Walhi: Lihat Ketetapan Hukumnya Dulu, Baru Reklamasi Teluk Jakarta Dilanjutkan

Kredibilitas Pemerintah dipertanyakan dalam penyelesaian kasus reklamasi di Teluk Jakarta. Tidak seharusnya reklamasi dilanjutkan pembangunannya, sementara proses hukumnya masih terus berjalan. Jalan paling aman, seharusnya Pemerintah menunda reklamasi sampai ketetapan hukumnya jelas.

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menilai, jika reklamasi kembali dilanjutkan, akan banyak masalah yang timbul. Di antaranya, karena ketetapan hukumnya tidak ada. Padahal, untuk bisa melaksanakan reklamasi, ketetapan hukum harus jelas.

Direktur Eksekutif WALHI Nasional Nur Hidayati mengatakan, ketetapan hukum yang menjadi acuan utama dalam reklamasi, adalah peraturan daerah (Perda) tentang zonasi kawasan pesisir dan pulau-pulau terpencil.

“Jika perda zonasi sudah ada, reklamasi bisa terus dilanjutkan. Tentu saja, dengan memenuhi segala ketentuan yang menjadi syarat,” ungkap dia kepada Mongabay, Kamis (15/9/2016).

Nur Hidayati menjelaskan, selain perda zonasi, reklamasi yang dilakukan di Teluk Jakarta, khususnya yang sudah berjalan di Pulau G, F, I, dan K, dinyatakan melanggar ketentuan yang berlaku di Indonesia. Yaitu, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan UU No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Tidak hanya itu, proyek reklamasi Teluk Jakarta, ditengarai juga sudah melanggar tata aturan yang lain. Menurut Nur Hidayati, pengembang dalam melakukan penyusunan analisis mengendai dampak lingkungan (AMDAL) tidak partisipati dan tidak melibatkan nelayan.

“Yang juga sudah dilanggar, dalam proyek reklamasi di Teluk Jakarta, itu ditemukan kepentingan untuk bisnis jauh lebih besar dibanding kepentingan untuk umum atau rakyat. Karenanya, reklamasi tidak benar. Itu semua kata Majelis Hakim PTUN Jakarta ya,” sebut dia.

Karena itu, WALHI menilai, apa yang dilakukan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Luhut Pandjaitan dengan membuat pernyataan proyek reklamasi di Teluk Jakarta dilanjutkan, itu adalah kesalahan besar dan patut dipertanyakan kebenarannya.

“Kemenkomar mengklaim dalam pernyataannya bahwa itu sudah disepakati oleh instansi lain, namun itu juga patut ditelusuri lagi kebenarannya,” jelas dia.

Ungkapan penuh keraguan tersebut sangat beralasan. Karena Nur Hidayati mencatat, hingga saat ini dua instansi sentral, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) diketahui masih memiliki sikap yang sama yakni merekomendasikan reklamasi dihentikan.

“Tapi bisa apa jika Luhut sudah mengeluarkan pernyataan seperti itu. Tinggal tunggu waktu saja sekarang apakah kekuatan hukumnya akan ada atau tidak,” jelas dia.

Ultimatum kepada Presiden

Melihat kondisi yang ada di lapangan, WALHI menilai ada upaya perlawanan terhadap hukum yang dilakukan Pemerintah RI, dalam hal ini Presiden RI Joko Widodo. Menurutnya, Presiden jangan sembarangan dalam mengambil kebijakan terkait reklamasi di Teluk Jakarta.

“Kami peringatkan kepada Pemerintah dan khususnya kepada Presiden RI untuk tidak melakukan perlawanan terhadap hukum,” tegas dia.

Nur Hidayati menilai, jika Pemerintah Pusat berani melawan hukum, dia meyakini tindakan serupa akan dilakukan oleh pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Itu artinya, Jakarta sebagai percontohan akan memberi contoh yang buruk.

Sejumlah nelayan menyegel Pulau G, salah satu pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta. Mereka menyegel pulau buatan tersebut karena menolak reklamasi Teluk Jakarta yang merugikan mereka, Foto : Sapariah Saturi
Sejumlah nelayan menyegel Pulau G, salah satu pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta. Mereka menyegel pulau buatan tersebut karena menolak reklamasi Teluk Jakarta yang merugikan mereka, Foto : Sapariah Saturi

Nur Hidayati mengatakan, jika memang Pemerintah RI peduli dengan kondisi Teluk Jakarta sekarang, maka langkah yang harus diambl tidak dengan melakukan reklamasi, melainkan dengan melakukan rehabilitasi.

“Reklamasi ini akal-akalan saja untuk bisa melanjutkan proyek bisnis. Ada kondisi sosial budaya yang diabaikan dalam kebijakan ini. Seolah-olah masyarakat itu bisa diselesaikan dengan gampang hanya melalui relokasi ataupun disediakan fasilitas publik,” ucap dia.

“Intinya, Pemerintah tidak boleh membuat kegaduhan lagi, tapi justru harus membuat ketenangan dan kenteraman,” tambah dia.

Tunggu Finalisasi NCICD

Saat perda zonasi tak kunjung hadir, reklamasi seharusnya bisa berhenti karena itu berarti ada pelanggaran berat dan harus diperbaiki lebih dulu. Tetapi, nyatanya itu tidak terjadi. Bersamaan koalisi yang dipimpin Menteri Komar dan SD Rizal Ramli mengeluarkan pernyataan penghentian reklamasi untuk sementara, ditengarai ada upaya dari pihak berkepentingan untuk tetap melanjutkannya.

Nur Hidayati pernah mendengar, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama langsung mendatangi Presiden RI Joko Widodo terkait reklamasi. Tak lama setelah pertemuan itu, Presiden kemudian mengeluarkan pernyataan bahwa reklamasi masuk dalam proyek strategis yang harus dibahas dalam National Capital Integrated Coastal Development (NCICD).

“NCICD ini dikerjakan oleh Bapenas (Badan Perencanan Pembangunan Nasional) dan di dalamnya ada juga pembahasan tentang proyek giant sea wall atau tanggul laut raksasa di Teluk Jakarta. Nah, reklamasi juga masuk di dalamnya,” papar dia.

Meski dinilai tidak ada korelasi dengan NCICD, namun Nur Hidayati memandang, saat ini Pemerintah sudah mengelompokannya dalam proyek strategis nasional. Itu artinya, reklamasi dipastikan akan tetap berjalan ada ataupun tiada hambatan.

“Masalahnya, NCICD ini dijadwalkan baru rampung pada November nanti. Nah sekarang, karena belum rampung, seharusnya reklamasi juga tidak boleh dilanjutkan. Karena, itu tidak ada panduannya,” jelas dia.

Pentingnya reklamasi menunggu NCICD, menurut Nur Hidayati, karena itu bisa menjadi panduan KLHK untuk mengeluarkan rekomendasi AMDAL proyek pembangunan pulau-pulau di Teluk Jakarta. Dengan kata lain, Amdal untuk seluruh proyek reklamasi nantinya akan bergantung pada hasil akhir dari NCICD.

Rakyat Bisa Menggugat

Di sisi lain, walau sudah ada pernyataan dari Menko Maritim dan Sumber Daya Luhut Pandjaitan, WALHI menilai pernyataan tersebut tidak kuat untuk melanjutkan proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Karenanya, perlu ada payung hukum yang kuat jika memang akan melanjutkan proyek.

“Tapi, jika payung hukum tersebut diterbitkan, WALHI tidak akan tinggal diam. Kita akan menggugatnya. Karena, bagaimanapun proyek reklamasi ini masih bermasalah, baik secara hukum maupun sosial budaya,” ungkap Manajer Penanganan Kasus dan Emergency Response WALHI Nasional Edo Rakhman kepada Mongabay.

Edo menilai, pernyataan yang dirilis Luhut Pandjaitan tersebut bisa jadi semacam test case kepada publik. Atau, bisa jadi karena memang ada desakan dari pengembang untuk segera melanjutkan proyek yang ada di utara Jakarta itu.

“Ini aneh makanya. Koalisi bersama saja kerjanya belum selesai, tapi tiba-tiba sudah ada pernyataan reklamasi dilanjutkan. Ada apa ini?” pungkas dia.

Karena itu, Edo menghimbau kepada masyarakat umum untuk bisa memahami kasus reklamasi di Teluk Jakarta dengan seksama. Selain itu, pihaknya juga akan terus berupaya untuk membongkar kasus tersebut hingga tahu siapa sebenarnya yang sedang “bekerja”.

Sebelumnya, Majelis Hakim PTUN Jakarta pada 31 Mei lalu mengabulkan gugatan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta dengan mengeluarkan putusan agar Pemerintah mencabut izin untuk reklamasi di Pulau G. Keputusan tersebut kemudian diikuti dengan keputusan dari koalisi bersama yang dipimpin Kemenko Maritim dan Sumber Daya yang meminta reklamasi berhenti secara permanen.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,