Orangutan-orangutan Ini Menderita Terkena Tembakan Senapan Angin…

Namanya Windy. Tatapan mata kosong. Beberapa kali petugas mencoba memberi makanan, berkali pula tangannya gagal menangkap makanan itu. Windy adalah orangutan Kalimantan betina, asal Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Ia kini buta permanen.

Windy tak bisa lagi menghirup udara bebas di hutan, seperti dulu. Kini, ia tinggal di kandang berukuran 1,5 x 1,5 meter, hidup tergantung pada perawatan Yayasan BOSF Nyaru Menteng.

Cerita bermula pada 2012. Kala itu, beberapa pekerja perkebunan sawit PT BGA mendatangi Pusat Rehabilitasi Orangutan Nyaru Menteng. Mereka tergesa-gesa membawa Windy dalam kotak kayu.

Monterado Friedman, Koordinator Edukasi dan Komunikasi BOSF Nyaru Menteng mengatakan, mereka sudah menangkap Windy satu atau dua hari sebelumnya karena orangutan ini masuk ke konsesi perkebunan sawit.

Sayangnya,  mungkin ketidaktahuan penanganan orangutan Windy ditangkap dengan kondisi tangan terikat. Kondisi lemah karena dehidrasi.

“Kita terima, saat pertama kali melihat Windy, ada beberapa luka fisik di tubuhnya,” katanya, beberapa waktu lalu.

Agung, biasa disapa mengatakan, sebelum menerima Windy sudah menjelaskan kepada BGA bahwa BOSF sebenarnya tak menerima orangutan umur lebih empat tahun. Apalagi jika orangutan liar. Paling memungkinkan orangutan harus translokasi, ke hutan lebih aman.

“Windy datang dengan kondisi luka. Jadi kewajiban kami menyembuhkan luka dulu, setelah itu kami translokasi. Saat itu Windy dititipkan di BOSF. Setelah dua tiga hari, kita periksa, cek lengkap. Melihat gelagat, orangutan ini lemah, saat melihat buah, pandangan tak fokus,” katanya.

Hasil pemeriksaan tim medis BOSF mencengangkan. Ternyata di tubuh Windy ditemukan delapan peluru senapan angin kaliber empat milimeter . Empat persis di sebelah kiri mata. Hasil pemeriksaan dokter hewan kala itu menyatakan Windy mengalami kerusakan permanen pada jaringan mata.

“Ia melihat buah, suka salah mengambil. Sensorik jaringan tak berfungsi dengan baik. Setelah beberapa hari diistirahatkan, pengecekan lagi, diantaranya cek mata. Kebetulan juga waktu itu ada relawan dokter mata dari Amerika sedang memberikan pelatihan kepada teman-teman medis di Nyaru Menteng. Akhirnya diketahui, Windy cacat akibat senapan angin dan hantaman benda tumpul,” katanya.

Saat itu pula, BOSF Nyaru Menteng memberitahukan kondisi Windy kepada manajemen BGA. Bahwa BOSF tak mungkin bisa melepasliarkan Windy karena cacat permanen. Peraturan pemerintah Indonesia dan IUCN menyebutkan, orangutan buta, tuli, dan cacat tak bisa dilepasliarkan.

“Sekarang Windy sudah lebih aktif, mau makan buah-buahan dan susu. Meski tak bisa lagi kembali normal seperti sedia kala. Otomatis akan tergantung dengan manusia. Akhirnya kami putuskan, Windy boleh berada di tempat kami.”

Bagaimana dengan biaya perawatan? Kala itu, katanya, BGA bersedia mengadopsi  Windy penuh selama dua atau tiga tahun, dengan biaya perawatan Rp35 juta per tahun.

Tak berlangsung lama. Menurut Agung, kini BGA tak lagi mengadopsi Windy.

“Bantuan tak lagi diberikan. Saya juga tak tahu mengapa mereka tak memperpanjang adopsi Windy.”

Ia ditempatkan di kandang khusus. Tak bisa berinteraksi dengan orangutan lain.

orangutan1-wendy-img-20160918-wa0011 Windy, juga buta kedua mata, terkena peluru senapan angin. Foto: Dokumentasi BOSF

Nasib serupa dialami Grepy, orangutan jantan berusia 12 tahun ini juga mengalami buta permanen. Grepy berhasil diselamatkan oleh tim penyelamat BOSF Nyaru Menteng pada 8 Januari 2016. Ia ditemukan dengan kondisi sangat mengerikan. Beberapa luka tembak terlihat dari tubuh, kedua kelopak mata bengkak dan bola mata sebelah kanan mengeluarkan darah. Grepy orangutan dari Kabupaten Kapuas.

Cerita Grepy bermula saat peristiwa kebakaran hutan hebat akhir 2015. Kala itu, ada ratusan orangutan keluar di sepanjang DAS Mangkutub. Keluar dari hutan, mereka berpindah ke pinggir sungai sepanjang aliran Sungai Mangkutub sepanjang hampir lima kilometer.

Mereka hanya mendiami hutan rasau sepanjang sungai. Mereka hanya memakan buah rasau dan buah dari pepohonan yang tersisa. Itu tak cukup. Lokasi DAS Mangkutub ini dekat dengan stasiun penelitian orangutan liar Tuanan dikelola BOSF Mawas.

“Karena itulah kami sekuat tenaga berusaha memindahkan mereka ke hutan yang lebih aman. Disana peresediaan makanan tak cukup. Potensi konflik dengan mansuia akan lebih tinggi. Sebab sering terlihat oleh manusia yang hilir mudik. Kami curiga ada anak-anak orangutan ditangkap, lalu ibu dibunuh. Kami tak tahu motifnya dipelihara atau diperjualbelikan. Tapi isu itu ada,” kata Agung.

Akhirnya BOSF bekerjasama dengan BKSDA operasi penyelamatan orangutan dipindahkan ke daerah Begantung, daerah pusat stasiun penelitian orangutan liar di Tuanan. “Dua operasi kami lakukan, November hingga Januari 2016. Orangutan yang berhasil diselamatkan ada 69 individu.”

Pada Januari, tim gabungan ini menemukan Grepy dari pinggir Sungai Mangkutub. Saat itu, laporan tim medis di lapangan kondisi orangutan ini lemah. “Akhirnya,  dibawa ke Nyaru Menteng. Begitu hasil medis keluar, dokter hewan mengatakan ada sesuatu di matanya,” katanya.

Pada 14 Februari 2016, tim medis pemeriksaan menyeluruh Grepy. Hasil menunjukkan, ada 13 peluru senapan angin di tubuhnya. Delapan bersarang di mata sebelah kiri, kedua kornea mata menderita katarak.

Kini,  luka-luka di tubuh itu memang sudah tak terlihat. Ia dinyatakan sembuh. Namun Grepy tak bisa ke di hutan liar karena buta permanen.

Ada juga orangutan bernama Bumi. Ia  masuk Nyaru Menteng Juni 2016. Umurnya saat itu baru dua minggu.  Tali pusar bahkan masih basah. Setelah pemeriksaan, ada satu peluru di punggungnya.

“Hingga kini peluru belum bisa dikeluarkan karena kondisi masih lemah.”

Ada juga Suci, orangutan sitaan pada 8 Agustus 2016. Ada dua peluru senapan angin bersarang di tubuhnya. Mema, orangutan usia delapan bulan, juga kena peluru. “Banyak kasus seperti ini,” ucap Agung.

Belakangan, beberapa NGO menggalang petisi online lewat kanal change.org, ditujukan kepada Kapolri agar lebih serius mengawasi peredaran senapan angin. Senapan angin banyak untuk perburuan satwa liar, salah satu orangutan.

“Kami berharap aparat  kepolisian bisa menegakkan edaran Nomor 8 tahun 2012 bahwa senapan angin hanya untuk kegiatan olahraga dan pertandingan. Tidak untuk perburuan satwa,” katanya.

Peneliti orangutan dari Borneo Nature Foundation (BNF) Jennifer Brousseau menyambut baik penggalangan petisi online ini. Menurut dia, penggunaan senapan angin untuk berburu orangutan tak bagus.

“Kalau masyarakat lebih tahu banyak informasi mengenai orangutan, saya harap mereka tak akan berkelahi dengannya. Tak coba pakai senapan, karena pada dasarnya orangutan takut dengan manusia,” katanya.

Aksi gabungan organisasi masyarakat sipil di Palangkaraya, Kalteng, protes penggunaan senapan angin untuk berburu satwa liar, seperti orangutan. Foto: Indra Nugraha
Aksi gabungan organisasi masyarakat sipil di Palangkaraya, Kalteng, protes penggunaan senapan angin untuk berburu satwa liar, seperti orangutan. Foto: Indra Nugraha

Protes senapan angin

Pada Rabu (14/9/16), tampak pemuda-pemudi aksi di Jalan Yos Sudarso, tepat depan Gedung TVRI Palangkaraya. Puluhan remaja ini ada yang mengenakan topeng lukisan orangutan terbuat dari kertas karton. Ada yang membentangkan spanduk bertuliskan, “Senapan Angin Teror Bagi Satwa Liar.”

Mereka protes karena peredaran senapan angin tak terkontrol mengancam populasi orangutan dan satwa liar lain. Banyak kasus ditemukan orangutan luka parah tertembak senapan angin.

Para pemuda-pemudi ini merupakan perwakilan dari 13 lembaga, antara lain Centre for Orangutan Protection (COP), Jakarta Animal Aid Network (JAAN), Animals Indonesia, International Animal Rescue (IAR), dan Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF).

Juga Orangutan Information Centre (OIC), Orangutan Land Trust (OLT), With Compasion and Soul (WCS), Orangutan Outreach, Paguyuban Pengamat Burung Jogjakarta (PPBJ), Orangutan Veterianery Aid (OVAID), Koalisi Pemuda Hijau (KOPHI) Kalteng dan Rumah Baca Bahijau (RBB).

Selain di Palangkaraya, aksi juga serentak di sembilan kota lain, seperti Aceh, Palembang, Pekanbaru, Bandung, Yogyakarta, Solo, Malang, Surabaya dan Samarinda.

“Upaya konservasi orangutan dan satwa liar lain akan terhambat jika perburuan dan pembunuhan menggunakan senapan angin kepada masih terus terjadi,” kata Satria Dwi Angga Sihantoro, koordinator Kampanye COP Palangkaraya kepada Mongabay, Rabu (14/9/16).

Mereka menuntut Kapolri, mengawasi peredaran senapan angin yang sangat meresahkan upaya konservasi. “Polri harus razia. Saya yakin dengan razia, pengawasan akan lebih ketat dan menurunkan statistik senapan angin di Indonesia,” katanya.

Dia juga menuntut, penegakan hukum bagi yang menggunakan senapan angin untuk berburu satwa liar.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,