Gundukan pasir itu memberinya kehangatan. Sekitar 45 hari dalam dekapan pasir, telur pun menetas melahirkan tukik. Anak-anak penyu itu menggeliat lincah, berusaha membebaskan dirinya dari sarang pasir hingga berhasil mencapai permukaan pantai.
Dari situlah, tukik ini memulai kehidupannya yang baru, merayap lincah hingga ke laut lepas. Perlahan menghilang, seiring redupnya sinar matahari yang kian tak berdaya oleh malam.
Adegan tersebut menjadi salah satu momentum dari serangkaian kegiatan Festival Pesisir Paloh (Fespa) 2016 yang dipusatkan di Dusun Ceremai, Desa Sebubus, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
Fespa adalah pesta rakyat tahunan yang dapat disebut sebagai bentuk pengalihan “budaya lempar telur penyu”. Sebelumnya, hal semacam itu rutin dilakukan warga setiap musim puncak peneluran sebagai manifestasi rasa “syukur” atas telur penyu yang melimpah.
Namun, atraksi lempar telur penyu ini sudah tidak pernah dilakukan warga selama hampir satu dekade terakhir. Populasi yang kian menurun dan tidak lagi sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di Indonesia menjadi alasan utama.
Seiring waktu berjalan, masyarakat lokal merindukan kembali kegiatan serupa sebagai bentuk pesta rakyat dan ajang silaturrahim masyarakat pesisir. Fespa menjadi obat penawar mujarab.
Agenda yang sudah rutin dilaksanakan sejak 2012 ini, diharapkan menjadi pesta rakyat yang positif, memunculkan kebanggaan atas potensi yang dimiliki, serta sebagai bentuk pelestarian budaya pesisir dan promosi ekowisata guna meningkatkan perekonomian lokal.
Ikon pariwisata
Kehadiran sejumlah tokoh penting di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sambas menjadi stimulus bagi warga di ajang Fespa ke-5 yang dihelat pada 17 – 20 Agustus lalu. Mereka adalah Wakil Bupati Sambas, Hairiah, Wakil Ketua DPRD Sambas, Misni Safari, dan Ketua Penggerak PKK Sambas, Lusyanah Kosasih.
Bahkan, para tokoh ini menyempatkan diri berkampanye dengan mengajak warga setempat menyelamatkan penyu dari ancaman kepunahan. “Predator penyu itu sudah banyak. Kita manusia jangan lagi jadi predator tambahan dengan mengonsumsi telurnya. Bukan sehat yang kita dapat, malah sakit,” kata Hairiah.
Di mata Hairiah, penyu itu makhluk yang lemah. Karena itu pula, riwayat hidupnya kadang berakhir tragis. Sejak masih kecil, satwa ini sudah jadi rantai pakan bagi satwa-satwa predator. Sampai besar pun penyu tak punya kemampuan melawan kecuali bersembunyi di dalam karapasnya yang keras manakala ancaman predator datang.
Oleh karenanya, dia mengajak masyarakat luas untuk mulai menanamkan rasa cinta pada makhluk lemah ini. “Sayangi penyu, lindungi habitatnya. Jangan sampai semua itu tinggal kenangan saja,” kata Hairiah.
Pada ajang pesta rakyat yang mengusung tema Menjaga Penyu, Menjaga Alam, Menjaga Kehidupan ini, Hairiah juga menaruh harapan besar di balik rencana aksi nasional perlindungan penyu di Indonesia. Jika rencana aksi nasional itu sudah terwujud, secara otomatis akan mempercepat rencana aksi daerah, khususnya di Sambas.
“Saya sudah belasan tahun berkampanye agar kita tidak makan telur penyu. Kolesterolnya sangat tinggi. Jadi, saat ini saya kembali mengajak seluruh elemen masyarakat untuk berhenti mengonsumsi telur penyu. Mari kita sayangi penyu, mari kita lindungi penyu,” pintanya.
Secara khusus, Hairiah meminta aparat berwenang untuk lebih giat bekerja melindungi satwa langka ini sebagai bagian dari upaya penegakan hukum. “Seluruh elemen masyarakat harus ambil bagian melestarikan penyu. Penyu itu tak hanya dilindungi undang-undang, tapi dia juga menjadi satwa kebanggaan Sambas,” ucapnya.
Oleh karenanya, ibu tiga anak ini berjanji akan menjadikan penyu sebagai ikon pariwisata Sambas. Hal itu sangat beralasan. Sebab, ada dua desa yang menjadi area peneluran penyu sepanjang 19,3 kilometer, yakni Desa Sebubus dan Temajuk.
Wilayah tersebut merupakan satu kesatuan dari pantai peneluran penyu Paloh dengan total panjang 63 kilometer. Lokasinya membentang dari Pantai Selimpai hingga Tanjung Dato’. Pesisir Paloh merupakan pantai peneluran penyu terpanjang di Indonesia.
Wakil Ketua DPRD Sambas, Misni Safari mengapresiasi niat Pemerintah Sambas untuk menjadikan penyu sebagai ikon pariwisata. Menurutnya, Fespa adalah momentum untuk mengikat komitmen semua pihak guna bersama-sama melestarikan penyu sebagai anugerah Tuhan yang dititipkan di tanah Paloh.
“Potensi yang begitu besar itu sesungguhnya dapat kita jadikan sebagai kawasan ekowisata. Namun, kerja sama semua pihak sangat menentukan masa depan pesisir Paloh sebagai habitat peneluran penyu,” ucapnya.
Menurut Misni, Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional telah menempatkan Paloh dan Danau Sentarum di Kapuas Hulu sebagai kawasan strategis pariwisata nasional.
“Kita tinggal godok rancangan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Sambas. Nah, kuncinya adalah menjaga potensi alam yang ada agar tetap lestari. Terutama penyu dan turunannya,” ucapnya.
Harta karun
Besarnya “harta karun” yang terbentang di pesisir Paloh ini mendorong sejumlah pihak mengusulkannya menjadi kawasan konservasi perairan. Salah satunya Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak.
Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan ini menginginkan pesisir Paloh bisa masuk menjadi bagian dari 20 juta hektar yang sudah dicanangkan KKP sebagai kawasan konservasi perairan.
Kepala Seksi Pendayagunaan dan Pelestarian, BPSPL Pontianak, Syarif Iwan Taruna Alkadrie mengatakan, pihaknya sedang mendorong Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat melalui Dinas Kelautan dan Perikanan setempat mengusulkan pencadangan kawasan konservasi perairan Paloh.
Termasuk menyusun zonasi dan membuat surat pencadangan kawasan konservasi perairan Paloh ke KKP. Hal ini sudah selaras dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Jadi, wilayah pesisir 0 – 12 mil dari garis pantai menjadi kewenangan provinsi untuk mengusulkannya ke KKP. Kita berharap SK pencadangan kawasan konservasi Paloh sekitar 165 ribu hektar. Tentu sudah dilengkapi dengan zonasi. Misalnya zona pemanfaatan dan zona inti,” jelas Iwan.
Senada dengan Iwan, Manajer WWF-Indonesia Program Kalbar, Albertus Tjiu, mengatakan hasil riset selama tujuh tahun terakhir menunjukkan adanya indikator peningkatan kesadaran masyarakat di pesisir Paloh. “Tren kesadaran warga terhadap konservasi penyu cenderung meningkat. Kendati, ancaman itu tetap ada sampai sekarang,” katanya.
Hasil monitoring WWF-Indonesia di sepanjang 2015 menemukan jumlah penyu yang bertelur mencapai 1.036 ekor. Sedangkan penyu yang tidak bertelur sebanyak 1.474 ekor. Dari jumlah total penyu bertelur, ada 170 sarang atau 16 persen dari total jumlah penyu bertelur terindikasi diburu. Mayoritas penyu yang ditemukan adalah jenis penyu hijau (Chelonia mydas). Meski, ada pula penyu jenis lainnya seperti penyu sisik (Eretmochelys imbricata).
Albert menjelaskan ancaman nyata bagi kehidupan penyu di Paloh adalah habitat dan pemanfaatan berlebihan. Selain perburuan, ancaman terhadap habitat dapat berupa pengembangan daerah pesisir yang mungkin tidak sesuai dengan tata ruang wilayah. Perubahan iklim yang menyebabkan berkurangnya daya tetas telur dan abrasi pantai juga membuat penyu kehilangan habitat bertelur.
Hal yang paling sederhana, jelas Albert, adalah ulah manusia yang dapat mengancam habitat penyu. Pencemaran pantai dan laut, baik kimia maupun sampah plastik, menyebabkan penyu mati keracunan atau tercekik plastik yang mirip ubur-ubur sebagai salah satu pakannya.