Lama sudah Noneng Halimah (34) tinggal di rumah sederhana di kampung Sindang Heula, Kelurahan Sukamentri, Kecamatan Garut Kota, Kabupaten Garut. Rumah sederhana tempat dia berteduh kini telah tak lagi berdiri utuh. Tidak ada jendala, pintu atau atap yang melidungi Noneng beserta keluarga dari panas dinginnya dunia.
Oneng keliatan ramah. Matanya liar dan sedikit memerah. Wajahnya sedikit resah. kesedihannya coba dia sembunyikan dihadapan keponakanya bernama Jaka (15) dan Salwa (7) yang baru saja kehilangan kedua orang tuanya.
Salah satu dari kedua orang tua mereka merupakan adik kandung dari Noneng. Mereka menjadi korban meningal dunia akibat sapuan banjir bandang Sungai Cimanuk. Ibu kandung keduanya telah ditemukan dalam keadaan tak bernyawa lagi. Sedangkan ayahnya masih dalam proses pencarian.
Berdasarkan data yang diterima dari Badan Search And Rescue Nasional (Basarnas) ditemukan kembali 3 korban di Jatigede, Sumedang. Data terbaru sampai Jumat (23/09/2016) menunjukkan sudah 30 orang ditemukan tewas dan 22 masih dinyatakan hilang,
Baju Noneng kusam, seperti ratusan pengungsi lainnya yang hanya memakai pakaian serupa. Tak sedikit dari mereka kehilangan harta benda yang hanyut tersapu derasnya arus Sungai Cinmanuk. Hanya sisa – sisa lumpur dan sampah memenuhi kawasan yang dulunya merupakan pemukian padat penduduk.
Sebelum kejadian, kata dia, hujan turun menjelang petang dengan intensitas tidak begitu deras. Saat itu dirinya baru saja menutup warungnya yang sudah menjadi mata pencaharian keluarga. Makin malam hujan makin deras, namun tidak membuat khawatir Noneng. Sebab di wilayahnya banjir lumrah terjadi, tetapi hanya sampai pekarangan rumah saja.
“Kejadian begitu cepat, debit air terus meninggi. Kedua ponakan saya sudah diamankan duluan ketempat yang lebih tinggi menggunakan ban,” ujar Oneng kepada Mongabay di posko pengungsian di Jl. Bratayudha, Garut Kota, Garut Jawa Barat.
Dia menceritakan air mulai naik pukul 22.00 WIB, disegerakannya untuk mengevakuasi keluarga. Suasana semakin kalut kala dirinya dan suami naik keatas pohon kemiri untuk menyelamatkan diri.
“Namun adik saya masih sibuk membereskan baju serta perabotan. Padahal air makin tinggi meni tereh pisan (sangat cepat sekali). Suaminya adik saya juga sudah mengajak adik saya untuk naek ka para (naik ke atap), tapi dia bilang. Ke heula beberes acuk heula (nanti dulu beres baju dulu),” kata dia sambil menahan air matanya.
Dia mengaku sempat berpegangan pada pohon kemiri selama 3 jam. “ Saya sudah putus harapan dari sana. Saya pasrah. Makin malam air semakin besar. Saya pegangan kuat disana. Saya tahunya adik saya teh selamat saja,” terangnya.
Noneng berujar, rumah serta segala isinya hanyut tersapu. Hanya baju yang dia pakaian yang dipakenya yang tersisa. “Semuanya sudah habis. Saya cuma punya baju ini saja yang dipakai. Saya bersyukur suami saya selamat. Kedua ponakan selamat. Dan mereka akan saya rawat seperti kedua anak saya sendiri,” pungkas ibu yang belum dikaruniai momongan tersebut.
Oneng mengatakan pakaian serta bantuan air bersih sangat dibutuhkan sekali oleh pengungsi lainnya.
Dia dan ratusan pengungsi lainnya berharap pemerintah dapat kembali memulihkan kondisi pasca bencana alam tersebut. Pembangunan tempat tinggal serta pemulihan ekonomi masyarakat menjadi tumpuan mereka untuk melanjutkan hidup.
Bantuan dari Polri
Sementara itu, Kapolri yang Jumat (23/09/2016) mengunjungi lokasi banjir, ingin akar masalah bencana banjir bandang di Kabupaten Garut diusut tuntas. Jika tidak ditemukan akar masalahnya, dikhawatirkan kejadian serupa akan terus terulang.
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengatakan, bagian pertama yang paling utama dilakukannya proses evakuasi. Menolong korban dan membantu warga yang kehilangan tempat tinggal dan keperluan makanan sebagainya. Serta memulihkan trauma masyarakat pasca bencana.
“Sambil ini jalan (proses evakuasi), saya minta tim dari Polda bekerjasama dengan Pemda dan BNPB mungkin itu mempelajari apa akar masalah banjir bandang ini,” kata Jenderal Pol Tito saat menengok pengungsi di Korem 062 Tarumanagara Kabupaten Garut.
Dia mempertanyakan, apakah debit air yang melonjak tiba-tiba merupakan fenomena alam biasa atau karena dampak dari kerusakan lingkungan. Maka harus dicari jalan keluarnya, lanjut Tito, baik melalui cara-cara non penegakan hukum atau dengan cara penegakan hukum.
Cara non penegakan hukum, diterangkannya, misalnya melalui cara penghijauan kembali daerah aliran sungai. Kalau ternyata terjadi kasus ilegal loging, perambahan hutan oleh oknum tertentu sehingga mengakibatkan terjadinya perusakan hutan maka harus dipelajari penyebabnya dan diproses sesuai aturan hukum.
Kondisi Sungai Cimanuk
Ditempat terpisah Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk-Cisanggarung, Mochamad Mazid mengatakan, keberadaan air dari sisi kualitas dan kuantitas sangat berkaitan erat dengan kualitas lingkungan.
Mazid memaparkan, Sungai Cimanuk memiliki panjang sekitar 280 km dengan belasan hulu yang berasal dari Gunung Papandayan dan Gunung lainya di Garut. salah satu penyebab banjir, kata dia, akibat tutupan kawasan konservasi di hulu DAS Cimanuk kondisi sudah rusak berat.
Ketika terjadi hujan di lokasi yang banyak pepohonannya, seharusnya air bisa terserap dan tersimpan di dalam tanah. Pada saatnya akan dialirkan sesuai dengan kebutuhan.
“Sekarang dengan kondisi hutan yang sudah sedemikian kritis, salah satu dampaknya ketika intensitas curah hujan menjadi tinggi itu sudah menjadi aliran permukaan. Apalagi saat terjadi banjir di Garut curah hujan sangat tinggi, akan menimbulkan dampak yang signifikan ” jelas Mazid.
Menurutnya harus dilakukan dua hal yang sangat prinsip. Pertama, upaya struktural seperti melakukan normalisasi dan penguatan tebing sungai yang kritis harus segera ditangani. Kedua, lanjut dia, yang tidak kalah pentingnya melakukan yakni upaya non struktural melakukan reboisasi.
Mazid menerangkan, untuk meminimalisir korban banjir, daerah sempadan (bibir) sungai itu sebetulnya bukan untuk kawasan hunian. Agar saat air meluap tidak menimbulkan korban jiwa. Tapi faktanya di lapangan sempadan sungai ini sering dijadikan kawasan hunian.
“Kami tidak pada posisi menyalahkan siapa – siapa. Ayo kita sama – sama menjadikan ini pelajaran dan bekerja sama. Kalau aturanya tidak boleh kenapa harus menjadi hunian,” katanya.
Menurutnya, sebanyak 60 persen yang seharusnya menjadi kawasan hijau sudah jadi kawasan terbuka di wilayah Gunung Papandayan. Ketika hutan di hulu sungai rusak, pasti memberikan dampak negatif.
Mazid mengatakan Sungai Cimanuk bukan tidak pernah banjir. Pada saat itu tahun 2002 pernah banjir tetapi tidak menimbulkan korban jiwa. Namun, seiring berjalannya waktu terjadi degradasi lingkungan yang luar biasa dan okupasi lahan sepadan sungai menjadi kawasan hunian menjadi tak terkontrol. Dan akibatnya seperti Selasa (20/09/2016) kemarin, banjir bandang pun terjadi.