bukan suku Dayak yang kuat, bukan dari Dayak Pengayau. Pada tahun 1970-an mereka direspen atau ditangkar seperti suku-suku Aborigin dan Indian di Amerika yang dibuatkan perkampungan. Mereka dikejar-kejar di hutan, ditangkapi oleh pemerintah saat itu dan dipaksa untuk tinggal di satu kampung.”

Masalahnya kemudian, masyarakat Dayak Punan ini terbiasa hidup di wilayah yang terpencar, karena sistem hidup mereka adalah berburu dan berladang berpindah-pindah. Setelah direspen, hutan mereka malah dibabat habis oleh perusahaan.

“Itu kan salah satu modus yang sangat jahat. Hutan ditebang, tambang dikeruk dan sekarang sudah masuk sawit. Ketika memasuki masa otonomi daerah, oleh masyarakat sekitar mereka juga digugat karena dianggap menempati tanah yang bukan haknya. Mereka sudah kehilangan hutan tempat tinggal. Penampungan mereka juga diusik. Sekarang mereka meminta haknya dikembalikan.”

Di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Paox Iben mengajari pemuda adat etnografi dengan media tulisan dan video, yang bertujuan untuk mengkonservasi budaya dan kearifan lokal masyarakat adat. Foto: Wahyu Chandra
Di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Paox Iben mengajari pemuda adat etnografi dengan media tulisan dan video, yang bertujuan untuk mengkonservasi budaya dan kearifan lokal masyarakat adat. Foto: Wahyu Chandra

Menurut Paox, berbagai persoalan yang melanda masyarakat adat ini akan terselesaikan jika ada rasa kebersamaan, bahwa mereka tidak sendirian dalam memperjuangkan kembalinya hak mereka yang dirampas paksa oleh negara dan perusahaan.

“Tantangan utama dalam menyatukan mereka yang tercerai berai ini adalah kurangnya saling silaturahmi antar komunitas, sehingga saya berusaha menjahit semua itu, agar mereka bisa saling menyapa dan saling memberi kabar antar komunitas satu dengan yang lainnya.”

Paox juga merasa pengalaman di tiap daerah memiliki kekhasan tersendiri. Hampir semua wilayah dinilainya memberinya pengalaman menarik karena konsep dari perjalanannya tersebut adalah belajar bersama.

“Saya di Lampung, Bengkulu hingga ke Pulau Weh dan Halmahera seperti bertemu dengan saudara sendiri. Jadi bisa dibilang bahwa yaah setiap daerah dan komunitas memiliki keunikan tersendiri. Dari situlah kita belajar tentang perbedaan juga bahwa perbedaan itu nikmat.”

Budaya dan Kearifan Lokal

Tantangan masyarakat adat selama ini, menurut Paox adalah karena selama ini kita dikungkung oleh teks besar sehingga mengabaikan yang kecil-kecil. Padahal yang besar itu tidak akan tanpa bagian yang kecil itu.

“Sementara masyarakat adat kita kan dibesarkan oleh tradisi lisan. Banyak sekali budaya-budaya dan kearifan lokal yang terancam punah karena penuturnya sudah habis. Berapa banyak masyarakat kita yang sudah meninggalkan bahasa daerah dan tradisi lokal. Ini kan ancaman. Kemudian kalau ini tidak dicatat dan tidak dibukukan maka tak ada warisan untuk anak cucu kita. Orang lain pun akan susah belajar. Akhirnya hanya akan berputar-putar di masalah yang sama.”

Karena itulah menurutnya, setiap komunitas adat seharusnya bisa menyusun sejarahnya sendiri, bukan sekadar tentang sejarahnya di masa lalu hingga sekarang tapi juga sejarah sosialnya. Tentang bagaimana mereka mengupayakan hidup, belajar bercermin dan melihat diri sendiri dan melihat anatomi kebudayaan dan ruang sosialnya.

“Karena kita sudah memasuki milenium dimana teknologi sudah berkembang sangat pesat sehingga penting juga bagaimana memanfaatkannya untuk advokasi itu. Hasil dokumentasi itu sangat penting untuk menyuarakan apa yang sesungguhnya dihadapi. Bagaimana dunia akan mengerti kita jika kita tidak pernah mengungkapkan kepada dunia bagaimana diri kita dan apa yang terjadi pada diri kita.”

Dalam konteks inilah sehingga kemudian Paox di setiap komunitas yang didatangi ia mengajarkan etnografi melalui media tulisan dan video.

Paox Iben melakukan perjalanan keliling Nusantara untuk mengunjungi sejumlah komunitas adat untuk belajar dan sekaligus mengajarkan mereka tentang etnografi agar bisa mendokumentasikan sendiri sejarah dan budaya sendiri. Pendokumentasian masyarakat melalui film dokumenter sebagai alat advokasi dengan memanfaatkan teknologi yang ada. Foto: Wahyu Chandra
Paox Iben melakukan perjalanan keliling Nusantara untuk mengunjungi sejumlah komunitas adat untuk belajar dan sekaligus mengajarkan mereka tentang etnografi agar bisa mendokumentasikan sendiri sejarah dan budaya sendiri. Pendokumentasian masyarakat melalui film dokumenter sebagai alat advokasi dengan memanfaatkan teknologi yang ada. Foto: Wahyu Chandra

Paox kini sendiri banyak aktif di Institut Rumah Arus dan Sajogjo Institute. Ia juga mengajar secara part time di sejumlah perguruan tinggi di Yogyakarta. Setelah selesai keliling Indonesia, ia merencanakan keliling Asia Tenggara hingga ke India dengan target perjalanan 3-4 bulan pada akhir 2016 mendatang.

“Dari perjalanan ini nantinya saya bisa belajar dengan banyak komunitas di berbagai negara tentang problem bersama yang dihadapi dunia terkait dengan masyarakat adat,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,