Ketika Perusahaan Sawit Serobot Lahan Warga Tiga Desa di Jambi

Konflik lahan antara warga dan perusahaan sawit terus bermunculan. Kali ini, warga beberapa desa di Muaro Jambi, Jambi, dengan perusahaan sawit PT Bukit Bintang Sawit (BBS). Lahan ratusan keluarga terampas.

Zakaria, warga Desa Seponjen menceritakan, bagaimana BSS merampas lahan dimilikinya. Semua berawal 9 Maret 2007.

“Waktu itu kami perjanjian dengan BBS.Perjanjian menyepakati  akan ada kerjasama kemitraan antara masyarakat Desa Seponjen dengan BBS,” katanya.

Setelah kerjasama kemitraan, masih tahun sama BBS melanggar perjanjian. Perusahaan membeli lahan sebagian warga, sekitar 157 keluarga.

Jual beli lahan tak terang-terangan, dengan modus pemberian tunjangan hari raya, uang Ri1 juta diberikan perusahaan.

“Sebagian menerima karena tak tahu kalau itu uang membeli lahan kami. Uangpun diberikan kepada ibu-ibu waktu itu,” katanya.

Lahan petani Sogo, yang mengalami turun produktivitas kala sawit datang. Foto: Elviza Diana
Lahan petani Sogo, yang mengalami turun produktivitas kala sawit datang. Foto: Elviza Diana

Dari 157 keluarga, tersisa 76 masih tak mau menjual lahan kepada BBS. Sampai akhir 2015, masyarakat yang masih bertahan tak menjual tanah tersisa 28 keluarga.

“Kami berpegang kesepakatan awal antara masyarakat dan BBS, yang menyatakan kedua belah pihak bersedia bekerjasama dalam pembangunan perkebunan sawit dalam bentuk kemitraan.”

Zakaria mengatakan, lauasan lahan harus dikembaikan perusahaan 176,4 hektar.

Bukti-bukti kepemiikan lahan yang diserobot BBS menguatkan posisi masyarakat.

Dari dokumen yang diperoleh Mongabay, tercantum masyarakat punya bukti sporadis kepemilikan lahan. Salah satu atas nama H. Mahadi, masyarakat Desa Seponjen. Lahan semula isi karet, berubah jadi sawit.

Lebih aneh lagi di Desa Sogo, Kecamatan Kumpeh Ilir, Muaro Jambi, warga bahkan tak mengetahui keberadaan BBS tetapi lahan ditanami sawit perusahaan itu.

Mereka hanya tahu ada PT Makmur Bina Bestari (MBB) yang akan kemitraan dengan masyarakat Desa Sogo.

Antoni, Sekretaris Desa Sogo mengatakan, tak tahu-menahu dengan BBS di wilayah administratif desanya.

”Kami hanya tahu ada satu perusahaan akan kemitraan, Makmur Bina Bestari. Kalau BBS hanya numpang lewat desa kami. Tahu-tahu lahan kami sudah ditanam kebun sawit semua,” katanya.

Lahan sengketa warga dan perusahaan. Kini lahan itu sudah dibuat kanal dan tanam sawit. Foto: Elviza Diana
Lahan sengketa warga dan perusahaan. Kini lahan itu sudah dibuat kanal dan tanam sawit. Foto: Elviza Diana

Dokumen terkait MBB memperlihatkan ada lima desa dan satu kelurahan tercantum dalam Surat Keputusan Bupati Nomor 22/2007 soal pemberian izin  lokasi.

Lima Desa itu, yaitu Desa Gedong Karya, Jebus, Sungai Aur , Sogo dan Desa Seponjen serta Kelurahan Tanjung.

Menurut Antoni, ada oknum mengatasnamakan kepemilikan lahan di Desa Sogo dan terbukti dokumen tak sah.

“Pada 11 Oktober 2010, oknum masyarakat Kelurahan Tanjung bernama Abu Bakar Jidin bersama kelompok, menyerahkan lahan Desa Sogo kepada BBS dengan memberikan surat-surat yang dinyatakan masyarakat Desa Sogo tak sah,” katanya.

Jadi, katanya, ada lahan masyarakat sekitar 1.000 hektar harus diikembalikan BBS. “BBS harus segera mengembalikan lahan yang saat ini sudah ditanami sawit kepada warga.”

Sekitar 398 keluarga di Desa Sogo, menggantungkan hidup dari lahan ini. Kini mereka harus menjadi buruh di perusahaan-perusahaan sawit sekitar desa.

Antoni menyebutkan, pembangunan kanal dan tanam sawit BBS juga berimbas pada persawahan mereka. Persawahan jadi kering.

Yati, biasa menanam padi di ladang yang berbatasan langsung dengan kanal-kanal perusahaan. Sekarang, katanya, kalau tanam padi, hasil tak maksimal kayak dulu.

“Terpaksa sebagian saya tanami jagung. Ini bibit jagung juga sedikit karena harus beli dan harga mahal,” katanya.

Jual beli lahan juga menyisakan duka bagi masyarakat Kelurahan Tanjung. Sebanyak 30 keluarga oleh pemerintah Tanjung, disebut kelompok yang belum mendapat ganti rugi atau tak mau jual lahan BBS. Lahan serobotan perusahaan seluas 100 hektar sudah ditanami sawit oleh perusahaan.

Kebun warga yang menjadi lahan perusahaan. Masih tampak sisa pohon duku warga. Foto: Elviza Diana
Kebun warga yang menjadi lahan perusahaan. Masih tampak sisa pohon duku warga. Foto: Elviza Diana

 

 

 

Banyak kejanggalan 

BBS pada 2007, baru mendapatkan Surat Keputusan Bupati Muaro Jambi Nomor 50 tentang pemberian izin lokasi untuk keperluan pembangunan  perkebunan sawit di Desa Seponjen, Kumpeh, Muaro Jambi.

Temuan lapangan, perusahaan sudah beroperasi di tiga Desa, yaitu : Desa Seponjen, Sogo dan Kelurahan Tanjung.

Bahkan, katanya, perusahaan sudah berjalan tanpa menunggu izin hak guna Usaha (HGU), terbit.

Dwi Nanto, Manajer Advokasi dan Komunikasi Walhi Jambi mengatakan, sudah rahasia umum, banyak perusahaan sawit beroperasi bermodalkan izin prinsip.

Jika merujuk aturan mendapatkan izin usaha perkebunan,  katanya, tentu harus melalui beberapa tahapan,  seperti surat pernyataan dari kepala desa soal tanah negara.

Arahan lokasi, persetujuan prinsip arahan lokasi dari bupati, izin lokasi pembangunan perkebunan sawit, izin pembukaan lahan, penetapan kebun masyarakat di luar areal IUP-P dan IUP-B oleh bupati usulan camat,

Kesepakatan pelepasan hak atas tanah dari masyarakat diketahui gubernur  atau bupati, Izin pelepasan kawasan hutan dari Kemenhut,

Izin pemakaian alat berat dari bupati,  izin lingkungan dari gubernur atau bupati, terakhir  Surat HGU.

“Nah, apakah proses-proses ini sudah diikuti perusahaan?” tanya Nanto.

Hingga kini, keluarga di tiga desa yang mengalamai kerugian oleh BBS, ada 645 keluarga. Luasan lahan konflik dikuasai BBS mencapai 1.576 hektar.

Jadi, katanya, diatas kertas jumlah jiwa akan mengalami penambahan tiga kali lipat kala menghitung istri dan anak.

Dalam kalkulasi cepat, jika menggunakan tambahan jiwa satu istri dan satu anak dari 645 keluarga, angka keluar 1.935 jiwa.

Pemukiman Desa Sogo. Foto: Elviza Diana
Pemukiman Desa Sogo. Foto: Elviza Diana

 

 

Pemerintah tutup mata

Sejak 2015, masyarakat di tiga desa berupaya menyelesaikan dengan perusahaan. Dimulai awal 2015, perusahaan sudah bertemu, namun tak membuahkan hasil apapun.

Ketua Jaringan Masyarakat Gambut Jambi Muaro Jambi, Budiman mengatakan, arogan perusahaan menyebabkan permasalahan konflik lahan tak dapat diselesaikan.

“Kita sudah melakukan berbagai upaya, hasil nihil. Semua pihak berjanji membantu dan memfasilitasi. Kenyataan, janji hanya tinggal janji.”

Mereka mengirimkan surat pengaduan yang dimulai dari instansi pemerintah baik kecamatan hingga pemerintah pusat.

“Surat kami tak mendapatkan tanggapan apa-apa. Komnas HAM memberikan balasan surat pengaduan. Surat Komnas HAM kepada BBS dan Pemerintah Jambi, berisi peringatan agar merespon permintaan masyarakat,” katanya.

Pertemuan juga dilakukan BBS dan masyarakat Desa Seponjen difasilitasi BPN Jambi.  Dari pertemuan disepakati, perusahaan bersedia bermitra dengan masyarakat Seponjen 28 keluarga.

“Perusahaan menjanjikan satu bulan terhitung April  2015 memberikan kejelasan. Sampai kini, belum ada jawaban.”

Santoso, Kepala Bidang Penanganan Konflik BPN Jambi mengatakan, BPN hanya memediasi. Pada akhirnya perusahaan beralibi telah membeli lahan dengan masyarakat. Mereka tak bisa berbuat apa-apa.

“Perusahaan sudah mengklaim memiliki bukti-bukti jual-beli dengan masyarakat. Kami hanya memfasilitasi, mediasi saja,” katanya.

Puncak kemarahan warga tiga desa ini dengan pendudukan di Gedung DPRD Jambi pada 15 September 2015.  Aksi massa sekitar 1.000 orang menghasilkan kesepakatan bersama membentuk Panitia Khusus penyelesaian kasus tiga desa. Sayangnya, sampai awal 2016 Pansus hanya janji.

Kusnindar, anggota DPRD Jambi Komisi I mengatakan, bukti kepemilikan lahan kurang dan tak ada tata batas desa jelas membuat pembentukan pansus penanganan konflik lahan tak lanjut.

“Harus dibenahi dulu tata batas desa, tak ada gambaran demografik wilayah desa, gimana mau bentuk pansus. Kita sudah menegur instansi terkait segera tata batas. Hingga saat ini di Muaro Jambi hanya tiga desa memiliki batas desa jelas,” katanya, beralasan.

Kusnindar bilang, bukti kepemilikan lahan warga lahan tak kuat hingga pansus terhenti. “Kan semua orang bisa ngaku kalau lahan dia. Secara hukum harus ada pembuktian jelas,”katanya.

Konflik yang berlarut-larut tanpa ada kejelasan ini bikin warga geram. Pada Senin(26/9/16), warga tig desa berencana menduduki lahan mereka yang dikalim perusahaan.

“Kita menjadwalkan akan aksi pendudukan. Kita akan mengerahkan ribuan warga dua desa, satu kelurahan,” kata Antoni.

Jembatan gantung, satu-satunya akses menuju Desa Sogo. Foto: Elviza Diana
Jembatan gantung, satu-satunya akses menuju Desa Sogo. Foto: Elviza Diana

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,