Matahari baru saja naik, angin berhembus kencang menandakan gelombang air laut sudah pasang. Waktu menunjukkan pukul 10.00 Wita, para nelayan yang bermukim di pedalaman Penajam Paser Utara (PPU), Kecamatan Penajam, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, bersiap keliling Teluk Balikpapan menjaring ikan.
Adalah Dahri, warga Gersik PPU yang sehari-hari melaut untuk menghidupi ekonomi keluarga. Laki-laki 54 tahun itu sudah menjadi nelayan di area Teluk Balikpapan sejak belia. Menggunakan kapal ketinting ukuran enam meter, di Rabu (14/09/2016) cerah itu, Dahri menyusuri perairan untuk mengumpulkan bermacam jenis ikan.
“Sejak masih SD saya ikut bapak melaut, kami ini keluarga nelayan tradisional. Mata pencaharian kami di Gersik rata-rata nelayan. Sekali melaut saya pasti dapat ikan baronang, kakap merah, belana, kipar dan lain-lain.”
Perlahan, Dahri mengisahkan kondisi Teluk Balikpapan yang kini berubah. Kerusakan lingkungan dari perkembangan kawasan industri di teluk tersebut membuat jumlah ikan berkurang. Ekosistem laut yang sejatinya tempat bergantung para nelayan, kini sudah tidak bersahabat. Pelebaran kawasan industri telah merenggut surga para nelayan di lautan. “Saya ingat, hingga tahun 2005, saya mendapatkan ikan sedikitnya 30 kilogram. Kini, hanya 3 – 7 kilogram.”
Dahri harus bersusah payah, berpindah tempat menebar jala. Dia bahkan, mendirikan pukat cincin dengan sebuah pondok bambu beratap atau belat, yang umum dibuat nelayan Gersik. Belat adalah semacam pondok di laut yang dibawahnya ada pukat cincin. Kalau jaring diangkat dan banyak ikan terjebak, langsung dibawa pulang untuk dijual.
“Sekarang, usaha belat tidak menghasilkan. Kadang ikan yang terjaring kecil dan sering dicuri pula. Biasanya, ada saja ikan mati ikut terjaring, karena keracunan atau terkena limbah dari kawasan industri di Kariangau dan batubara di PPU,” paparnya.
Achmad Rizal, nelayan tetangga Dahri turut menceritakan susahnya kehidupan nelayan. Menurutnya, sejak tumbuhnya perusahaan batubara di kawasan Teluk Balikpapan, biota laut terganggu.
Meski memiliki tiga belat di laut, pendapatannya tidak memadai. Kadang, dalam seminggu ada dua hari ikan tidak didapat sama sekali. “Beruntung, ada udang galah atau kepiting yang terjerat, ini bisa dijual, menutupi kebutuhan harian.”
Saban hari, Rizal hanya membawa pulang uang sebesar Rp50 ribu. Sebelumnya, medio 2006, dia bersama ayahnya bisa mengumpulkan uang sebanyak Rp500 ribu. Pendapatan bersih setelah dipotong biaya rokok dan bensin. Waktu melaut pun relatif singkat, dua hingga tiga jam saja. “Saya tidak perlu mengembangkan jala, hanya nelayan tua yang memiliki keahlian tersebut.”
Kini, jika hasil tangkapan tidak memuaskan, Rizal memilih membawa pulang ketimbang menjualnya. Sebab, pembeli akan menaksir harga murah dan tidak memberi keuntungan sama sekali. “Inilah kehidupan nelayan sekarang, pasang surut dengan pendapatan yang tak menentu. Maraknya pertumbuhan kawasan industri mengubah kehidupan kami. Meski sulit, kami harus bertahan,” jelasnya.
Kerusakan
Teluk Balikpapan memiliki luas daerah aliran sungai (DAS) sekitar 211.456 hektare dan perairan seluas 16.000 hektare. Sebanyak 54 sub-DAS menginduk di wilayah teluk ini, termasuk salah satunya DAS Sei Wain yang merupakan hutan lindung atau yang dikenal Hutan Lindung Sungai Wain. Ada 31 pulau kecil pun menghiasasi wajah teluk.
Pengembangan Kawasan Industri Kariangau (KIK) seluas 5.130 hektare di kawasan teluk yang secara administratif berada di Kelurahan Kariangau, Balikpapan Barat, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, telah mengancam ekosistem teluk tersebut yang berimbas pada kehidupan nelayan sekitar.
Berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup Kota Balikpapan, hingga saat ini terdapat 21 perusahaan baru yang telah memiliki izin prinsip untuk melakukan kegiatannya di kawasan Teluk Balikpapan. Sebelumnya, tercatat ada 25 perusahaan yang menjalankan kegiatannya sejak 2011.
Kepala BLH Balikpapan, Suryanto mengatakan, persoalan Teluk Balikpapan bukan semata tanggung jawab Kota Balikpapan. Pasalnya, Penajam Paser Utara (PPU) juga memiliki kepentingan industri, sehingga kewenangannya dipegang Provinsi Kalimantan Timur.
“Sampai saat ini, KIK Teluk Balikpapan masih seperti itu. Teluk Balikpapan tidak hanya di Balikpapan. PPU juga ada kepentingannya, sehingga Provinsi Kaltim yang memiliki kewenangan penuh.”
Dijelaskan Suryanto, aktivitas di Teluk Balikpapan memang belum berhenti. Terlebih saat ini sedang ada pembangunan Jembatan Pulau Balang yang menghubungkan PPU dengan Balikpapan yang sudah dikoordinasikan dengan BLH Balikpapan agar pelaksanaannya tidak mengganggu ekosistem alam.
“Dinas PU Provinsi Kaltim pernah berencana menjadikan Teluk Balikpapan untuk tujuan ekowisata. Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Kalimantan (PPPEK) tengah membuat studi daya dukung Teluk Balikpapan,” paparnya, Rabu (21/09/2016).
Sulistyawati, Dekan Fakultas Perikanan Universitas Mulawarman menuturkan, kajian terbaru mengenai Teluk Balikpapan saat ini belum ada. Menurutnya, sebelum KIK diperluas, pihaknya pernah membuat kajian pencemaran Teluk Balikpapan akibat industri yang berdampak pada hasil laut. Namun, kajian tersebut tidak bisa disamakan dengan kondisi saat ini, lantaran aktivitas di Teluk Balikpapan tidak pernah berhenti. “Memang ada pencemaran dan sudah diseminarkan. Penelitian terkini belum ada lagi.”
Sulistyawati menjelaskan, dalam kasus berkurangnya hasil laut yang dikeluhkan para nelayan memang harus ada kajian menyeluruh penyebab berkurangnya tangkapan. Harus ada pantauan langsung lapangan berhari dan harus diteliti lebih dalam. Meski demikian, Sulis membenarkan jika perubahan apapun dari segala aktivitas industri di Teluk Balikpapan mempengaruhi kehidupan ikan-ikan yang ada.
“Perubahan apapun pasti berpengaruh, apalagi kawasan industri. Kajian terbaru, akan lebih baik dilakukan pada berbagai kondisi. Misal, waktu air pasang, saat surut, siang dan malam. Setelah itu, dibuat kesimpulan nyata. Saat pancaroba juga berpengaruh pada tingkat pencemaran yang berasal dari algae,” jelasnya.
Disinggung mengenai ancaman kerusakan yang terjadi, Sulis mengatakan, ada dua sisi yang bertolak belakang, yakni dilema antara sebuah industri dan perairan yang terancam limbah. “Industri diperlukan untuk kemajuan suatu daerah, tapi di sisi lain perairan akan tercemar limbah yang dibuang ke laut.”
Balai Pengelola Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) satuan kerja Balikpapan berpandangan sama. Menurut salah satu penelitinya, Ricky, persoalan berkurangnya ikan-ikan di Teluk Balikpapan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Meski demikian BPSPL membenarkan, jika kawasan industri berpotensi mempengaruhi jumlah ikan yang ada di teluk. “Kawasan industri pasti berpengaruh pada hasil laut, terlebih di Teluk Balikpapan hanya dihuni jenis-jenis ikan tertentu. Meski sebenarnya, banyak kemungkinan penyebabnya.”
Dampak paling nyata maraknya industri di Teluk Balikpapan adalah sedimentasi laut. Ini berpotensi mengurangi jumlah ikan. Ekosistem pesisir juga terancam adanya pendangkalan. Terutama, biota-biota yang dipastikan akan kehilangan habitatnya. “Padahal, biota laut dangkal merupakan makanan utama ikan.”
Ricky menambahkan, perlu ada kajian ilmiah untuk memperjelas berkurangnya ikan di sana. Sehingga, pemerintah bisa memperhitungkan dan mengimbangi dampak industri dengan pencegahan sedimentasi. “Biasanya pemerintah kota sudah memperhitungkan pencegahan sedimentasi dari laju KIK. Seperti penanaman mangrove dan meminta perusahaan melakukan penghijauan.”
Terlihat jelas
Koordinator Forum Peduli Teluk Balikpapan, Husein, mengatakan ancaman kerusakan Teluk Balikpapan sudah di depan mata. Padahal, di sepanjang pesisir teluk, terdapat desa nelayan tradisional, seperti Gersik, Jenebora, Pantai Lango, Maridan, dan Mentawir.
“Pendapatan ribuan nelayan tradisional tersebut bergantung pada kelestarian sumber kekayaan alam Teluk Balikpapan. Ekosistem yang terdegradasi, membuat nelayan gigit jari. Mereka tidak memiliki penghasilan alternatif.”
Menurut Husein, dari kondisi tersebut, tak jarang nelayan memilih pemikiran pendek. Mereka menjual tanah dan lahan kepada pengembang usaha. Ada juga yang bangkrut saat mencoba bisnis lain yang memang bukan keahliannya. “Kondisi ini, perlahan akan menambah angka kemiskinan.”
Husein menyayangkan area industri yang terus diperluas. Menurut dia, dalam perspektif lebih luas, Teluk Balikpapan telah memberikan nilai ekosistem sangat besar bagi kehidupan di Balikpapan dan Penajam yang perkembangannya sangat pesat. “Meski luasan Teluk Balikpapan, secara administratif, terluas di PPU hingga 80 persen, namun ancaman kerusakan terbesar adalah Kota Balikpapan.”
Senada, Direktur Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI) Budiono mengatakan, pembangunan bagian pantai dan hutan mangrove jelas berdampak pada kondisi laut dan hasil laut yang ada di Teluk balikpapan. Tinggal bagaimana memilih, mau dilihat dari kacamata ekonomi atau ekologi. “Kalau alasan ekonomi yang diutamakan, pestinya ekologi yang menjadi korban,” paparnya, Jum’at (23/09/2016).
Pelanggaran yang terjadi di Teluk Balikpapan memang ada. Sementara, mengenai hasil laut yang terus berkurang, harus dilihat juga dari jumlah nelayan dan alat tangkapnya. “Dari aturan pembangunan pesisir, pelanggaran yang terjadi akibat perluasan industri harus diperhatikan. Mengenai berkurangnya ikan, kita tidak boleh mengabaikan kondisi teluk sekarang serta melihat langsung kehidupan nelayan, di sana” pungkas Budi.