Kepastian Masa Depan Dua Spesies Badak di Indonesia Harus Ada

Indonesia merupakan habitat dua dari lima spesies badak yang ada di dunia yaitu badak jawa (Rhinoceros sondaicus) dan badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). Populasi badak jawa berada di Taman Nasional Ujung Kulon. Sementara, populasi alami badak sumatera tersebar di beberapa kantong yang terpisah, di hutan Sumatera dan Kalimantan.

Penurunan populasi yang sangat besar terjadi pada badak sumatera antara 1986-2007 yang mencapai 82%. Saat ini, populasi keseluruhannya diperkirakan tidak lebih dari 100 individu (Kemenhut, 2007).

Populasi yang kecil pada masing-masing kantong merupakan ancaman utama kehidupan badak sumatera, selain terdegradasinya habitat alaminya. Cula badak yang masih menjadi komoditi perdagangan gelap, membuat perburuan sebagai penyumbang menurunnya populasi badak sumatera.

Faktor lainnya? Ancaman kepunahan dari aspek kesehatan merupakan hal sangat krusial,  papar drh. Indra Exploitasia, Kepala Pusat Keteknikan Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Berdasarkan pengalamannya sebagai dokter hewan yang pernah menangani usaha reproduksi hewan bercula ini, ada penyebab yang membuat badak punah.

“Penyakit, sayangnya masih sedikit perhatian,” ujarnya pada diskusi “Diambang kepunahan: Menata Langkah Bersama Melestarikan Badak Sumatera” Jum’at (23/09/2016).

Pendataan individu badak saat ini sedang dilakukan, sehingga belum diketahui penyakit, reproduksi-kondisi jantan dan betina dewasa dan kesuburannya, atau penyakit yang disebarkan atau ditularkan ternak. “Dari sisi reproduksi dan paparan penyakit akibat ternak domestik penting dilakukan secara periodik dan berbarengan,” ujarnya.

Indra mengatakan, patologis (penyakit) yang didapati pada kematian badak adalah parasit darah. Jika kondisinya sangat akut bisa mengakibatkan kematian. Parasit darah dapat menyebabkan reproduksi badak terganggu: kemandulan dan tidak birahi sehingga mempersulit perkembangbiakan.

Tanda-tanda kematian akibat parasit darah diidentifikasi dengan nekropsi, melihat perubahan yang terjadi pada organ tubuh. Penularannya memang melalui vektor lalat, tetapi tidak serta-merta badak hidup yang dikerubuti lalat akan tertular.

Pada kematian badak jawa di Ujung Kulon, Banten, hal ini terbukti, tetapi belum ditemui pada badak sumatera karena belum ada pengamatan langsung. Selain makin hilangnya habitat, perburuan dan penyakit adalah hal yang patut diwaspadai. WHO (World Health Organization) sudah merilis data, 70 persen penyakit adalah zoonosis, yakni penularan yang disebabkan dari manusia ke hewan atau sebaliknya.

Indra juga mengemukakan, perkembangbiakan dan reproduksi badak sangat unik. Dari segi alat reproduksi jantan, bentuk tidak lurus, sehingga agak sulit menempatkan pada posisi betina. “Ketika mereka kejar-kejaran, nabrak-nabrak itu sedang mencari posisi yang pas,” ujarnya.

Pada betina, masa birahinya juga sangat pendek, hanya sehari. Badak betina dewasa siap bereproduksi umur 4 – 5 tahun, sedangkan jantan dewasa 6 – 7 tahun. Si induk akan mengasuh anaknya hingga tiga tahun. Bisa jadi, ketika masa birahi, jantan dan betina tidak saling bertemu. “Karenanya, sulit melakukan reproduksi.”

Salah satu intervensinya adalah mempertemukan badak jantan dan betina dalam satu tempat atau kawasan perlindungan. Tetapi, ini bukan hal mudah. Badak betina dalam kawasan perlindungan pun mengalami tingkat stres tinggi yang berpengaruh pada hormon. Bisa menimbulkan kista yang mengganggu reproduksi, tentunya. “Teknologi untuk reproduksi selain intervensi in situ, saat ini dimungkinkan melalui program bayi tabung.”

Badak sumatera di Suaka Rhino Sumatera, Taman Nasional Way Kambas. Foto: International Rhino Foundation
Badak sumatera di Suaka Rhino Sumatera, Taman Nasional Way Kambas. Foto: International Rhino Foundation

Ujung Kulon

Moh. Haryono, Kepala Sub Direktorat Sumber Daya Genetik Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati menuturkan pengalaman 13 tahunnya mengikuti perkembangan badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. Pada 2011-2015 tercatat jumlah badak jawa meningkat menjadi 63 individu, termasuk kelahiran tujuh anak badak. “Biasanya, hanya 3-5 individu saja,” ujarnya. Angka ini didapat setelah penambahan kamera video di sejumlah titik. Hingga 2015, dipasang 100 kamera pengintai yang tiap 10 bulan didatangi tim untuk pengambilan data dan pengecekan peralatan.

Menurutnya, kondisi badak jawa saat ini kritis karena terancam dari ketersediaan pakan dan aktivitas ilegal masyarakat sekitar. Menyusutnya habitat, juga membuat penyebaran penyakit dari ternak peliharaan ke badak terjadi. Pada 2014, empat badak mati karena tertular penyakit dari ternak.

Meskipun perkembangan sekarang terlihat menggembirakan, namun ada sejumlah kekhawatiran. Pada 2013, misalnya, dari 58 badak yang terpantau, 15 di antaranya mengalami cacat tubuh. Diduga, akibat perkawinan seketurunan. Cacat yang terlihat seperti ekor buntung atau kerutan di mata. Perkawinan seketurunan ini juga menyimpan ancaman lain seperti badak menjadi gampang sakit atau mati. “Beberapa ahli dari lembaga Biomolekuler Eijkman sudah didatangkan namun belum selesai pendataannya.”

Haryono menyebutkan ada tiga program strategis untuk konservasi badak jawa. Pertama,  pengendalian tumbuhan invasif yang mengurangi pakan badak di Semenanjung Ujung Kulon. Kedua, pengelolaan JRSCA (Javan Rhino Study and Conservation Area) yang saat ini  sedang dibangun konstruksinya. Ketiga, membangun populasi kedua. “Cikepuh cukup ideal, wilayah datar serta ada area air untuk minum dan berkubang.”

Populasi kedua diupayakan karena kehidupan badak jawa di Ujung Kulon selama berpuluh tahun berkutat di ruang yang tidak terlalu luas. Sehingga memungkinakan terjadinya perkawinan seketurunan. Dengan dipindah ke tempat lain, peluang terjadinya heterogenitas terbuka. “Sudah disiapkan calon badak jantan dan betinanya yang bagus, tidak cacat, tidak satu kerabat, dan memenuhi syarat yang ditetapkan.”

Badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Foto: Stephen Belcher/Dok. BTNUK
Badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Foto: Stephen Belcher/Dok. BTNUK

Dukungan

Dukungan untuk melindungi badak sumatera dilakukan oleh Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Yayasan Kehati untuk Kalimantan dan Sumatera. Lembaga ini bekerja sama dengan beberapa pihak menyalurkan dana hibah kepada mitra. Di Kalimantan, sejak 1 Juni 2014, terdapat 25 mitra TFCA dengan jumlah komitmen hibah lebih dari Rp92,3 miliar. Termasuk, untuk program konservasi badak.

Puspa D. Liman, Direktur Program TFCA-Kalimantan mengatakan direncanakan ada beberapa kegiatan survei dan monitoring populasi badak. Rinciannya survei sosial, okupansi, kamera otomatis, uji DNA melalui pengumpulan sampel kotoran badak, analisa tingkat penyakit, serta rekomendasi. Berikutnya, membangun sistem data, meningkatan kesadaran konservasi badak bagi masyarakat umum, pelajar, dan mahasiswa serta membangun fasilitas Rhino Sanctuary.”

Puspa mengatakan, badak sumatera di Kalimantan, ditemukan di tiga kantong wilayah di kawasan hulu Mahakam. Saat ini, salah satu kantong badak terdesak oleh aktivitas manusia. “Tantangan konservasinya selain aktivitas manusia juga adanya fragmentasi habitat, populasi badak yang kecil, serta belum terjalinnya koordinasi lintas kabupaten dan kebijakan pendukung.”

Sedangkan di Sumatera, tantangan untuk mengantisipasi kepunahan badak cukup beragam. Semedi, Direktur Program TFCA-Sumatera mengatakan, habitat badak sumatera khususnya di Taman Nasional Gunung Leuser terpisah di enam kantong. Di Leuser ini pula aktivitas manusia mempersempit area badak. “Kalau mau dipindahkan ke mana?”

Tantangan berikutnya, selain belum diketahui data yang valid tentang keberadaan badak, juga informasi mengenai badak betina dan jantan dewasa yang siap reproduksi belum lengkap. “Penting juga dilakukan intervensi pengembangbiakan ex situ,” paparnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,