Liputan Natuna : Ironi Pulau Sedanau, dari Kemakmuran ke Keterpurukan (Bagian 2)

Kementerian Kelautan dan Perikanan sedang membangun sentra bisnis kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) di 15 lokasi di seluruh Indonesia, salah satunya Kepulauan Natuna, Propinsi Kepulauan Riau.

Tulisan kedua ini merupakan tulisan berseri dari Mongabay yang datang meliput ke Kabupaten Natuna di Provinsi Kepulauan Riau, pada pekan lalu. Liputan untuk melihat kondisi perikanan disana dan dampak pembangunan sentra bisnis kelautan dan perikanan terpadu (SKPT).

***

Jari jemari Keton telaten mengambil ikan-ikan kecil dari sebuah ember di atas keramba di Pulau Sedanau, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, pekan lalu. Ikan-ikan tersebut diambil dengan sebuah wadah kecil dan kemudian ditebar ke kolam-kolam jaring yang ada di keramba miliknya tersebut.

Prosesi tersebut menjadi kegiatan yang wajib dilakukannya akhir-akhir ini. Hal itu, karena di dalam kolam jaring miliknya, terdapat sedikitnya 1.000 ekor ikan napoleon (Cheilinus undulatus) yang sedang bertumbuh. Pria 44 tahun tersebut melakukannya dengan telaten setiap hari.

Kegiatan tersebut selalu dilakukannya dari pagi hingga senja datang di sore hari. Tak terlihat ada rasa lelah di wajahnya ataupun bosan yang menghinggapi dirinya, meski kegiatan tersebut menjadi rutinitas yang harus dilaluinya sepanjang hari hingga waktu tak terbatas.

Keton juga menyadari, aktivitasnya tersebut, meski menyita waktu, tenaga, pikiran, dan uang, namun tidak akan menghasilkan uang untuk jangka waktu tak terbatas. Dia paham, kesibukannya tersebut tak lebih hanya sebatas kepedulian sebagai pemilik ikan terhadap peliharannya di keramba tersebut. Tak lebih dari itu.

“Saya hanya bertugas sebagai makhluk hidup saja. Ikan-ikan napoleon adalah makhluk hidup juga. Apa jadinya jika saya tidak memberi makan mereka?” ucap Keton saat membuka percakapan dengan Mongabay di atas kerambanya di Pulau Sedanau, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, pekan lalu.

Sambil menatap lurus ke laut lepas yang ada di hadapannya, Keton bercerita tentang ikan peliharaan yang ada di keramba miliknya itu. Di atas kolam-kolam jaring di kerambanya, terdapat dua jenis ikan yang menjadi favorit petani ikan di Sedanau. Ikan tersebut adalah kerapu (Epinephelus sp) dan napoleon.

Keton, pembudidaya ikan napoleon (Cheilinus undulatus) di Pulau Sedanau, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau pada awal September 2016, memberikan pakan ke ikan-ikan peliharaanya. Keton mengeluhkan turunnya penjualan ikan setelah KKP membatasi ekspor ikan napoleon. Foto : M Ambari
Keton, pembudidaya ikan napoleon (Cheilinus undulatus) di Pulau Sedanau, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau pada awal September 2016, memberikan pakan ke ikan-ikan peliharaanya. Keton mengeluhkan turunnya penjualan ikan setelah KKP membatasi ekspor ikan napoleon. Foto : M Ambari

Disebut favorit, karena kerapu dan napeleon bernilai jual tinggi dan memiliki pasar yang jelas di luar negeri, yakni Hong Kong dan Taiwan. Untuk kerapu, hingga saat ini harga jualnya masih di kisaran Rp150 ribu per kilogram dan untuk napoleon, harganya sangat fantastis karena rerata dipatok Rp1,2 –Rp1,4 juta per kg.

Karena bernilai jual tinggi, semua petani ikan maupun nelayan di Pulau Sedanau memilih untuk fokus pada dua jenis ikan tersebut. Tak terkecuali Keton, petani ikan yang sengaja merantau dari Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.

“Saya baru mulai memelihara kerapu dan napoleon itu sejak setahun terakhir. Saya tertarik karena banyak di sini yang mendapatkan untung besar. Saya pun akhirnya memulainya,” ungkap pria yang sudah memiliki dua putera dari isterinya yang asli dari Sedanau itu.

Bermodal nekad, Keton akhirnya mulai mencari info untuk bisa mempunyai keramba sendiri. Dia berhasil memilikinya setelah mendapatkan izin hak guna pakai dari Pemerintah Kabupaten Natuna. Namun, setelah itu dia dipaksa bekerja keras untuk bisa membeli ikan kerapu dan napoleon yang masih kecil.

Akhirnya, plihan satu-satunya adalah dengan mengajukan pinjaman ke bank. Dan, bank sendiri pada saat tersebut sedang memberi kemudahan kepada petani ikan di Sedanau untuk mengajukan pinjaman tanpa agunan. Jadilah, Keton mendapatkan pinjaman dengan nilai ratusan juta rupiah.

“Pinjaman tersebut harus diambil karena saya harus membeli benih sebanyak 1.000 ekor. Selain itu, harus juga disediakan biaya untuk pakan selama pembesaran ikan,” jelasnya.

Lebih detil, Keton merinci, untuk tiap keramba dibutuhkan modal sedikitnya Rp300 juta. Biaya tersebut termasuk untuk membeli bibit, pakan, pembelian lahan, dan pendirian keramba. Namun, biaya akan semakin membengkak jika ikan yang akan dibesarkan jumlahnya banyak. Seperti dirinya yang membesarkan 1.000 ekor ikan napoleon.

“Biayanya memang tidak terlalu besar untuk operasional. Namun, kalau jumlah ikannya ribuan, ya sama saja itu besar. Lagipula, kalau jumlahnya sedikit, keuntungannya sedikit. Padahal pembesarannya minimal tiga tahun,” ungkap dia.

Karena memerlukan modal yang besar, Keton maupun petani ikan lainnya di Sedanau, sama-sama berharap bisa mendapatkan keuntungan yang banyak saat panen datang. Dalam hitungan Keton, jika ikan-ikannya mulai dibesarkan pada tahun lalu, maka pada 2019 sudah bisa dipanen. Itu artinya, pundi-pundi rupiah akan mengisi kantongnya dengan jumlah yang fantastis hingga miliaran rupiah.

“Saya sudah membayangkan bisa mendapat hasilnya nanti. Jadi, tidak masalah jika selama empat tahun harus membayar cicilan bank,” sebut dia.

Suasana Kepulauan Sedanau, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau pada awal September 2016. KKP sedang membangun sentra bisnis kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) di Natuna untuk mendorong perekonomian dari sektor perikanan laut. Foto : M Ambari
Suasana Kepulauan Sedanau, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau pada awal September 2016. KKP sedang membangun sentra bisnis kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) di Natuna untuk mendorong perekonomian dari sektor perikanan laut. Foto : M Ambari

Bayangan itu tetap terpelihara dengan baik sampai pada awal 2016 atau tahun ini, dia mendapatkan kabar bahwa ikan napoleon menjadi ikan yang dibatasi untuk diekspor. Bahkan, karena terbatasnya, ikan tersebut terancam dilarang untuk dikirim ke luar negeri seperti Hong Kong.

Awal Keterpurukan

Setelah resmi dibatasi, para petani ikan napoleon di Sedanau mulai kelimpungan. Keton bersama teman-temannya sesama petani ikan mulai gelisah karena khawatir ikan-ikan yang dibesarkan tidak akan menghasilkan rupiah sepeser pun. Kegelisahan itu semakin memuncak, saat tagihan dari bank datang dari bulan ke bulan.

“Hampir semua petani di sini meminjam uang ke bank. Saya juga sama. Saya bingung, istri bingung, kami semua bingung. Harus bayar dengan apa cicilan ke bank,” ungkap dia.

Keton menyebut dirinya sedikit beruntung dibandingkan petani lain. Karena, petani lain ada yang sudah hampir panen, tapi akhirnya batal karena larangan tersebut. Akhirnya, banyak yang frustasi dan banting setir menjadi petani ikan jenis lain.

Namun, cara tersebut rupanya tidak dipilih Keton. Dia tetap memelihara napoleon hingga sekarang, karena pertimbangan modal saja. Dia bingung jika harus banting setir, sementara cicilan bank saja baru mulai dilakukan.

“Saya sekarang tetap membesarkan, karena kasihan juga. Saya masih berharap larangan ekspor akan dicabut. Tapi tidak tahu, kapan itu akan terjadi,” harapnya dengan tatapan kosong.

Keton menyebut, sebelum ada pembatasan, ikan napoleon akan dibeli oleh pengusaha Hong Kong yang sengaja datang ke Sedanau. Dalam sebulan, minimal ada satu kapal yang datang untuk membeli. Tidak jarang, jika sedang masa panen, kapal silih berganti berlabuh di pulau kecil tersebut.

“Tapi itu dulu, sekarang, dalam sebulan ada kapal Hong Kong saja sudah bersyukur. Itu juga mereka mau beli kerapu saja,” tambah dia.

Setelah berkurangnya kunjungan kapal Hong Kong dan tidak terserapnya ikan-ikan napoleon yang siap panen, Keton mengaku kondisi perekonomian masyarakat di Sedanau mulai mengalami penurunan. Dia sendiri merasakannya karena daya beli keluarganya langsung turun drastis.

Setelah mendengar keluhan tersebut, Mongabay berkeliling pulau untuk melihat lebih jauh. Sekilas, memang tak terlihat ada perubahan berarti. Rumah-rumah berdiri dengan megah, aktivitas perdagangan ramai, dan warga masih semangat beraktivitas.

Namun, saat Mongabay masuk ke penginapan, barulah terkuak kebenaran itu. Menurut Deni, penjaga penginapan, sudah setahun terakhir, tamu yang bermalam mengalami penurunan drastis. Itu terjadi, sejak ikan napoleon dilarang untuk diekspor.

SPKT Selat Lampa Tak Bermanfaat?

Saat pembudidaya ikan napoleon di Pulau Sedanau mengalami keterpurukan, Pemerintah Indonesia sengaja membangun sentra perikanan dan kelautan terpadu (SPKT) Natuna di Selat Lampa yang berada di Pulau Natuna besar. Proyek tersebut dibangun untuk memberdayakan potensi ekonomi yang ada dalam sektor perikanan dan kelautan di Natuna.

Lokasi pembangunan Pelabuhan di Selat Lampa, Natuna, Kepulauan Riau pada awal September 2016. Pembangunan pelabuhan itu sebagai bagian dari pembangunan sentra perikanan dan kelautan terpadu (SKPT) dari program KKP. Foto : M Ambari
Lokasi pembangunan Pelabuhan di Selat Lampa, Natuna, Kepulauan Riau pada awal September 2016. Pembangunan pelabuhan itu sebagai bagian dari pembangunan sentra perikanan dan kelautan terpadu (SKPT) dari program KKP. Foto : M Ambari

Namun, bagi penduduk Sedanau, keberadaan SPKT Selat Lampa tersebut tidak terlalu berpengaruh. Bagi Keton, proyek di Selat Lampa tidak memiliki ikatan yang jelas dengan petani ikan di Sedanau. Kecuali, jika napoleon dibolehkan untuk dijual dan Kerapu dibeli oleh pengusaha lokal.

“Jika tetap tidak bisa, ya buat apa. Selama ini Kerapu yang beli itu dari luar negeri, terutama Hong Kong. Napoleon juga sama. Jadi, bagi kami tidak berpengaruh dengan adanya proyek di Selat Lampa. Kecuali kami memang membudidayakan ikan lain,” jelas dia.

Pernyataan hampir sama diungkapkan Rizal, salah satu pengusaha perikanan yang ada di Sedanau. Dia menyebut, proyek di Selat Lampa belum memiliki tujuan yang jelas untuk masyarakat lokal. Karena, nelayan di Natuna memiliki spesifikasi berbeda antara satu dengan yang lain. Dengan kata lain, antara nelayan di pulau satu dengan pulau yang sebelahnya belum tentu sama.

“Seperti saya yang fokus pada rajungan, walaupun saya ada di Sedanau. Tapi, rajungan hasil olahan dari saya dikirimnya ke Batam dan baru ke Singapura,” ungkap dia.

Karena merasa sudah mandiri, Rizal yang masih berusia 35 tahun itu, mengaku tak terlalu ambil pusing jika SPKT sudah selesai. Bagi dia, jika memang SPKT dibangun untuk orang Natuna, maka itu akan memberi manfaat. Namun, jika tidak, maka akan memberi kesusahan.

“Jika memang hasil perikanan dari saya bisa diserap dengan harga yang bagus, berarti (SPKT) Selat Lampa memang untuk kami. Jika tidak, ya saya akan tetap kirim ke Batam saja, karena Selat Lampa  bukan untuk kami,” tegasnya.

Rizal, salah satu pengusaha perikanandi Pulau Sedanau, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau pada awal September 2016, memperlihatkan ikan kerapu hasil budidaya. Rizal mengharapkan pembangunan sentra bisnis kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) di Natuna dapat dirasakan manfaatnya bagi nelayan dan pembudidaya di Kepulauan Sedanau. Foto : M Ambari
Rizal, salah satu pengusaha perikanandi Pulau Sedanau, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau pada awal September 2016, memperlihatkan ikan kerapu hasil budidaya. Rizal mengharapkan pembangunan sentra bisnis kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) di Natuna dapat dirasakan manfaatnya bagi nelayan dan pembudidaya di Kepulauan Sedanau. Foto : M Ambari

Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kepulauan Riau Raja Ariza mengungkapkan, kondisi yang terjadi di Pulau Sedanau saat ini memang sedang mengalami kelesuan setelah ikan Napoleon dibatasi untuk diekspor. Namun, itu tidak berarti bahwa pulau tersebut mengalami kebuntuan dalam mengolah hasil perikanan dan kelautan.

“Saya berharap para petani di sana tidak terpaku pada napoleon lagi sebagai andalan. Sekarang harus mulai beralih atau divariasikan dengan jenis lain. Ada (ikan) bawal bintang yang juga bernilai ekonomi tinggi sebagai contoh,” sebutnya.

Tokoh perikanan Natuna Rodhial Huda mengaku, keberadaan proyek SPKT Selat Lampa sebenarnya akan bermanfaat banyak untuk warga Natuna. Namun, proyek tersebut harus beroperasi di koridor yang benar dan ada sebuah jaminan bahwa itu akan menyejahterakan warga Natuna.

“Jangan sampai, Selat Lampa hanya bermanfaat untuk pendatang saja dan tidak untuk warga sini. Coba tengok sekarang bagaimana kesulitan warga di Sedanau akibat napoleon dilarang ekspor. Semoga ada SPKT bisa terpecahkan persoalan tersebut,” harap dia.

***

Jika melihat kondisi terkini di Sedanau dan di Selat Lampa, sudah seharusnya ada sinergitas yang terjalin kuat. Kedua kawasan tersebut harus menyatukan diri untuk melebur menjadi satu kesatuan yang utuh yang berakhir pada terwujudnya Natuna sebagai daerah sejahtera penghasil sekaligus produsen perikanan dan kelautan.

Namun, apakah itu mungkin terjadi? Sisi negatif dan positif masih saling bersitegang. Hanya waktu yang akan menjawabnya. Semoga saja Natuna bisa bersinar seperti keindahan alamnya yang sangat elok untuk dinikmati.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,