Akhirnya, Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa menyepakati, penerbitan lisensi FLEGT (Forest Law Enforcement, Goverment and Trade) bagi produk-produk kayu legal Indonesia ke pasar Uni Eropa mulai berjalan efektif pada 15 November 2016.
Keputusan ini dicapai dalam sidang Komite Implementasi Gabungan kelima, yang mengawasi pelaksanaan Kesepakatan Kemitraan Sukarela Penegakan Hukum, Tata Kelola, dan Perdagangan atau Voluntary Partnership Agreement (VPA-FLEGT), di Yogyakarta, Kamis (15/9/16).
Ida Bagus Putera Parthama, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, hasil ini buah kerja keras dari berbagai pihak guna memperbaiki tata kelola kehutanan, terutama mengatasi pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal.
“Kita sendiri yang membangun sistem, sistem itu diakui Uni Eropa. Ini menjadikan Indonesia negara yang boleh menerbitkan lisensi kayu legal. Ini membuat produk kehutanan kita masuk Uni Eropa tanpa pemeriksaan lagi,” katanya dalam jumpa pers.
Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir Indonesia dicap sebagai negara penghasil kayu dari aktivitas ilegal. Situasi ini, katanya, membuat banyak perusahaan gulung tikar karena tak bisa memasarkan produk kayu.
Lantas Indonesia mengembangkan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Sistem ini, diakui UE hingga pemegang V-Legal, bisa mendapatkan lisensi FLEGT.
Wakil Duta Besar Uni Eropa, Charles Michel Geurts senang dengan pencapaian kesepakatan ini.
“Hari ini menjadi sangat penting karena ada penandatangan kesepakatan antara negara-negara UE dengan Indonesia mengenai perdagangan kayu Indonesia ke negara anggota UE,” katanya.
Keputusan itu diambil UE karena Indonesia telah memenuhi seluruh persyaratan perdagangan kayu ke negara-negara itu. Pencapaian ini, katanya, menyusul pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Presiden Komisi Uni Eropa Jean-Claude Juncker di Brussels, Belgia, 21 April lalu.
Kesepakatan kedua Presiden melahirkan jalur cepat di parlemen UE. Parlemen mengatakan ekspor kayu ke UE tak perlu melalui uji tuntas lagi karena SVLK Indonesia telah memenuhi syarat peraturan perkayuan UE.
“Ini hari sangat bagus untuk hutan, untuk Indonesia, untuk Uni Eropa, seluruh dunia. Indonesia dan Uni Eropa melakukan inovasi, melakukan tindakan melindungi hutan.”
Robianto Koestomo, dari Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) mengatakan, sempat menderita dampak pembalakan liar tahun-tahun lalu yang menyebabkan produk tak bisa masuk pasar dunia, terutama Eropa.
“Sejak 2001, kita bekerja sama dengan pemerintah dan pihak terkait memperkuat tata kelola hutan. Ternyata apa yang disusun pemerintah Indonesia sejalan dengan EUTR (European Union Timber Regulation-red). Jadi, 15 November menjadi starting point FLEGT. Ini berita menggembirakan, kita tunggu-tunggu,” katanya.
Dia berharap, dengan kesepakatan ini ekspor kayu Indonesia ke UE bisa meningkat. Apalagi, UE merupakan barometer dunia dalam bisnis ini. “Diharapkan Australia, selanjutnya Kanada, dan negara lain mengikuti,” katanya.
Sampai 2015, Indonesia mengekspor produk kayu ber-SVLK (V-Legal) ke 191 negara di seluruh dunia, 28 negara anggota UE dengan 15,73 juta ton, atau senilai US$9,86 miliar. Pembelian oleh UE mencapai 11% dari total produk kayu dan kertas ekspor Indonesia, dengan nilai 33% dari seluruh pangsa.
Muhamad Kosar dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan mengapresiasi kesepakatan ini. Dia bilang, lisensi ini menunjukkan pihak luar percaya Indonesia bisa menjaga hutan, dan menjual kayu sesuai aturan.
“JPIK selaku pemantau independen berfungsi menjaga kredibilitas sistem itu. Kami memiliki 51 lembaga tergabung dalam jaringan, lebih 400 orang juga bergabung dengan kami memantau dan melihat implementasi SVLK di lapangan. Ini tonggak keberhasilan tata kelola hutan kita. Ke depan ini tantangan, bagaimana kredibilitas bisa dipertahankan,” katanya.
Menurut dia, pemantau independen bisa melaporkan jika terjadi pelanggaran. Pihak yang menerima laporan, katanya, punya kewajiban menindaklanjuti.