Restorasi Lahan Kritis Itu Seperti Oase bagi Warga Ngaung Keruh

Matahari baru saja menyemburatkan cahayanya ketika warga sedang berkumpul di depan rumah panjang (betang) Iban Ngaung Keruh. Raut wajah mereka seperti embun pagi yang baru turun di Desa Labian, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Suasana seperti ini lazim terjadi dalam keseharian warga setempat. Mereka meninggalkan rumah sejak pagi dengan alasan yang beragam. Umumnya menoreh karet atau berladang di sekitar kampung. Namun kali ini, warga berkumpul untuk satu tujuan yang sama: menanam.

Jarum jam perlahan mengarah ke angka tujuh. Kala itu, Minggu (24/7/2016), puluhan warga mulai mengayunkan langkahnya. Mereka berjalan beriringan menyusuri jalan setapak. Di sana, ada Robertus Tutong, tokoh masyarakat sekaligus Kepala Dusun Ngaung Keruh. Tampak pula dua orang Staf WWF-Indonesia, masing-masing Markus Lasah dan Radius Haraan.

Hamparan kebun karet milik warga yang tersebar di sepanjang jalan membentuk lansekap yang khas. Selain berladang, warga menggantungkan hidupnya dari hasil kebun karet. “Nah, sebentar lagi kita akan masuk ke lokasi persemaian,” kata Robertus Tutong  kepada puluhan warga yang sudah siap menanam di kawasan kritis bekas perladangan.

Sekitar satu jam perjalanan, rombongan sudah tiba di lokasi persemaian. Tempat ini sekaligus menjadi lokasi untuk memproses benih atau bibit sebelum ditanam. Inisiatif restorasi kawasan kritis ini digelontorkan WWF-Indonesia Program Kalbar sejak Juli 2015.

Areal persemaian tidak begitu luas. Di dalamnya berbagai jenis bibit pohon lokal sudah siap ditanam. Di antaranya durian, rambutan, manggis, cempedak, jambu, petai, jengkol, dan sejumlah pohon pakan orangutan.

Tanpa komando, warga langsung membersihkan areal persemaian. Sebagian mengambil peran di pondok guna menyiapkan makanan dan minuman. Pondok persemaian ini senantiasa dijadikan sebagai tempat peristirahatan sebelum melanjutkan perjalanan ke lokasi restorasi.

Usai melepas lelah, perjalanan pun dilanjutkan. Masing-masing membawa bibit pohon. Laki perempuan, tua muda ikut serta. Jalan terjal dan berliku di sepanjang aliran Sungai Ngaung Keruh, mengisyaratkan betapa beratnya perjuangan warga untuk memulihkan kembali kondisi lingkungan mereka.

Peran perempuan juga tak bisa dipandang remeh. Meski usia rata-rata sudah tidak produktif lagi, mereka tampak gesit memikul bibit sampai ke lokasi penanaman. Tak jarang pendakian dilakukan di kemiringan 45 derajat. Peluh yang mengucur seperti semangat yang terus menyala hingga ke puncak.

Sejauh mata memandang, perbukitan itu seperti gundukan yang tandus, tak memiliki roh, dan mati. Hanya diselimuti rerimbunan ilalang yang mudah terbakar di saat musim kemarau. Kawasan inilah yang jadi target utama restorasi.

Di kaki bukit terdapat aliran sungai yang masih jernih. Itulah hulu Sungai Ngaung Keruh. Warga bertekad ingin menyelamatkan sungai tersebut dari kerusakan. Kelak, lokasi itu akan dijadikan sebagai sumber air. Selama ini, warga masih mengandalkan air bersih dari Sungai Luar. Itu pun debet airnya kian terbatas seiring pertambahan populasi manusia.

Inilah perhuluan Sungai Ngaung Keruh yang akan dijadikan sebagai sumber air bersih bagi warga. Foto: Andi Fachrizal
Inilah perhuluan Sungai Ngaung Keruh yang akan dijadikan sebagai sumber air bersih bagi warga. Foto: Andi Fachrizal

Pilihannya adalah memulihkan serta memproteksi perhuluan Sungai Ngaung Keruh dari berbagai ancaman. Tentu, ini bukan perkara mudah. Perlu waktu dan tekad kuat untuk mewujudkannya. “Meyakinkan warga itu sangat berat. Tapi kami punya komitmen yang kuat untuk menanam demi masa depan anak cucu,” kata Tutong.

Kondisi itu mengisyaratkan adanya semacam penebusan dosa masa lalu. Mereka membuka lahan, kemudian meninggalkannya dalam keadaan tandus. Seiring waktu, pintu kesadaran itu perlahan terbuka ketika sumber air bersih mulai terancam. “Akhirnya kami menanam di hulu Sungai Ngaung Keruh,” kata Tutong.

Seingat pria 46 tahun ini, sebelum program restorasi lahan kritis mulai bergulir, WWF sudah memberikan suntikan ilmu pengetahuan kepada warga sejak 2007. Pelatihan demi pelatihan dilakukan bertahap. Mulai dari pembuatan pupuk kompos, tungku hemat energi, dan okulasi karet.

Dari situ kemudian ide restorasi bergulir. Tahap demi tahap dikerjakan. Dari sosialisasi, penyiapan lahan dan pengukuran dengan menggunakan teknologi Global Positioning System (GPS), training pembuatan pupuk kompos, dan penyiapan bibit yang dibutuhkan.

Dalam perjalanannya, ditemukanlah lokasi tanam milik warga atau komunitas di Ngaung Keruh. Mayoritas kawasan restorasi ditanami pohon buah dan kayu. Kecuali di sekitar kampung, warga lebih memilih menanam pohon karet untuk menopang perekonomian mereka. Sampai sekarang proses penanaman masih berlangsung.

Ibu-ibu memanfaatkan hasil hutan bukan kayu untuk diolah menjadi kerajinan tangan dan bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Foto: Andi Fachrizal
Ibu-ibu memanfaatkan hasil hutan bukan kayu untuk diolah menjadi kerajinan tangan dan bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Foto: Andi Fachrizal

Jalan panjang restorasi

Forest Coordinator WWF-Indonesia Program Kalbar, Hendri Ziasmono mengatakan, proses perjalanan restorasi lahan kritis di Ngaung Keruh tidak seperti membalik telapak tangan. “Prosesnya sangat panjang. Sejumlah tahapan musti ditempuh agar program ini tepat sasaran dan bermanfaat bagi warga di sekitar lokasi restorasi,” katanya.

Restorasi di kawasan kritis ini tak pula sekadar menanam. Aspek keswadayaan menjadi syarat mutlak. Salah satunya, penyadartahuan masyarakat akan pentingnya keseimbangan ekosistem melalui perilaku sehari-hari.

Karuan saja, langkah ini harus ditempah melalui jalan yang panjang dan rumit. Mulai dari diskusi dengan pemerintah daerah dan sosialisasi di tingkat pemerintah kecamatan. Selanjutnya, diperlukan koordinasi serta sosialisasi dengan aparatur desa hingga dusun, adat, dan masyarakat.

“Semua persoalan musti dibuka secara transparan, termasuk niat melakukan restorasi. Membangun kesepakatan secara transparan adalah kunci terlaksananya program restorasi ini,” urai Hendri.

Warga Ngaung Keruh mengerjakan pipanisasi secara swadaya di perhuluan sungai dengan harapan air bersih dapat sampai ke perkampungan. Foto: Andi Fachrizal
Warga Ngaung Keruh mengerjakan pipanisasi secara swadaya di perhuluan sungai dengan harapan air bersih sampai ke perkampungan. Foto: Andi Fachrizal

Ternyata, upaya itu tak berhenti sebatas sosialisasi. Masih ada langkah lanjutan seperti membangun kesepakatan kerja sama dengan anggota kelompok, kepala dusun, kepala adat, hingga temenggung. Isinya, menjelaskan secara tertulis apa itu restorasi, termasuk hak dan kewajiban semua pihak yang terlibat. Pun soal status kawasan, harus jelas asul-usulnya. Jadi, kawasan yang direstorasi legal secara hukum.

Kebutuhan bibitnya pun disepakati. Ada tanaman buah, tanaman kayu keras, dan karet. Paling penting beragam. Ada untuk pakan orangutan dan karet. Masyarakat sendiri yang menentukannya berdasarkan kebutuhan.

“Namanya restorasi, kita lebih kedepankan mana jenis tanaman yang ada di sekitar kampung, baru disiapkan persemaiannya. Semua milik masyarakat. LSM hanya memonitoring serta memastikan prosesnya berjalan sesuai tahapan yang disepakati,” jelas Hendri.

Hingga saat ini, jumlah luasan restorasi di Dusun Ngaung Keruh mencapai 208 hektar dan dikerjakan oleh 27 keluarga secara swadaya. Kini, warga sudah bisa merasakan manfaat restorasi. Pipanisasi air bersih sedang dibangun. Mereka sendiri yang berembuk sebelum dibangun. Air bersih ini diperkirakan dapat mengalir hingga ke rumah panjang.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,