Kala Kayu Besi Menipis, Budaya Ukir Asmat Bisa Terkikis

Ndomomoo,” kata Paskalis Wakat, pengukir Asmat dari Kampung Yepem, Papua, mengucapkan sapaan khas Asmat sambil memeluk erat saya. Air matanya tampak berlinang. Pria 39 tahun ini terlihat sedih.

Ada apa? Ternyata, Wakat khawatir masa depan patung dan pengukir Asmat. Dia takut budaya ini hilang. Belakangan, penebangan kayu besi marak tanpa memperhatikan keberlanjutan hutan. Pemerintah daerah Asmat pun diam, tak ada pengaturan soal penebangan kayu besi.

Padahal, katanya, sejak dulu, Orang Asmat hidup dan bergantung alam. Bila warga tak menjaga hutan, kata Wakat, mereka akan kehilangan jati diri. Dulu, setiap kali menebang kayu besi, orang menanam pohon lagi.

Dia bercita-cita melestarikan hutan bukan hanya kayu besi. “Bila hutan hilang, kayu besi hilang, mangrove, ukiran, ukiran, tarian Asmat  hilang, dunia pasti sedih.”

Kayu besi memang dipakai dalam beragam keperluan bangunan rumah, dari dinding, mejakursi, kusen, smapai tiang utama rumah. Bahkan, dulu, jalan utama dari papan kayu besi, umpak.

Sebenarnya, kata Wakat, hasil hutan Asmat, berlimpah mulai damar, gaharu, kemiri, rotan, kayu besi, udang, ikan. Sayangnya, beberapa jenis kayu kayu mulai menipis, dari kayu besi, kayu dayung, kayu perahu sampai mangimangi (mangrove).

“Sekarang orang tebang pohon berdiameter betis orang dewasa, beda dengan dulu,” katanya. Betis orang dewasa, mengandaikan batang-batang kayu masih kecil.

Satu ukiran dari kayu besi. Foto: Agapitus Batbual
Satu ukiran dari kayu besi. Foto: Agapitus Batbual

Pengukir sulit kayu besi

Saya mengenal Wakat di Jayapura. Dia menamatkan Perguruan Tinggi Seni dan Budaya di Papua. Kembali ke kampung, Wakat mendirikan sanggar ukir, tari dan anyam.

Warga senang Wakat melestarikan budaya mengukir Kampung Yepem. Ukir mengukir sudah dia dapat sejak kecil dari kedua orangtua. “Mengukir, menganyam, makanan pokok setiap hari,” katanya.

Kini, di sanggar itu ada para perempuan menganyam tali temali dari rumput tawa. Para lelaki mengukir dengan bahan kayu besi.

Wakat ingin budaya mengukir terus hidup. Untuk itulah, dia mengajarkan ilmu ini di SMP YPPK Santo Yohanes Pemandi,  tempat dia sekolah dulu.

“Siapa lagi yang mau membina generasi muda Asmat,” ujar dia.

Wakat berharap, generasi muda Asmat mencintai ukiran agar tak punah.”Supaya generasi Asmat meneruskan karya tetua.”

Menurut dia, pembangunan seluruh Asmat serba kayu berkontribusi dalam menghabiskan pohon kayu besi. Kondisi ini berdampak pada pengukir Asmat (Wowipits). Mereka kesulitan dapat bahan baku. Kayu besi, bahan baku ukiran Asmat, kata Wakat, seharusnya terpelihara.

Wowipits sebelum mengukir harus disetujui oleh roh para leluhur Asmat. Dalam diri mereka tercipta berbagai jenis ukiran Asmat. Jenis ukiran ini, banyak menyerupai pohon-pohon besar, termasuk kayu besi.

Roh para leluhur, katanya, ada dalam hutan. Dengan menebang kayu besi  tanpa memperhatikan pertumbuhan kayu baru, mereka akan hilang. “Ukiran misal, menggambaran roh-manusia dan Tuhan. Itulah filosofi orang Asmat.”

Paskalis Wakat, pengukir Asmat dari Kampung Yepem, Papua. Foto: Agapitus Batbual
Paskalis Wakat, pengukir Asmat dari Kampung Yepem, Papua. Foto: Agapitus Batbual

Era Bupati Yuvensius A. Biakau, untuk melestarikan ukiran Asmat, pemerintah membentuk Asosiasi Pengukir Kabupaten Asmat. Wakat menjadi ketua. Sekretariat ada di belakang Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.

Namun, katanya, sekretariat itu kini berubah fungsi menjadi mes pegawai dinas itu. Miris lagi, para Wowipits di sekitar Asmat sulit mendapatkan kayu besi.

Meskipun begitu, mereka tak hilang akal untuk tetap berkarya, yakni,  menggunakan umpak bekas kantor atau tumah, digergaji sebagai bahan dasar ukiran.

Bentuk ukiran, ada panel, patung, manusia, burung kakatua, ular, akar beringin, moncong burung taon-taon, nuri, elang, sampai pohon-pohonan.

Wakat coba bekerja sama dengan pemerintah untuk melindungi dan melestarikan kayu besi dan pohon lain dibantu WWF-Lestari. Keterlibatan pemilik dusun sangat penting dalam kelancaran kegiatan ini. Sebab, katanya, Asmat tanpa Wowipits,  tak berarti apa-apa.

Sebagai Ketua Asosiasi Pengukir Asmat, dia telah mengantongi akte notaris alias ada legalitas. Beberapa tokoh Asmat duduk sebagai pengurus, tetapi mereka sulit berkumpul atau rapat.

Theodorus Andrian Zigfiried Tethool, pegiat lingkungan hidup di Asmat beranggapan, pemekaran distrik turut andil menghabiskan hutan maupun kayu besi Asmat.

Kondisi ini, membuat pengukir kesulitan mendapatkan kayu besi. Mereka harus mencari kayu hingga pedalaman. Permintaan kontraktor juga tinggi. Tampak ribuan kayu besi lalu lalang menggunakan rakit.

“Kayu besi berdiameter 50 cm sulit ditemukan lagi.”

Menurut dia, warga harus menanam atau budidaya kayu besi agar tak punah. Begitu juga, kayu perahu, ketapang, dan bakau besar.

Dia mengusulkan, penerapan sasi bagi kayu tertentu supaya jangan punah.

Pemukiman Asmat. Foto: Agapitus Batbual
Pemukiman Asmat. Foto: Agapitus Batbual

Beralih ke baja

Nathan Barrung, Kepala Dinas Kehutanan Asmat, mengatakan, perhatian pemerintah mulai ada. Kini, katanya, tonggak dan papan kayu mulai berganti tulang baja untuk semua jalan di Asmat.

Warga juga diajak rajin merestorasi hutan dengan tanaman adat seperti menanam kayu perahu, ketapang, besi, mangrove, kayu gaharu dan lain-lain.  Pemilik dusun, katanya,  harus memelihara tanaman adat ini.

Untuk membangun itu, kata Barrung, memerlukan dana besar terlebih pijakan Asmat adalah lumpur. “Keuangan Pemda Asmat sangat terbatas.”

Dia mengatakan, buat menanam pohon, katanya, perlu biaya angkut. Belum lagi harga BBM tinggi, biaya pemeliharaan, sampai penanaman, sangat mahal.

Untuk itu, dia berharap, warga memelihara dan merawat dengan telaten. “Menjadi masalah, jenis pohon pasti tumbuh berbarengan dengan pohon lain. Rumput menutup anakan pohon. Mau tak mau, harus kerja ekstra untuk merawat,” ujar dia.

Pemkab Asmat, katanya, sudah ada larangan kayu besi keluar dari daerah ini. “Tak boleh dikirim keluar Asmat. Kayu besi hanya untuk pembangunan Asmat, tak boleh dijual ke Merauke, Timika atau tempat lain,” katanya.

Dia menceritakan, pernah ada pengusaha mengirimkan kayu besi dari Asmat 6.000 kubik ke Timika, tanpa surat lengkap. Setelah diperiksa BKSDA dan Dinas Kehutanan Asmat, kayu disita karena masuk dilarang.

Kayu besi di salah satu rumah warga. Foto: Agapitus Batbual
Kayu besi di salah satu rumah warga. Foto: Agapitus Batbual

 

 

Jangan asal tebang

Barrung memperingatkan, warga Asmat jangan asal tebang demi kelanjutan kayu besi. Demi memperlancar pembangunan Asmat, katanya, Dinas Kehutanan punya syarat. Kontraktor harus membeli kayu besi dari masyarakat pemilik dusun, untuk bangunan rumah atau kantor.

“Harus sesuai prosedur, misal, kontraktor harus menunjukkan RAB, nilai proyek, CV mana, luasan jelas daerah mana. Dinas Kehutanan harus menghitung volume kayu dan bahan bangunan,” katanya.

Elisa Kambu, Bupati Asmat mengakui, tak bisa terus menerus membangun pakai kayu. “Satu waktu, kayu besi habis tinggal cerita, sekarang Pemkab Asmat memakai konstruksi beton dan baja walaupun mahal.”

Konstruksi beton, katanya, bertahan 20-30 tahun atau lebih, sedang kayu besi 50 tahun ke atas. Namun, katanya, kebijakan mengganti bangunan perkantoran, sampai jembatan pakai tiang baja atau konstruksi beton ini perlu demi menyiasati pasokan kayu minim serta keberlangsungan hutan.

“Hutan Asmat harus dijaga. Jangan ada lagi penebangan kayu besi, kayu perahu, dayung, ketapang, bakau di Asmat. Kayu dan hutan jangan lagi habis,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,