PLTU Batubara Sumber Polusi, Kebijakan Pemerintah Terhadap Energi Perlu Direvisi

 

Program pemerintah membangun pembangkit listrik untuk memenuhi kebutuhan 35.000 megawatt dipersoalkan oleh organisasi lingkungan hidup, yang menilai pembangunan tersebut belum memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hidup.

Media Officer Greenpeace Indonesia, Rahma Sofia mengatakan, pengadaan listrik 35.000 megawatt masih banyak menggunakan energi penggerak berbahan bakar fosil, yakni batubara. Padahal menurut Greenpeace Indonesia, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara, merupakan penyumbang terbesar polusi udara di Indonesia.

“PLTU batubara itu mengeluarkan sejumlah polutan berbahaya, salah satunya PM2,5. Ukurannya sangat kecil, tapi bisa masuk ke aliran darah kita. Jadi, bukan hanya asap kendaraan bermotor, polusi yang paling besar ternyata dari PLTU batubara.”

Proyek pengadaan listrik yang berjalan lima tahun (2014-2019) ini, dianggap kurang memperhatikan faktor lingkungan dan kesehatan masyarakat, akibat dari polusi yang dihasilkan. Hasil penelitian pemodelan atmosfer yang menghitung emisi PLTU batubara oleh Harvard University dan Greenpeace Indonesia menunjukkan, polusinya diduga menyebabkan kematian dini 6.500 jiwa per tahun.

“Polutannya bisa masuk ke aliran darah kita, masuk ke sistem jantung yang menyebabakan berbagai penyakit pernapasan. Bukan cuma ISPA, atau flu batuk biasa, tapi kanker paru-paru, paru-paru kronis, penyakit jantung, jantung iskemik, juga asma.”

Dampak yang ditimbulkan batubara, saat ini dan perkiraan mendatang saat proyek batubara 35.000 MW terealisasi. Sumber: Greenpeace
Dampak yang ditimbulkan batubara, saat ini dan perkiraan mendatang saat proyek batubara 35.000 MW terealisasi. Sumber: Greenpeace

Tidak hanya PM2,5, ada juga polutan eperti SO2, NOx dan zat berbahaya lain. Polutan itu juga dapat mencapai radius 500 kilometer dari sumber polusi. Greenpeace Indonesia mendesak pemerintah melakukan evaluasi terkait kebijakan energi, yang masih belum mengutamakan pemakaian energi terbarukan untuk pembangkit tenaga listrik.

Di Amerika Serikat, sekitar 200 PLTU batubara akan ditutup terhitung 2015. Bahkan, 24 perusahaan telah berhenti beroperasi dalam tiga tahun terakhir. Selain itu, Tiongkok dan India mulai melakukan revisi kebijakan pengembangan energi.

“India dan Tiongkok telah menyadari, PLTU bukan merupakan arah pembangunan yang tepat, terkait kualitas udara yang sangat buruk. India menargetkan membangun PLTS (tenaga surya) dengan kapasitas 15.000 megawatt,” ujar Rahma.

Polusi PM2,5 yang berasal dari PLTU batubara. Sumber: Greenpeace
Polusi PM2,5 yang berasal dari PLTU batubara. Sumber: Greenpeace

Indonesia diharapkan beralih dari penggunaan energi fosil ke energi terbarukan, yang tentunya  diikuti kebijakan tegas pemerintah guna mendukung pengembangan teknologi tersebut. Seperti energi matahari, angin, mikrohidro, maupun energi ombak.

“Data Kementerian ESDM menyebutkan, sekitar 18 persen wilayah Indonesia belum dapat mengakses listrik, kebanyakan di pulau-pulau terluar. Saat ini, energi listrik masih berpusat dibangun di Jawa,” tuturnya.

PLTU Paiton di Situbondo, Jawa Timur, yang menggunakan batubara. Foto: Petrus Riski
PLTU Paiton di Situbondo, Jawa Timur, yang menggunakan batubara. Foto: Petrus Riski

Tidak tepat sasaran

Tanggapan pengadaan energi listrik 35.000 megawatt yang bergantung pada batubara, juga diungkapkan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi ) Jawa Timur, Rere Christanto.

Rere menilai, rencana itu untuk melindungi industri ekstraktif agar tetap hidup di tengah kelesuan yang padahal merusak lingkungan. “Satu-satunya cara adalah menggunakan batubara untuk kepentingan dalam negeri, seperti PLTU,” jelasnya Senin (19/09/2016).

Kebutuhan energi listrik 35.000 megawatt telah dikukuhkan pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019. Dari pembangunan itu, dibutuhkan dana lebih dari Rp1.127 triliun dan memerlukan keterlibatan swasta untuk memasok energi sebesar 10.681 megawatt. Walhi mendesak, indsutri-industri ikut memikirkan energinya sendiri, sehingga tidak membebani anggaran negara yang telah banyak memberikan subsidi untuk energi listrik.

“Industri harus dipaksa juga untuk memikirkan kepentingan energinya sendiri, tidak melulu harus mencari subsidi dari negara,” tandas Rere.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,