Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berencana menjadikan kawasan terbakar dua perusahaan, PT Siak Raya Timber (SRT) dan PT Hutani Sola Lestari (HSL) menjadi penyangga Taman Nasional Tesso Nilo. Kedua perusahaan ini mendapatkan sanksi administrasi pencabutan izin hingga lahan diambil negara.
”SRTdan HSL sedang kita tata bersama dengan aktivitis di Riau. Kita tangani dalam satu ekosistem Tesso Nillo,” kata Siti Nurbaya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, usai rapat bersama Komisi III Panja Kebakaran Hutan dan lahan, Kamis (22/9/16), di Jakarta.
Kedua perusahaan ini bagian yang dapat SP3 dari 15 perusahaan di Riau. Data KLHK, keduanya mendapatkan sanksi administrasi melalui pencabutan izin sejak 2015.
Begitu pula PT Dexter Rimba Perkasa turut mendapatkan pencabutan izin dan dapat SP3.
Pengambilalihan lahan terbakar, katanya, perintah Presiden Joko Widodo, tahun lalu. Dengan begitu, pemulihan lahan kedua perusahaan sawit ini langsung ditangani negara.
KLHK sedang menyusun sistem pengalihan status kawasan. Langkah awal, kementerian akan mengkaji keseluruhan ekosistem di Tesso Nilo, tak hanya di taman nasional.
”Kita akan lihat kondisi, kebutuhan masyarakat apa, tujuan dan diselesaikan bersama,” katanya.
Hal ini, katanya, salah satu langkah awal meminimalkan perambahan lahan di TNTS dan mulai perbaikan tata kelola terutama pabrik-pabrik sawit di Tesso Nilo. Siti tak menampik ada sejumlah persoalan perambahan di kawasan itu yang harus dibenahi.
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produk Lestari KLHK Ida Bagus Putera Prathama menyebutkan, luasan lahan jadi penyangga diperkirakan 100.000-an hektar, akan dikelola dengan pendekatan perhutanan sosial. Kedua lahan eks perusahaan ini, bersebelahan dengan TNTS dan sudah ada masyarakat.
Penegakan hukum
Komisi III DPR RI mendesak pemerintah mengevaluasi dan mengawasi setiap perizinan kehutanan. ”Mengambil langkah hukum dengan menjatuhkan sanksi tegas sesuai peraturan perundang-undangan berlaku,” kata Benny K Harman, Ketua Panja Karhutla.
Persoalan keberhasilan penanganan karhutla bukan hanya berbicara penanganan dan jumlah hotspot berkurang. Penegakan hukum, katanya, harus jadi garda terdepan dalam penyelesaian.
Masinton, anggota Panja mengatakan, jangan sampai negara kalah oleh korporasi. Melalui rapat Panja Karhutla, Komisi III menndesak KLHK diminta tak bekerja sendiri.
Penanganan korporasi, katanya, jangan hanya sanksi administrasi tetapi pidana dan kejelasan pengembalian lahan atas sanksi administrasi harus transparan.
”KLHK juga harus bekerja sama dengan kepolisian atau bahkan Kemenko Polhukam,” ucap Habib Aboe Bakar, anggota Panja. Pasalnya, dalam menuntas praktik mafia kebakaran hutan dan lahan ini khawatir ada sebuah “kompromi.”
Pertanggungjawaban mutlak
Dalam rapat yang berlangsung hampir 2,5 jam itu sempat diutarakan terkait prinsip strict liability atau pertanggungjawaban mutlak sangat baik digunakan dalam semua lini penegakan hukum KLHK. Dimana setiap perusahaan memiliki tanggung jawab menjaga konsesi sendiri.
Keberhasilan ini terbukti dengan terkabulnya gugatan KLHK atas PT NSP beberapa bulan lalu yang menggunakan prinsip ini.
”Kan ini sudah sesuai amanah UU Kehutanan, siapa saja yang mendapatkan izin (usaha pengelolaan hutan) wajib menjaga wilayah. Jadi tak perlu dicari tahu siapa pelaku pembakarannya,” kata Syafii.
Prinsip ini, katanya, tak hanya diterapkan pada hukum perdata, juga pada kepolisian melalui pidana. Tak hanya beleid itu, UU Nomor 32/ 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Gambut, sebagai landasan hukum pendukung.