Berkaca dari Konsistensi ‘Efek Rumah Kaca’ Menyuarakan Kepedulian Lingkungan

“Darat laut udara milik siapa. Hajat hidup dan harkatnya untuk siapa. Mengais tanah, membentur langit kami bertanya. Mengering darah memutus cinta banyak saudara.

Kami bertanya. Di manakah tanah serta mata airnya? Di manakah rumah serta bahagianya?

Personil band Efek Rumah Kaca, Adrian Yunan Faisal menyanyikannya lagu itu, sesekali dengan mata terpejam meresapi makna liriknya. Lagu bertajuk Merdeka yang dirilis pada peringatan Proklamasi RI, 17 Agustus lalu, dinyanyikannya di Garuda Wisnu Kencana, Jimbaran, Bali, awal September lalu. Adrian sebelumnya adalah basis dan kini kerap menyanyi setelah mengalami gangguan penglihatan.

Dalam video klipnya yang digarap Anton Ismael ini dibintangi anak muda Papua, Ronald Gurik, secara eksplisit jelas digambarkan kehampaan seorang anak muda di tengah tanda-tanda derasnya pembangunan fisik di tanah Papua.

Ada rayuan uang, pagar berduri, dan tembok tinggi pembatas. Anak muda ini terpekur sendiri di tengah jalan raya, melihat apa yang disimbolkan kemajuan dengan gedung-gedung tinggi dan hotel.

Lalu adegan ditutup dengan berlari ke perbukitan hijau indah berlatar laut lepas merayakan “kemerdekaannya”. Sebuah asa di tengah konflik sumber daya alam dan sosial politiknya.

“Bagaimana eksploitasi sumber alam tidak berkontribusi atau menguntungkan bagi wilayah yang dieksplor dan tidak mempertimbangkan keberlangsungan ekologi daerah tersebut,” kata personil Efek Rumah Kaca (ERK) menjawab melalui email. Kini, Poppie Airil (gitar) resmi bergabung bersama Cholil Mahmud (vokal, gitar), Adrian Yunan Faisal (vokal latar, bass), Akbar Bagus Sudibyo (drum, vokal latar).

Meski dilarang oleh panitia, band Efek Rumah Kaca, tetapmenyanyikan lagu “Merdeka” yang memperjuangkan tentang lingkungan pada acara Soundrenaline Garuda Wisnu Kencana, Jimbaran, Bali, awal September lalu. Foto : Luh De Suriyani
Meski dilarang oleh panitia, band Efek Rumah Kaca, tetapmenyanyikan lagu “Merdeka” yang memperjuangkan tentang lingkungan pada acara Soundrenaline Garuda Wisnu Kencana, Jimbaran, Bali, awal September lalu. Foto : Luh De Suriyani

Lirik ‘Merdeka’ diciptakan Adrian setelah bertukar pikiran antara mereka. Apakah kami sudah ‘merdeka’? Ada sejumlah pertanyaan introspeksi. “Bagaimana dengan yang pelanggaran HAM yang masih terjadi sampai saat ini di Indonesia, bukankah kita tidak memerdekakan banyak orang? Hingga perlakuan pemerintah terhadap Papua, yang terjadi belakangan ini. Dari situ, Adrian menuliskan lirik ‘merdeka’ sesuai dengan karakter penulisan lirik dia,” jelas ERK.

Alarm eksploitasi sumber daya alam tak hanya dari Papua. Makin banyak gerakan masyarakat sipil beberapa tahun ini menyuarakan ketidakadilan merespon upaya pemerintah mengelola isi bumi. Terutama pertanyaan tentang keberpihakan dan manfaat pengelolaan kekayaan alam ini.

Misalnya perlawanan pembangunan pabrik semen di pegunungan karst Kendeng, Jawa Tengah oleh petani setempat. Baru-baru ini makin marak kampanye anti penambangan emas di bukit Tumpang Pitu, Banyuwangi, Jawa Timur. Lalu yang masih bergolak tentang rencana reklamasi di pesisir Jakarta dan Teluk Benoa, Bali.

ERK menunjukkan keberpihakannya pada isu ini dengan menyanyikan “Merdeka” dan lagu “Di Udara” yang didedikasikan untuk Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI) saat manggung di Soundrenaline.

Pelaksana acara itu dengan terang membuat banyak imbauan berupa banner bertuliskan melarang provokasi penonton dengan memakai sesuatu atau menyuarakan isu berunsur politik lokal, nasional, dan internasional. Spanduk ini diletakkan menonjol di ruang tunggu artis, tenda-tenda, dan lainnya.

“Boleh kan membawa lagu yang mendukung lingkungan? Supaya di Bali lebih oke, lebih sesuai, lebih mantep, lebih sesuai dengan aspirasi masyarakat. Demi gerakan sosial di Bali, lagu ini untuk ForBALI, Di Udara, supaya terus hidup, gak mati-mati, membesar,” seru Cholil saat itu merespon larangan membawakan lagu bernuansa politik. Disambut seruan dan tepuk tangan penonton.

Jadilah lagu penghormatan untuk Munir yang diracun di udara ini mengalun. Liriknya memang pas dengan situasi dan sejumlah peristiwa pelaporan polisi dan penangkapan sejumlah pegiat ForBALI saat ini.

“Aku sering diancam. Juga teror mencekam. Kerap ku disingkirkan. Sampai dimana kapan.

Ku bisa tenggelam di lautan. Aku bisa diracun di udara. Aku bisa terbunuh di trotoar jalan.
Tapi aku tak pernah mati. Tak akan berhenti….”

Mereka bersiasat dengan mengubah setlist lagu-lagu yang akan dinyanyikan. lagu “Di Udara” awalnya akan dibawakan sebagai lagu ketiga. Namun karena adanya larangan membicarakan politik maka diubah menjadi lagu ke enam. “Apabila diberhentikan, kami sudah cukup puas bermain dan penonton juga sudah mendapatkan waktu yang cukup lama untuk mendengarkan musik kami,” papar ERK menjawab via surat elektronik.

Band Efek Rumah Kaca. Foto : google
Band Efek Rumah Kaca. Foto : google

Setelah peristiwa di hari terakhir Soundrenaline ini, pelaksana acara dalam siaran persnya tak menyinggung hal ini. Mereka memberi perhatian pada keterlibatan ERK selama 14 tahun penyelenggaraan Soundrenaline sejak tahun 2002.

Dalam rilis disebutkan Efek Rumah Kaca (ERK) sukses melancarkan debutnya di panggung Soundrenaline 2016. “Istimewanya, Cholil Mahmud yang untuk sementara berdomisili di Amerika Serikat, kembali ke Indonesia khusus untuk gelaran Soundrenaline 2016. Hal ini menjadi kejutan manis bagi para penggemar setia ERK,” demikian kutipannya.

Perjalanan ERK

Sebelum bernama Efek Rumah Kaca, band ini beberapa kali ganti nama dan personil. Profil ERK alam websitenya menyebut “Hush” (personilnya masih lima) dan “Superego”, sebelum jadi “Efek Rumah Kaca” di 2005. Nama yang merupakan nukilan salah satu judul lagu yang mereka tulis di tahun 2003.

Lirik menjadi elemen penting band ini, terutama pesan-pesannya yang merefleksikan situasi zaman. Misalnya album terakhir Sinestesia (2015) tentang menolak tunduk pada pasar atau industri melalui Pasar Bisa Diciptakan.

“Kami mau yang lebih indah bukan hanya remah-remah sepah. Sudahlah. Kami hanya akan mencipta segala apa yang kami cinta. Bahagia….”

Sejumlah musisi yang disebut memberi pengaruh adalah Jeff Buckley, Jon Anderson, Smashing Pumpkins, Radiohead, hingga Bjork.

Lagu “Melankolia” dan “Di Udara” menjadi pembuka masuk kompilasi Paviliun Do Re Mi (Paviliun Records) dan Todays Of Yesterday (Bad Sector Records). Kemudian pada 2007, album debut selftitled Efek Rumah Kaca dilepas melalui Paviliun Records.

ERK meraih antara lain “The Best Cutting Edge” – MTV Indonesia Music Award 2008, “Editor’s Choice 2008” versi Rolling Stone Indonesia, “Class Music Heroes 2008” dan Nominator Anugrah Musik Indonesia Award 2008.

Pada 2008 mereka merilis album kedua “Kamar Gelap” bersama Aksara Records. Efek Rumah Kaca diminta mengisi rubrik khusus seputar pemilu di harian Kompas selama satu bulan, dimuat tiap hari Sabtu pada Januari 2009.

Vokalisnya, Cholil saat ini menemani istrinya Irma Handayani yang sedang menempuh studi Phd terkait isu kesehatan di Amerika Serikat. Agar tak menghambat personil lainnya dalam bermusik selama ia merantau di luar negeri, dihidupkan band Pandai Besi minus Cholil yang menyanyikan lagu-lagu ERK dengan aransemen baru.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,