Balada Emas Dongi-Dongi, Antara Tambang Rakyat dan Kawasan Konservasi

Sudah dua malam torang nda besok harus kosong lokasi jadi ba paksa karja dalam lobang daripada pulang kosong, makang nyanda bisa apalagi pulang. Begitu sudah nasib penambang, diusir terus,”  jelas Ari mencurahkan isi hati siang itu. Tubuh dan tangannya masih berbalut tanah berlumpur.

Sebagai pekerja tambang rakyat, Ari dan rekan-rekannya di mata Pemerintah tidak memiliki legalitas. Mereka disebut PETI (Pertambangan Emas Tanpa Izin). Ari mendengar besok mereka harus keluar dari Dongi-Dongi, kawasan yang ditetapkan masuk dalam Taman Nasional Lore Lindu (TNLL).

Dia bersama 21 orang rombongannya sudah dua minggu berada di lokasi. Meski mengaku bekerja siang malam, dia khawatir penghasilan menggali emas tak akan sepadan dengan biaya yang telah dikeluarkan. Setidaknya ‘tidak kembali modal’ menurut istilah mereka.

Bekerja sebagai pekerja tambang emas, memang jauh dari kesan glamour. Pekerjaan ini lebih mirip berjudi nasib. Tak saja penambang, banyak pula pemodal yang rugi.

Baca juga: Potret Kehidupan Warga Dongi-Dongi

“Memang ada sedikit tapi tidak nutup modal, belum baku bagi dengan bek (backing), belum modal, makan, bayar kijang (kuli panggul), belum lagi mobil bawa ke Poboya, bayar lagi portal tiga titik, giling di Poboya bayar lagi,  habis dijalan,” ucapnya lirih.

Meski banyak yang pulang tanpa hasil, menurut Ari masih banyak calon penambang yang sekarang tunggu giliran di Kota Palu. Mereka menanti waktu sampai dirasa aman beroperasi kembali. “Katanya, tambang akan kembali buka usai operasi penertiban.”

Seturut Ari, sudah jadi aturan dalam operasi PETI, para pengaman operasi atau backing akan mendapat 20 persen dari hasil olahan emas. Jika tidak, jangan harap para pekerja tambang rakyat dapat membawa keluar batu emas (rep) yang sudah didapat. Sedang 80 persen digunakan untuk menutup modal dan hutang biaya operasional. Sisanya, jika ada, baru dibagi rata pada sesama anggota yang berjumlah 21 orang.

Tidak dipungkiri, emas memang menjadi daya tarik. Iming-iming keuntungan yang bakal diraup, menghadirkan ribuan bahkan belasan ribu orang  seperti Ari. Mereka berdatangan untuk beradu nasib ke lokasi ini.

Jauh berada di lokasi galian, penggalian jauh dari kesan profesional. Di lokasi ini jarak antar lubang yang satu dengan yang lainnya sangat dekat, ratusan lubang bertengger susun menyusun dengan kedalaman yang berbeda. Galian terdalam dibagian paling atas lokasi mencapai 25 meter. Lubang galian juga banyak ditemukan diarea bawah, dalamnya antara 3-6 meter. Bahkan sampai kebalik pepohonan besar yang dalamnya dapat mencapai 6-9 meter.

***

Hari itu Kamis, 1 September 2016, hari operasi penertiban PETI Dongi-Dongi berlangsung. Tak lagi tampak hiruk-pikuk para penambang yang biasanya ramai di lokasi.

Terlihat, sepuluh orang Polisi Kehutanan TNLL membersihkan area yang sudah kosong.

“Bersih-bersih kumpul sampah plastik, pakaian dan barang lainnya milik para penambang yang tersisa,” ungkap Herman salah seorang dari mereka, menjelaskan tujuan mereka.

Tidak saja sampah, area pertambangan itu kotor. Banyak sisa kotoran manusia berceceran dimana-mana. Sangat tidak higienis.

Baca juga: Buntut Penertiban Tambang, Warga Dongi-Dongi Kena Hujan Peluru

Herman lalu menunjuk dua sungai kecil dan sumber mata air hampir kering. Awalnya air sungai itu mengalir deras, sekarang sudah tidak ada. Mata airnya juga jadi sangat kecil. Tidak lagi terdengar suara burung yang dulu banyak di lokasi itu. Entah ada dimana mereka sekarang berada.

Luas area pertambangan itu mencapai 15 hektar. Tampak pohon-pohon yang telah ditebang. Menurut Herman jumlahnya seribuan pohon. Belum termasuk pohon-pohon ukuran sedang seperti batang beringin hutan dan cempaka yang batangnya digunakan menopang lubang galian. Berbagai jenis anggrek juga turut hancur.

“Itu bekas penambang yang lama [sebelum penertiban I] kalau yang sekarang tidak [potong pohon lagi], mereka bawa kayu dari luar,” ujarnya.

Plang yang terpasang di lokasi Dongi-Dongi sebelum penertiban bulan Maret 2016 yang berbuntut rusuh. Foto: Ahmar
Plang yang terpasang di lokasi Dongi-Dongi sebelum penertiban pada bulan Maret 2016 yang berbuntut rusuh. Foto: Ahmar

Dalam 2016, operasi penertiban kali ini adalah kali kedua dilakukan oleh aparat. Menurutnya, hanya dalam tiga minggu operasi tambang berlangsung, dampaknya teramat parah.

As’ad, petugas lain menjelaskan dampak pertambangan emas. Dirinya mengaku khawatir penggunan raksa (merkuri, Hg) yang mencemari tanah dan perairan termasuk aliran sungai.

Raksa digunakan oleh para penambang untuk mengecek apakah suatu mineral mengandung emas atau tidak, tuturnya. “Awalnya setetes demi setetes, lama-lama ribuan tetes juga kalau dibiarkan, jadilah pencemaran kimia berbahaya. Mereka [penambang PETI] mana pernah berpikir kalau air itu juga dikonsumsi masyarakat di bagian bawah.”

Konflik sosial yang terjadi antara penambang Dongi-Dongi dengan aparat kepolisian terjadi di akhir Maret 2016 berakhir dengan pembubaran paksa dan mengakibatkan jatuhnya korban luka-luka.  Sejak itu polisi bersama Balai Besar TNLL melakukan penjagaan ketat di area Dongi-Dongi, wilayah Desa Sedoa, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso.

Situasi itu berlangsung hingga empat bulan. Pada akhir Juli 2016, karena keterbatasan penganggaran yang dilakukan lewat KLHK, pengawalan dan penjagaan kawasan berakhir.

Per Agustus 2016,  saat pasukan penjagaan ditarik, ribuan orang seketika memasuki lokasi.

“Waktu itu kira-kira satu jam sejak kita tinggalkan lokasi, gunung sudah kayak kunang-kunang lampunya, kelihatan dari tanjakan, luar biasa dorang (mereka) pe nekat,” kata salah satu aparat lanjut menceritakan. Menurutnya yang masuk pada bulan Agustus mencapai 5 ribu orang, tiga kali lipat dari rata-rata sebelumnya.

Mereka konon datang tidak saja dari Sulteng, tetapi dari berbagai provinsi lain.

Sejak wilayah Dongi-Dongi dikabarkan mengandung emas dalam jumlah tinggi.  Ribuan orang masuk wilayah ini mengadu nasib. Juga didorong berbagai isu yang menyeruak bahwa mereka dizinkan mengolah lokasi sebelum perusahaan bakal masuk di lokasi ini.

Untuk menghindarkan konflik terjadi kali kedua. Saat ini aparat dan Pemkab Poso melakukan upaya persuasif. Himbauan dan peringatan untuk mengosongkan lokasi tambang dipancang di mana-mana. Termasuk di depan jalan raya Dongi-Dongi. Hasilnya 29 Agustus 2016, dua hari menjelang batas akhir lokasi sudah kosong. Sehingga pada saat 900 aparat penegak hukum gabungan beroperasi tanggal 1 September 2016 tidak terjadi lagi situasi panas.

“Pasca penertiban, penataan akan dilakukan di bekas areal pertambangan tanpa izin, 17 ribu bibit pohon akan disediakan oleh Dishut Provinsi nantinya,” jelas Sudayatna, Kepala Balai TN Lore Lindu.

Area Dongi-Dongi tampak dari kejauhan, meninggalkan bekas area pertambangan. Foto: Minnie Rivai.
Area pertambangan Dongi-Dongi tampak dari pemukiman warga di wilayah enclave.  Foto: Minnie Rivai.

Lubang-lubang bekas galian itu rencananya nanti akan ditimbun oleh excavator, yang rusak akan ditata dan setelahnya ditanami pohon palapi, pohon lokal bernilai ekonomis tinggi.

“Secepatnya ditangani, kalau lama, nanti masuk lagi penambang, rusak lagi,” tuturnya. Dia menyebutkan kawasan akan dijaga sedikitnya 120 personil TNI Polri selama masa penataan.

***

Warung itu tampak sepi. Tak nampak lagi adanya aktivitas. Keadaan tampak berbeda beberapa bulan yang lalu. Warung itu milik pendatang dari Sigi dan Palu. Di saat jayanya warung itu buka 24 jam.

“Di situ dulu 1 piring kalau pakai ayam atau daging Rp25-30 Ribu, kalau mie siram Rp10 ribu pakai telur, dan itu tidak berhenti, mati berdiri itu penjual,” kata Jon, seorang warga lokal sambil tertawa. Menurutnya harga itu terlampau tinggi dalam kondisi normal orang lokal.

Om jon warga asli setempat dari suku Da’a. Dia mengaku tidak ikut menambang. Tetapi dia turut merasakan rezeki tambang. Dia menyediakan jasa ojek. Sesekali dia dan anaknya nyambi sebagai pembuat tanggul penahan longsor di area penggalian. Dia mengaku di saat tambang ramai, dengan mengojek penghasilannya dapat mencapai Rp3 juta per hari.

Ribuan penambang yang menyerbu masuk kewilayah Dongi-Dongi membuat putaran ekonomi di areal tersebut meningkat pesat, dengan harga yang melambung tinggi. Bahkan seorang kuli panggul orang lokal mendapat jatah Rp250 ribu untuk sekali angkut karung pasir berukuran 25 kilogram.

“Juga rumah-rumah disana disewakan. Pemiliknya tinggal dikebun, Semalam Rp500 ribu,” ujar Jon sembari menunjuk deretan rumah-rumah sederhana milik warga yang berada di sekitar pintu masuk lokasi.

Dia pun mengaku baru kali ini memperoleh uang dengan cara cepat.

Pesta sudah selesai, tambang sudah ditutup. Jon tidak ambil pusing. Dia berencana untuk kembali ke kebun menjadi petani. Menurutnya kerja-kerja ini cuma sampingan. Semacam selingan dan rezeki tambahan pendapatan buatnya.

Untuk kali ini masalah di Dongi-Dongi mungkin tampak sudah selesai. Namun belum jelasnya tapal batas membuat areal yang dianggap berpotensi emas ini bakal seterusnya diserbu oleh ribuan penambang yang ingin masuk kembali di daerah ini.

Namun klaim ini buru-buru dibantah keras Balai TNLL. Sudayatna dengan tegas menyatakan bahwa benar tapal batas belum ada, tetapi wilayah tambang masuk dalam kawasan mengacu pada titik koordinat peta kawasan diluar enclave TNLL.

Di depan masyarakat Dongi-Dongi pada tanggal 3 September 2016, Wagub Sulteng Soedarto meminta agar jangan mudah masyarakat terprovokasi dan tidak percaya dengan berbagai isu yang beredar.

Menurutnya tidak benar berita yang menyatakan lokasi Dongi-Dongi akan dieksploitasi pasca penambang PETI digusur “Sama sekali nggak benar berita itu, jangan mudah percaya,” jelasnya.

Dia pun lalu meminta seluruh lapisan masyarakat Sulteng untuk menaati hukum dan jangan melakukan perbuatan melawan hukum, termasuk mendukung kegiatan ilegal yang dilakukan para penambang dari luar provinsi.

Ari, kelompoknya dan ribuan penambang sudah pergi jauh dari Dongi-Dongi saat Wagub berucap. Mereka sudah pulang meninggalkan Dongi-Dongi dengan cerita getir. Mungkin dalam asanya, mereka berharap suatu saat akan dapat kembali lagi kesini untuk beradu untung dengan sang nasib.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,