Kementerian Kelautan dan Perikanan sedang membangun sentra bisnis kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) di 15 lokasi di seluruh Indonesia, salah satunya Kepulauan Natuna, Propinsi Kepulauan Riau.
Tulisan pertama ini merupakan tulisan berseri dari Mongabay yang datang meliput ke Kabupaten Natuna di Provinsi Kepulauan Riau, pada pekan lalu. Liputan untuk melihat kondisi perikanan disana dan dampak pembangunan sentra bisnis kelautan dan perikanan terpadu (SKPT).
****
Tasriyadi Talasa tampak bergegas meninggalkan sebuah warung makan di pinggir pelabuhan penyeberangan di Selat Lampa, Kabupaten Natuna, Selasa (06/09/2016) pagi pada pekan lalu. Dia tampak berjalan cepat sembari menenteng tas kecil di tangannya dan tas berukuran besar di punggungnya.
Pria berusia 36 tahun tersebut tak ingin ketinggalan pompong, yakni kapal kecil sejenis kapal tongkang yang akan membawanya menyeberang ke Pulau Tiga yang berjarak sekitar 1 km dari pelabuhan Selat Lampa. Karenanya, dia berjalan cepat keluar dari bangunan warung yang ada di atas perairan Selat Lampa.
“Saya akan pulang ke rumah. Saya baru pulang dari Ranai.” Kata-kata tersebut keluar dari mulut pria yang mengaku masih keturunan suku Bugis di Sulawesi Selatan itu saat dicegat Mongabay di atas dermaga. Dia menyebut kata Ranai, yang tidak lain adalah sebuah tempat yang ada di Selatan pulau Natuna besar yang menjadi ibu kota Kabupaten Natuna.
Pria yang tinggal di Desa Sabang Mawang tersebut, sehari-hari berprofesi ganda sebagai nelayan sekaligus petani. Profesi tersebut sudah sejak lama biasa dilakoni penduduk di Pulau Tiga dan sekitarnya. Katanya, profesi ganda tersebut wajib dilakoni untuk mempertahankan diri di tengah kondisi alam Natuna yang sangat liar.
“Saya ini nelayan, tapi juga petani cengkeh. Kami di Pulau Tiga sudah terbiasa seperti itu,” ucap Tasriyadi. Dia kemudian memberi alasan kenapa warga banyak memilih berprofesi ganda, tidak lain karena kondisi laut tidak sepanjang tahun bisa didatangi. Ada masa-masa dimana laut harus dihindari.
Saat laut sedang bersahabat, biasanya itu terjadi pada awal-awal hingga pertengahan tahun. Namun, memasuki pertengahan hingga menjelang akhir tahun, laut biasanya tidak bersahabat karena cuaca yang buruk, gelombang tinggi, dan angin yang bertiup lebih kencang. Jika kondisi seperti itu, warga di sekitar Natuna akan fokus menggarap lahan untuk bertani.
“Itu memang yang terjadi. Jika hanya mengandalkan laut, kami tidak akan bisa hidup. Pasti saat laut sedang tidak bersahabat, kami akan kehilangan pendapatan,” jelas pria berkulit gelap itu yang pagi itu menggunakan kemeja jins dipadu celana berbahan katun itu.
Tasriyadi kemudian bercerita, sejak dia dilahirkan hingga dewasa seperti sekarang, sebagian besar hidupnya dihabiskan di Pulau Tiga. Hanya saat bersekolah di SMA saja, dia terpaksa harus pindah ke Ranai, karena di Pulau Tiga saat itu belum ada sekolah setingkat SMA.
****
Saat menjadi nelayan, Tasriyadi bersama warga lain di Natuna dan sekitarnya, biasanya pergi melaut dengan menggunakan kapal kayu kecil berukuran 1-3 gros ton (GT). Ukuran tersebut, maksimal hanya bisa melaut paling jauh sampai 10 mil saja. Itu kenapa, para nelayan biasa berangkat untuk mencari ikan pada pagi hari dan kemudian pulang pada sore hari.
Kebiasaan tersebut, diakui Tasriyadi, sudah melekat pada warga Natuna dan tidak hilang hingga sekarang. Padahal, kalau melihat posisi geografis, Natuna saat ini ada di posisi strategis karena menghadap langsung ke Laut Cina Selatan. Itu artinya, ada kawasan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia yang bisa didatangi sebagai lokasi mencari ikan.
Tapi, sekali lagi, potensi tersebut tidak ditangkap dengan baik oleh warga Natuna yang berprofesi sebagai nelayan. Hal itu juga diakui oleh Tasriyadi. Dia bersama warga lainnya memilih untuk mencari ikan di lokasi yang berdekatan dengan pesisir Natuna.
“Mungkina karena lebih dekat, dan juga, di lokasi yang dekat tersebut ikan masih banyak didapat,” sebut dia.
Tetapi, dia kemudian buru-buru menambahkan,”Penyebab lain bisa jadi karena pemasaran tidak ada. Masalah utama di Natuna itu adalah pemasaran. Sebanyak apapun ikan, kalau tidak ada pasarnya, ya tidak menghasilkan uang.”
Masalah pemasaran tersebut, memang diakui juga oleh pejabat di Pemerintah Kabupaten Natuna. Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna Wahyu Nugroho, selama ini para nelayan memilih mencari ikan dalam jumlah kecil saja. Sementara, untuk yang dalam jumlah besar itu hanya didominasi oleh para pengusaha saja.
“Ini yang akan coba kita pecahkan. Masalah pemasaran ini yang menghambat perkembangan Natuna di pasar ikan nasional. Padahal, potensi di Natuna sangat tinggi. Berhadapan langsung dengan ZEE (zona ekonomi eksklusif),” ungkap dia.
Solusi yang diharapkan bisa memecahkan soal pemasaran tersebut, kata Wahyu, ada di Selat Lampa. Di sana, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membangun sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) Natuna. Tak hanya dibangun pelabuhan dengan standar internasional, di sana juga akan dibangun industri pengolahan dan pemasaran secara bersamaan.
Di Selat Lampa pula, KKP sengaja menggelontorkan dana sebesar Rp300 miliar untuk menyediakan sejumlah fasilitas seperti ice flake machine (5 unit), integrated cold storage kapasitas 200 ton (1 unit) dan 3.000 ton (1 unit). Kemudian, ada juga mobil berpendingin, instalasi karantina ikan, pembangunan fasilitas bangunan darat.
“Pokoknya lengkap, kap. Selat Lampa akan jadi tempat baru untuk industri perikanan nasional. Nelayan lokal juga bisa memasarkan hasil tangkapannya ke Selat Lampa. Nanti ada perusahaan dan pengusaha yang siap menyerapnya,” papar dia.
Dengan fasilitas seperti itu, harapan untuk menyulap Natuna menjadi pusat perikanan nasional dinilai akan semakin mudah. Dengan demikian, stok ikan yang mencapai 1,1 juta ton per tahun di Natuna juga bisa dimanfaatkan dengan baik.
Sekretaris Jenderal KKP Sjarief Widjaja pernah mengatakan kepada Mongabay, besarnya potensi perikanan di Natuna harusnya bisa memberi manfaat lebih untuk perekonomian masyarakat sekitar. Namun, kenyataannya, sekarang itu tidak terjadi dan bahkan diperkirakan baru 4 persen saja atau sekitar 47.000 ton ikan per tahun yang sudah dimanfaatkan.
“Dengan stok 1,1 juta ton, kita berharap bisa ambil 40 persen saja per tahun atau sekitar 400 ribu ton itu sudah sangat bagus. Tapi, sekarang baru 4 persen saja,” jelas dia.
Kecilnya pemanfaatan sumber daya ikan di Natuna, menurut Sjarief, terjadi karena nelayan lokal terbiasa menggunakan kapal kecil berukuran 1-3 GT dan berfokus di sekitar pesisir saat mencari ikan. Kondisi itu terjadi karena mereka terbiasa dengan keberadaan kapal ikan asing (KIA) yang biasa mengambil ikan secara ilegal di ZEE.
“Jadi sekarang setelah KIA tidak ada, akhirnya pemanfaatan jadi anjlok. Harusnya memang ini dimanfaatkan oleh lokal, tapi tidak terjadi karena keterbatasan armada kapal,” tutur dia.
Wujud Selat Lampa Kini
Saat Mongabay berkunjung langsung ke Selat Lampa, memang sudah terlihat pembangunan yang masif di area proyek SPKT Natuna. Sudah ada jalan beton yang menjadi jalan masuk ke dalam proyek dan sekaligus beton jalan tersebut menjadi bendungan air laut. Kemudian, terlihat juga pembangunan tempat pelelangan ikan (TPI), pusat perbaikan alat tangkap jaring, stasiun pengisian bahan bakar minyak, dan juga cold storage dua unit berkapasitas masing-masing 200 ton dan 3.000 ton.
Pembangunan semua fasilitas tersebut dilakukan di atas tanah yang sengaja direklamasi. Namun, menurut Kepala Dinas KP Natuna Wahyu Nugroho, masih ada lokasi yang akan direklamasi lagi hingga totalnya mencapai 2 hektare lebih. Di atasnya nanti akan dibangun juga berbagai fasilitas.
“Seperti tempat tinggai, industri pengolahan, dan lain-lain,” jelas dia.
Kesiapan Warga
Setelah ditetapkan sebagai kawasan terpadu untuk sentra perikanan dan kelautan terpadu (SPKT), Selat Lampa tiba-tiba menjadi buah bibir. Di Natuna, warga kini sudah memperbincangkan kehadiran pusat ekonomi baru itu. Namun, dari mereka, terungkap ada yang siap dan tidak menyambutnya.
Contoh warga yang belum siap dengan kehadiran SPKT Selat Lampa, adalah Feri, warga Desa Stumuk, Kecamatan Pulau 3. Dia mengaku belum memiliki rencana untuk menjadi nelayan penuh jika kawasan tersebut sudah jadi. Dia belum memilih, karena selama ini jika menjadi nelayan tidak memberi penghasilan cukup baik.
Ini berbeda jika dia menjadi kuli bangunan, seperti yang dia lakukan saat ini di dalam proyek pembangunan SPKT Selat Lampa. “Lebih enak jadi kuli bangunan, duitnya jelas. Sekarang saja, saya sudah diminta untuk bekerja pada proyek lain di Selat Lampa ini. Tapi saya belum bisa karena masih ada pekerjaan,” ucap pria asli dari Pulau Tiga itu.
Dia kemudian menyebut, salah satu penyebab keengganan untuk berprofesi sebagai nelayan, adalah harga jual ikan yang sangat murah.
“Padahal saya semangat mencari ikan, tapi dijual murah. Saya jadi kerja bangunan saja lebih enak,” tutur dia.
Penuturan sama juga sempat diucapkan Tasriyadi Yalasa yang dijumpai Mongabay di pelabuhan penyeberangan Selat Lampa. Menurut dia, saat ini harga jual ikan sangat murah dan itu membuat banyak nelayan yang mulai melirik untuk mencari profesi lain.
“Saya berharap dengan kehadiran proyek baru di Selat Lampa ini, nelayan dan masyarakat bisa mendapatkan manfaatnya. Jangan sampai, janji-janji yang diucapkan oleh Pemerintah hanya akan dinikmati oleh pengusaha saja,” sebut dia.
Baik Feri maupun Tasriyadi, menjadi gambaran secara umum dan acak bagaimana sikap masyarakat saat ini. Pemerintah tentu harus bisa mengambil momen sekarang dengan memberikan pelayanan terbaik dan memberi manfaat banyak untuk masyarakat Natuna. Jangan sampai, Natuna di kemudian hari menyesal karena dijadikan proyek oleh Pemerintah Pusat.