Bioflok, Budidaya Ikan Lele dan Nila di Lahan Terbatas

Syamsul Mansyur atau biasa dipanggil Daeng Nawing (46) menebar pelet ke kolam ikan yang berada di halaman rumahnya. Air kolam yang tadinya tenang berubah beriak, ikan-ikan nila berlompatan rakus melahap setiap butir pelet yang diberikan padanya.

Ada sekitar 3000 ekor ikan nila yang ditebar di kolam yang hanya berukuran 2×3 meter itu setinggi 80 cm itu. Begitu padatnya sehingga tak ada ruang yang cukup bagi ikan untuk berenang bebas.

Kepadatan itu adalah sebuah kesengajaan. Sebuah teknik pembiakan ikan yang disebut bioflok, teknik pembiakan ikan dengan cara menumbuhkan bakteri di dalam air.

“Bio artinya hidup, flok itu gumpalan. Jadi bioflok itu adalah gumpalan hidup. Jadi bakteri-bakteri itu tumbuh menjadi gumpalan yang akhirnya tumbuh menjadi makanan ikan,” jelas Syamsul ketika ditemui Mongabay awal September 2016.

Dengan metode ini, sisa-sisa pakan atau kotoran ikan akan diolah oleh bakteri tersebut lalu jadi makanan lagi. Hanya memang tetap diberi pakan. Keuntungan sistem ini dibanding metode konvensional adalah penggunaan air yang sedikit karena kepadatan ikan di kolam tersebut memiliki aturan tersendiri.

“Di sini ikannya sekitar 3000-an. Karena ikannya masih kecil-kecil. Ketika ikan sudah cukup besar maka ikan-ikan ini harus dipisah sehingga tersisa hanya sekitar 800-an. Kalau yang ada di kolam ini umurnya sudah 3 bulan, sebentar lagi kami pisah.”

Kelompok Budidaya

Syamsul adalah Ketua Kelompok Abbulo Sibatang, salah satu kelompok usaha budidaya ikan yang mendapat dukungan dari Coastal Community Development Program International Fund for Agricultural Development (CCDP – IFAD) di Kelurahan Barombong, Kecamatan Tamalate, Makassar.

Kelompok Abbulo Sibatang yang dalam Bahasa Makassar berarti satu kesatuan, atau kerja sama yang erat ini dibentuk sejak 2013. Awalnya dibentuk untuk usaha peternakan dan perikanan, belakangan berubah hanya fokus untuk budidaya ikan saja.

Usaha budidaya dengan metode bioflok ini hanya merupakan usaha pribadi dari Syamsul saja, menindaklanjuti hasil pelatihan dari Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian dan Peternakan (DKP3) Makassar. Belakangan Syamsul bersama teman-teman seprofesi sepakat membentuk kelompok budidaya tersebut.

“Usaha budidaya ini masih sangat baru, sekitar 4 tahun lalu. Awalnya tidak begitu berkembang. Usaha teman-teman pun sempat mandek.”

Syamsul Mansur, pembudidaya ikan di Kelurahan Barombong, Kecamatan Tamalate, Makassar, Sulsel, mulai mencoba budidaya ikan lele metode bioflok ini di pekarangan rumah. Kelebihannya karena tidak meninggalkan bau seperti halnya budidaya lele secara konvensional. Foto: Wahyu Chandra.
Syamsul Mansur, pembudidaya ikan di Kelurahan Barombong, Kecamatan Tamalate, Makassar, Sulsel, mulai mencoba budidaya ikan lele metode bioflok ini di pekarangan rumah. Kelebihannya karena tidak meninggalkan bau seperti halnya budidaya lele secara konvensional. Foto: Wahyu Chandra.

Kelebihan budidaya dengan metode bioflok ini adalah biaya pakan yang lebih rendah dan penggunaan lahan yang tak begitu luas, bisa memanfaatkan pekarangan rumah. Pada bulan pertama dan kedua biaya pembelian pakan hanya sekitar Rp750 ribu sebulan. Sementara pada bulan ketiga dan bulan berikutnya semakin bertambah hingga Rp1 juta lebih.

“Kalau perhitungan kasarnya untuk 4000 ekor nila biaya yang harus dikeluarkan hingga panen sekitar Rp6 juta – Rp7 juta. Sementara jika panen sukses maka hasilnya bisa mencapai Rp20 juta – Rp25 juta, dalam kurun waktu panen sekitar 6-7 bulan. Jadi kemarin kita hitung-hitung sekitar Rp4 juta per bulan pendapatannya. Karena ini masih baru jadi kita belum bisa lihat perkembangannya,” jelas Syamsul.

Biaya pembuatan kolamnya sendiri tak lebih dari Rp6 juta yang bisa memuat 3000 ekor ikan lele atau 900 ekor ikan nila. Cuma harus dibuat beberapa kolam agar bisa dipindahkan sebagian jika isi kolam sudah terlalu padat.

Terkait pola makan untuk ikan nila, Syamsul masih terus meneliti dan melakukan uji coba takaran makanan yang tepat. Sementara terkait tingkat kematian ternyata relatif lebih kecil.

“Berbeda kalau lele, karena mereka sifatnya kanibal jadi kalau terlambat diberi makan maka mereka akan saling makan.”

Untuk ikan lele sendiri, metode ini memiliki kekurangan tersendiri. Dibanding metode konvensional metode ini kurang bisa bersaing dari segi harga produk, meski secara kualitas ikan lebih baik. Penyebabnya, kebiasaan masyarakat Makassar yang lebih senang mengkonsumsi ikan lele yang lebih besar, sementara hasil dari bioflok memiliki ukuran yang lebih kecil.

“Tapi di Makassar jarang ada peminat yang besarnya seperti itu. Biasanya kalau di Makassar lebih suka yang besaran 4-5 ekor per kg, jadi waktu panennya lebih lama. Apalagi dengan sistem yang kita terapkan ini pakan pelet.”

Sementara, penggunaan pakan berupa jeroan, bangkai ayam dan-lain-lain, perkembangannya relatif lebih cepat. Bisa panen dalam 4 bulan, sementara dengan bioflok masanya 5-6 bulan. Semakin lama waktu produksi maka semakin membengkak biaya yang harus dikeluarkan.

Menurutnya, biaya budidaya ikan lele ini cukup besar untuk pembelian pakan. Kelebihannya pada jenis pakan yang digunakan kaya protein. Metode ini juga tidak terlalu merepotkan dan ramah lingkungan karena tidak meninggalkan bau sehingga tidak mengganggu tetangga.

“Itulah alasan kami mau coba dengan metode ini, meski konsekuensinya biaya usaha meningkat karena jangka waktu panen yang lebih lama, menunggu sampai ikannya besar seperti standar ikan lele di sini.”

Menurut perhitungan Syamsul, jika mereka menebar 3000-4000 bibit ikan, dengan penggunaan pakan alternatif ini, biaya yang mereka harus keluarkan per bulan sekitar Rp400 ribu – Rp500 ribu.

“Karena kita panen sekitar 4-5 bulan jadi biayanya sekitar Rp2 jutaan. Ditambah biaya bibit sekitar Rp1 juta. Hasil panen sendiri sekitar Rp6 juta.”

Meski memiliki kekurangan, namun Syamsul menilai budidaya dengan metode bioflok ini masih memiliki prospek untuk dikembangkan, namun syaratnya memang harus dilakukan dalam skala besar.

“Kalau menurut saya, program ini bisa lebih efektif kalau skalanya lebih besar. Saat ini, untuk menyesuaikan pasar yang sesuai keinginan masyarakat Makassar agak susah. Kalau nanti harganya  berbeda antara yang pakan biasa dan bioflok ini, mungkin akan menguntungkan. Sayangnya harganya masih relatif sama karena masyarakat kita belum bisa membedakan.”

Untuk penjualan ikan lele sendiri melalui pedagang yang rutin membeli dalam skala besar. Penjualan dalam skala eceran tidak mereka layani karena kecenderungan ikan lele yang memiliki tingkat stres yang tinggi, yang akan terganggu ketika diaduk di saat pengambilan ikan.

Untuk ikan nila sendiri, karena masih uji coba, Syamsul belum bisa menjelaskan lebih jauh dari segi keuntungan, kecuali estimasi di atas kertas. Pasarnya sendiri telah tersedia, karena kebutuhan ikan nila yang cukup besar di Kota Makassar.

“Beberapa pedagang tempat kami beli bibit menjamin untuk membeli hasil budidaya kami karena melihat potensi ikan di Makassar dan malah ada yang diekspor.”

Secara manfaat, Syamsul menyatakan sangat terbantu dengan adanya CCDP – IFAD ini, karena sarana dan prasarana yang yang mereka terima, termasuk kebutuhan pakan dan bibit yang terpenuhi dengan baik. Di antara seluruh pembiayaan, penggunaan terbesar dari dana yang mereka terima digunakan untuk kebutuhan pakan.

Manfaat lain yang dirasakan adalah pada kebersamaan sesama anggota kelompok, sehingga mereka bisa saling berbagi pengalaman dalam budidaya melalui metode bioplok ini.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,