Akhir Misi 1.500 Kilometer Gowes Samsudin untuk Satwa Sumatera

Pada 26 Agustus 2016, tepat hari ke-127, Samsudin, warga Indramayu (Jawa Barat) mengakhiri kampanyenya keliling Sumatera di Sabang, Pulau Weh, Aceh. Di provinsi ujung barat Pulau Sumatera ini, Samsudin mendongeng dihadapan lebih dari  500 anak. Samsudin bahkan sempat menjadi tamu di Museum Aceh untuk berkisah kejayaan pasukan gajah semasa Sultan Iskandar Muda, dihadapan 200 siswa taman kanak-kanak.

Ini adalah misinya sebagai pendidik untuk memperkenalkan satwa seperti badak, gajah, harimau, dan orangutan kepada anak-anak Sumatera. Samsudin melakukan perjalanan panjangnya menyinggahi berbagai kota mulai dari Lampung hingga Aceh dengan mendayung sepeda ontel tua yang dibawanya dari Indramayu. Sisa perjalanan lainnya, dia naik transportasi umum ketika kesehatannya tidak mendukung.

Sepeda tua itu yang menemani Samsudin sepanjang hari. Dia dikenali dengan kain tua berkibar yang diikatkan pada bagian depan sepeda. Di kain yang warnanya mulai dekil itu dituliskan “Mendongeng Keliling Anak, Gratis, Rumah Baca Bumi Pertiwi”. Perlengkapan mendongengnya diletakkan dalam kotak yang diikat di tempat duduk belakang sepeda. Dalam kotak tersebut ada para tokoh dongeng rekaannya.

Tokoh-tokoh cerita dibuat dari kertas karton yang diwarnai lengkap dengan tangkai penggerak tangan dan kaki, menyerupai wayang. Ada si Baja (badak jawa), Batra (badak sumatera), Lepi (elephant/gajah), Hari (harimau), dan Pongo (orangutan). Ada juga tokoh manusia yang diwakili penjahat yang berburu satwa, nenek yang bijaksana, dan Sofia, seorang anak yang membantu menyelamatkan satwa-satwa dari pemburu. “Sofia itu nama anak saya,” kata Samsudin terkekeh menyebut nama putri tunggalnya yang masih sekolah dasar.

Memulai perjalanannya pada peringatan Hari Bumi 22 April 2016 dari depan gedung Manggala Wanabakti, sebutan kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta, Samsudin menempuh perjalanan tahap pertama, Jakarta – Jambi. Tahap Kedua dia lanjutkan usai lebaran Idul Fitri. Dia menyinggahi Banten, Lampung, Bengkulu, Jambi, Riau, Sumatera Utara, dan finish di Sabang.

Awalnya, misi mendongeng keliling Sumatera ini untuk mengkampanyekan penyelamatan badak jawa dan badak sumatera. Beberapa tahun lalu, sepulang dari Ujung Kulon, yang merupakan habitat badak jawa, mantan guru ini mulai mendongeng badak di kampungnya, Indramayu.

“Saya prihatin karena masih sedikit orang yang tahu tentang nasib badak. Ia satwa yang jarang dikenal dan tidak populer. Namun, satwa ini pula yang paling terancam di seluruh dunia. Indonesia punya dua spesies badak yang sama-sama hampir punah,” kata Samsudin.

Saat ke Way Kambas di Lampung, Samsudin bertemu drh. Marcellus Adi dan mendapat informasi banyak tentang kondisi badak jawa dan sumatera yang sudah menuju kepunahan. “Kita berbagi cerita tentang badak, dan dia langsung merasa badak yang paling perlu ditolong. Dia merasa perlu melakukan lebih dari sekadar mendongeng di kampungnya,” cerita Marcell mengenang pertemuannya pertama dengan Samsudin, 2015 lalu.

Marcell, praktisi penyelamat badak, adalah orang utama di balik misi perjalanan Samsudin keliling sumatera. Ia pernah bekerja di Yayasan Badak Indonesia dan aktif di lembaga Alert-Way Kambas di Lampung. Perjalanan Samsudin yang seorang diri ini tak lepas dari dukungan banyak lembaga lingkungan dan perongarangan yang peduli pada isu-isu satwa langka.

Samsudin berkeliling Sumatera dengan sepeda ontelnya untuk mengkampanyekan penyelamatan satwa. Foto: Chik Rini
Samsudin berkeliling Sumatera dengan sepeda ontelnya untuk mengkampanyekan penyelamatan satwa. Foto: Chik Rini

“Saya kelihatan saja sendiri. Tapi dibalik ini saya didukung oleh tim yang kuat yang membantu saya berhubungan dengan anak-anak di Sumatera,” kata Samsudin yang mengelola rumah baca Bumi Pertiwi di Indramayu.

Marcell pun membantu mengatur perjalanan Samsudin dengan menghubungi rekan-rekan pegiat lingkungan di Sumatera. Mereka  membantu menyiapkan acara mendongeng Samsudin. Di Lampung ada Alert, di Jambi ada ZSL, di Riau dan Aceh ada WWF Indonesia, di Duri ada Hipam, dan di Sumatera Utara adan SOCP.

Dalam perjalanannya, Samsudin mendapat banyak cerita tentang nasib satwa lainnya. “Di Jambi, ZSL meminta saya memasukkan cerita soal harimau. Waktu di Riau, WWF meminta menambah tokoh gajah. Sementara di SOCP, mengusulkan ada tokoh orangutan. Jadinya, empat satwa itu muncul dalam dongeng saya ke anak-anak.”

Minimnya pemahaman anak-anak terhadap satwa Indonesia menjadi catatan penting yang didapat Samsudin selama mendongeng keliling Sumatera. “Jika boleh memberi saran ke Dinas Pendidikan, perlu ada mata pelajaran tentang hutan dan satwa untuk anak-anak kita di sekolah. Ada anak di Lampung ada yang tidak tahu badak. Di Sabang, ada anak yang sebut orangutan dengan nama monyet. Kalau gajah, mereka sudah kenal baik meski tidak bisa membedakan bila kita memiliki gajah sumatera yang kita banggakan.”

Ratu, badak sumatera yang berada di Suaka Rhino Sumatera (SRS), Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Foto: SRS

Selama keliling Sumatera, Samsudin telah mendongeng dihadapan lebih dari 5.000 anak. Samsudin mendatangi kelompok bermain di kampung, sekolah-sekolah, panti asuhan, dan rumah belajar.

“Saya mendukung sekuatnya Pak Samsudin bersepeda keliling untuk mendongeng badak, karena cerita badak belum merakyat. Bahkan, anak-anak di dekat taman nasional yang ada badaknya belum tahu tentang badak hidup di hutan dekat rumah dan sekolah mereka,” jelas Marcell.

Samsudin pun ingin melanjutkan misi mendongeng badak dan satwa langka lainnya ke Kalimantan, yang di sana juga terdapat spesies badak. Kalimantan pasti menjadi tantangan yang akan berbeda dengan Sumatera. Meski dia hutan di sana mulai rusak. “Saya sedih melihat hutan dikonversi jadi sawit. Bagaimana rasanya jadi satwa, yang rumahnya dihancurkan seperti itu,” ucapnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,