Satwa-Satwa Ini Jadi Obyek Pameran di Festival Pesona Sangihe 2016

Stand-stand pameran berjejer di Pelabuhan Tua, kecamatan Tahuna, Sangihe, Sulut, yang menjadi lokasi kegiatan Festival Pesona Sangihe 2016. Dari sekian banyak stand pameran, salah satu yang cukup menarik perhatian pengunjung adalah stand milik Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kepulauan Sangihe.

Di sana, sejumlah satwa liar ditampilkan sebagai obyek pameran. Pemandangan itu melahirkan berbagai macam ekspresi dari pengunjung. Ada yang terpukau, lalu mengabadikannya dengan kamera. Tak sedikit pula yang merasa kasihan dengan satwa yang dikurung dalam kandang.

Terdapat 3 kandang yang menampung 5 satwa. Di masing-masing kandang, telah dituliskan nama-nama satwa tersebut. Pengunjung bisa dengan mudah membacanya. Di kandang berwarna biru dan terbuat dari besi, terdapat satwa yang dalam bahasa lokal disebut kumbanang atau yang oleh petugas diidentifikasi sebagai kukang.

Kemudian, di kandang dengan ukuran serupa, ada 2 burung yang nampak berbeda jenis. Oleh petugas, kedua burung itu diberi nama julai emas. Ada juga 2 ekor ayam yang disebut berasal dari Filipina,negara tetangga. Petugas menamainya ayam kapas.

Ketika Mongabay mendatangi stand pameran, para penjaga menyambut ramah. Sambil tersenyum, mereka menjelaskan jenis dan asal satwa yang dipamerkan.

“Yang warna cokelat itu kukang, bahasa lokalnya kumbanang. Dipinjam dari kawan yang tinggal di Manganitu. Makanannya macam-macam, seperti kelapa, pisang dan buah-buahan lainnya,” kata Johanes Takahindengan, penjaga stand kepada Mongabay, Jumat (09/09/2016).

Satwa yang ia sebut kukang tadi, dikurung dalam sebuah kandang berukuran sekitar 1×2 meter. Di siang hari ia terlihat banyak berdiam diri. Namun, ketika malam tiba, satwa ini terlihat begitu lincah. Johanes mengatakan, perburuan satwa jenis ini untuk dikonsumsi masih terus terjadi sampai sekarang. Meski demikian, ia tak pernah mendapati perdagangan satwa tersebut di pasar.

Tidak diketahui pasti umur kumbanang. Hanya saja, menurut informasi yang diterima Johanes, sudah sejak 5 hingga 6 bulan lalu warga dari kecamatan Tatoareng,pulau Kalama, menyerahkan satwa ini kepada seorang rekannya yang juga bekerja di dinas kehutanan kabupaten.

“Waktu ditemukan masih kecil sekali. Pemiliknya adalah orang kehutanan, yang tinggal di kecamatan Manganitu. Waktu dia ke Kalama, ada warga yang memberi satwa ini. Diserahkan warga agar jangan sampai kumbanang ini mati. Jadi, diambil lalu dipelihara.”

Setelah memberi penjelasan mengenai kumbanang, ia menunjuk kandang yang berisi 2 ekor burung. Johanes bilang, burungyang berwarna hijau namanya jelai emas. Sementara, untuk burung berwarna putih, ia tidak mengetahui namanya.

Dua jenis burung yang dipamerkan dalam stand Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kepulauan Sangihe pada kegiatan Festival Pesona Sangihe 2016. Burung tersebut yaitu junai emas (Caloenas nicobarica) (depan), dan peragam laut (Ducula bicolor) (belakang). Foto : Themmy Doaly
Dua jenis burung yang dipamerkan dalam stand Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kepulauan Sangihe pada kegiatan Festival Pesona Sangihe 2016. Burung tersebut yaitu junai emas (Caloenas nicobarica) (depan), dan peragam laut (Ducula bicolor) (belakang). Foto : Themmy Doaly

“Kedua burung ini, menurut pemiliknya, hanya ada di Kawaluso dan Papua,” terangnya. “Kemudian, ayam kapas berasal dari Filipina. Dinamakan demikian, karena bulunya mirip kapas. Ini juga pinjaman untuk dipamerkan.”

Menurut Johanes, selain untuk menarik minat pengunjung, satwa-satwa tersebut sengaja dipinjam dan ditampilkan untuk memberi informasi kepada masyarakat bahwa di kabupaten kepulauan Sangihe terdapat satwa endemik dan dilindungi.

“Juga, agar masyarakat tahu, bahwa satwa-satwa ini adalah jenis yang tidak boleh dipelihara, tidak bisa dijual, karena ini adalah satwa dilindungi. Kita juga memamerkan gambar jenis-jenis satwa yang dilindungi, supaya masyarakat tahu,” terangnya.

Penggunaan satwa liar sebagai obyek pameran dilakukan dari awal hingga penutupan Festival Pesona Sangihe 2016. Mulanya, festival ini, direncanakan berlangsung pada 5 hingga 10 September 2016. Dalam perkembangan, durasi pagelaran diperpanjang hingga Selasa (13/9/16).

Meski demikian, petugas di stand pameran belum mengetahui pasti apakah setelah pagelaran ini, satwa-satwa itu akan segera dilepasliarkan. “Pemiliknya bilang, kalau bisa dilepas, maka akan dilepas. Mungkin, kalau (kumbanang) sudah besar sedikit akan dia lepas. Ini, kan, binatang dilindungi yang tidak boleh dipelihara ataupun dijual,” ujar Johanes.

Identifikasi Jenis Satwa yang Jadi Obyek Pameran

Kabupaten kepulauan Sangihe bukanlah habitat alami kukang. Namun, ketika diminta penjelasan mengenai hal tersebut, petugas di stand pameran nampak kebingungan. Beberapa diantara mereka menyebut satwa dalam kandang sebagai kukang dan kuskus secara bergantian.

Satwa berupa ayamg yang diduga dari Filipina dipamerkan dalam stand Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kepulauan Sangihe pada kegiatan Festival Pesona Sangihe 2016. Foto : Themmy Doaly
Satwa berupa ayamg yang diduga dari Filipina dipamerkan dalam stand Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kepulauan Sangihe pada kegiatan Festival Pesona Sangihe 2016. Foto : Themmy Doaly

Menyikapi keraguan penjaga stand, Mongabay menghubungi John Tasirin, pakar biodiversitas Universitas Sam Ratulangi Manado. Lewat kotak pesan di jejaring sosial, foto satwa itu dibagikan untuk diidentifikasi.

John Tasirin terkejut. Satwa dalam kandang itu dilihatnya sebagai jenis kuskus yang spesimennya belum pernah ditemukan di Sangihe. “OMG. Kuskus telinga hitam. Endemik Talaud dan Sangihe,” demikian dituliskannya, Minggu (11/9/2016).

Kuskus yang dimaksud John Tasirin adalah kuskus beruang Talaud (Talaud bear cuscus), yang memiliki nama ilmiah Ailurops melanotis. Menurutnya, selama ini, kuskus tersebut hanya diketahui dari spesimen yang ditangkap di pulau Salibabu, kabupaten kepulauan Talaud. Tapi dari sejumlah foto, ada laporan bahwa kuskus ini pernah ditemukan di Sangihe.

“Ada banyak perbedaan antara kuskus beruang di daratan utama Sulawesi dengan di daerah kepulauan.Tapi, yang paling mudah diperiksa adalah telinga yang berwarna hitam,” terangnya.

Di Sulawesi Utara, terdapat 3 jenis kuskus yang bisa ditemukan, yaitu kuskus beruang Sulawesi (Sulawesi bear cuscus), kuskus kerdil (Sulawesi dwarf cuscus), dan kuskus beruang Talaud (Talaud bear cuscus).

John menilai, kuskus Talaud adalah jenis penting dalam dunia biogeografi. Keberadaan kuskus di Talaud dan Sangihe merupakan distribusi jenis-jenis marsupial (hewan berkantung) terjauh dari Australia. Tidak ada lagi marsupial sesudah Talaud, misalnya di Filipina.

“Beberapa penulis mencoba memperlebar garis pemisah antara bioregion Oriental dan Australasia lebih ke barat dari Garis Wallacea dengan memasukkan kepulauan Palawan dan pulau-pulau utama lainnya di Filipina ke dalam Bioregion Australasia. Dari keberadaan jenis-jenis kuskus yang hanya mencapai Sulawesi, Sangihe dan Talaud, semakin menegaskan kekuatan batasan klasik Garis Wallace yang dibuat oleh Alfred Russel Wallace sejak tahun 1859,” jelas John.

Dia mengatakan, satwa dalam kandang jelas-jelas bukan kukang. Sebab, spesies kukang tidak ditemukan di Sulawesi apalagi di Sangihe. Kemudian, kukang tergolong primata. Berbeda jauh dengan satwa dalam kandang.

“Ciri-cirinya sama dengan kuskus beruang. Setengah panjang atau lebih, ekor mengeras. Pasti kuskus. Ini Kuskus Talaud atau kuskus beruang Talaud, bukan lagi mendekati (kemiripan),” tegasnya.

IUCN mengkategorikan kuskus beruang Talaud sebagai satwa terancam punah (critically endangered). Sebab, sebaran kuskus jenis ini hanya diketahui secara pasti di satu lokasi, yaitu pulau Salibabu, kabupaten kepulauan Talaud. Selain itu, diperkirakan terdapat penurunan populasi akibat perburuan serta berkurangnya luas dan kualitas habitat.

Teri Repi, mahasiswa pasca sarjana IPB yang sedang meneliti kuskus beruang Talaud untuk disertasinya, menjelaskan, kumbanang merupakan nama lokal dari kuskus. Namun, dari pengamatannya, satwa dalam kandang bukanlah kuskus beruang Talaud.

Karena, ciri-ciri fisik satwa tersebut berbeda dengan kuskus beruang Talaud yang sudah disaksikannya secara langsung di pulau Salibabu. “Semakin muda kuskus beruang Talaud, telinganya semakin berwarna hitam. Telinga kuskus dalam foto tidak cukup hitam. Kemudian, semakin muda pula, maka kulit kuskus beruang Talaud akan semakin berwarna abu-abu,” terang dia.

Selain itu, tidak seperti kuskus dalam kandang yang mengkonsumsi buah-buahan, selama penelitiannya di pulau Salibabu, kuskus beruang Talaud teridentifikasi menjadikan daun kenanga sebagai makanannya. Tapi, Teri menilai, tidak menutup kemungkinan kuskus dalam kandang itu, karena intervensi manusia, bisa menjadikan buah-buahan sebagai pakannya.

Dari ciri fisik yang dilihatnya, Teri mengidentifikasi satwa tersebut sebagai kuskus kerdil (Strigocuscus celebensis), jenis yang berukuran lebih kecil dari kuskus lainnya. Diperkirakan, ukuran kuskus ini antara 29-38 cm.

Kuskus kerdil merupakan satwa yang tersebar di pulau Sulawesi, Sangihe, Siau dan di barat Maluku. Oleh IUCN, satwa ini dikategorikan rentan. Seperti halnya kuskus beruang Talaud, kuskus kerdil juga terancam oleh perburuan dan berkurangnya habitat.

Identifikasi jenis burung juga dilakukan oleh Stenly Pontolawokang, fotografer burung yang tinggal di Tahuna. Menurut dia, salah satu burung dalam kandang merupakan jenis junai emas (Caloenas nicobarica). Bukan jelai emas, seperti yang dituliskan dalam stand pameran.

Junai emas berstatus dilindungi, sementara oleh IUCN dikategorikan hampir terancam. “Dulu umum secara lokal, sekarang biasanya jarang sampai langka. Sebagian besar ditemukan di pulau-pulau kecil berhutan tetapi kadang ada di pulau-pulau lebih besar, seperti Sulawesi, Halmahera, Obi, Seram, dan Sumba,” kutip Stenly dari buku Panduan Lapangan: Burung-Burung di Kawasan Wallacea.

Kemudian, burung berwarna putih dalam kandang adalah peragam laut (Ducula bicolor). Berdasarkan status konservasinya, burung ini dikategorikan beresiko rendah (least concern). Menurut Stenly, burung jenis peragam laut masih banyak ditemui. Sementara, junai emas baru disaksikannya secara langsung.

“Burung junai emas baru pertama kali saya lihat. Sayangnya, bukan di alam tapi terkurung di kandang,” terangnya.

Jangan Korbankan The Animal’s Walfare

John Tasirin ketika dihubungi Mongabay-Indonesia mengatakan, pengetahuan dan edukasi tentang penyelamatan serta pelestarian satwa liar penting untuk dilakukan. Hanya saja, ia menilai, proses edukasi itu harus menjauhkan satwa dari tindakan-tindakan yang cenderung menempatkannya sebagai korban, serta tidak boleh merampas apa yang disebutnya sebagai the animal’s walfare.

John menjabarkan, beberapa tindakan yang tidak boleh dilakukan adalah pertama jangan membatasi atau mengubah kebiasaan satwa di alam, termasuk makanan dan daerah jelajah. Kedua, jangan mengancam daya survival. Ketiga, jangan mempermudah satwa terpapar penyakit. Keempat, jangan menyebabkan satwa membahayakan pengunjung, yang bisa mengakibatkan satwa dibunuh untuk menyelamatkan manusia.

“(Bagaimanapun) satwa akan lebih nyaman berada di rumahnya, di habitatnya, yaitu di alam tempat dia dilahirkan dan menjadi bagian pembentukan alam itu sendiri,” ujarnya.

Sementara itu, menurut Stenly Pontolawokang, meski yang jadi persoalan adalah kurangnya data visual bagi masyarakat,namun penggunaan satwa sebagai obyek pameran dikhawatirkan dapat menggiring masyarakat pada praktik-praktik eksploitatif.

Ia merasa,menggunakan foto atau gambar satwa di alam merupakan bahan belajar yang jauh lebih baik. “Kalau menampilkan satwa secara langsung, bisa ada masalah dengan pakan, tingkat stres serta ukuran kandang. Lebih baik, menggunakan foto atau gambar. Atau kalau ingin melihat burung atau satwa liar bisa langsung ke habitat aslinya. Bukan di kandang.”

Stenly berharap, selepas Festival Pesona Sangihe 2016, satwa-satwa liar tersebut tidak lagi dipelihara. Karenanya, pihak berwenang dan pemilik satwa didorong mencari solusi yang dibutuhkan untuk menjamin kesejahteraan satwa liar.

“Ada baiknya, satwa-satwa tersebut dilepasliarkan. Kalaupun perlu perawatan, mesti diserahkan pada ahlinya untuk direhabilitasi, sebelum dikembalikan ke habitatnya,” pungkasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,