PBR Benjina Beroperasi Lagi, Benarkah Ada Oknum KKP Tidak Beres?

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengonfirmasi bahwa PT Pusaka Benjina Resources (PBR) yang beroperasi di Benjina, Maluku, kini sudah kembali beroperasi secara penuh. Pengoperasian tersebut, melanggar peraturan perikanan di Indonesia, karena status perusahaan tersebut sudah dilarang untuk beroperasi.

Kabar tersebut terungkap setelah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti memberikan keterangan kepada media di kantornya di Jakarta, akhir pekan lalu. Menurutnya, PBR sudah beroperasi sejak awal September ini dengan mengandalkan pasokan ikan dari nelayan yang ada di sekitar Benjina.

“Kalau kedengaran dunia (beroperasi kembali) berarti kita restui proses perbudakan. Ini bahaya untuk produk (perikanan) Indonesia di dunia. Ini sudah jadi perhatian dunia, perbudakan jelas diekspos di Benjina,” ungkap dia.

Susi menjelaskan, sebelum mendapat  kabar beroperasi kembali, status PBR sudah ditutup karena SIUP, SIPI dan SIKPI sudah dicabut oleh KKP. Karenanya, beroperasinya PBR bisa mengancam produk perikanan Indonesia di pasar global.

“Sudah dari September aktivitas pabriknya, dan fokus pada pengolahan. Untuk kapalnya diketahui masih belum bergerak. Ikannya dari orang-orang sekitar yang menangkap (ikan),” tutur dia.

Seperti diketahui, Benjina menjadi daerah yang paling dibicarakan pada awal 2015 lalu setelah terungkap ada sebuah perusahaan yang beroperasi secara ilegal dan mengambil sumber daya ikan secara ilegal pula. Selain itu, perusahaan tersebut mempekerjakan anak buah kapal (ABK) asing dari Thailand, Vietnam, dan Myanmar dengan ilegal pula.

Susi menyebutkan, setelah terungkap, penegakkan hukum langsung dilakukan KKP bersama Satgas 115. Penegakan hukum tersebut untuk memproses tindak pidana perdagangan orang di Grup Usaha Pusaka Benjina yang melibatkan sekitar 600 warga negara asing yang bekerja sebagai ABK di Benjina. Tak hanya itu, manager lapangan, 1 orang petugas keamanan dan 5 kapten kapal berkebangsaan Thailand, telah divonis 3 tahun penjara.

Petugas dari KKP memeriksa kapal-kapal Antasena milik PT. PBR di Benjina, Aru, pada Jumat (03/04/2015) yang menemukan ternyata ABK-nya adalah Warga Negara Asing asal dari Thailand, Myanmar, Laos dan Kamboja. Foto : KKP
Petugas dari KKP memeriksa kapal-kapal Antasena milik PT. PBR di Benjina, Aru, pada Jumat (03/04/2015) yang menemukan ternyata ABK-nya adalah Warga Negara Asing asal dari Thailand, Myanmar, Laos dan Kamboja. Foto : KKP

Komandan Satgas 115 itu mengatakan, hukuman juga diberikan kepada Silver Sea Fishery Co, perusahaan yang diduga kuat sebagai pemilik kapal-kapal di Benjina. Perusahaan tersebut dihukum dengan denda membayarkan restitusi kepada para korban.

Saat ini penyidik sedang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana perdagangan orang yang menjerat korporasi tersebut. Penyidik dari Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP melakukan penyidikan atas dugaan tindak pidana perikanan berupa alih muatan tidak sah (transshipment) di tengah laut, menggunakan alat tangkap pairtrawls yang dilarang dan mengangkut ikan ke luar wilayah Indonesia tanpa dilengkapi sertifikat kesehatan ikan untuk konsumsi manusia.

Susi mengungkapkan, penyidik Stasiun PSDKP KKP Tual di Maluku juga telah menerbitkan Surat Perintah Penyidikan tanggal 20 September 2016 dan dalam waktu dekat akan  melakukan penyitaan terhadap ikan yang ada di PBR Benjina.

“Berdasarkan pemeriksaan Kementerian Ketenagakerjaan terhadap Grup PBR, ditemukan 817 orang tenaga kerja asing (ABK) tidak memiliki Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) dari Kementerian Ketenagakerjaan,” tanda dia.

KKP Setengah Hati Tuntut PBR Grup?

Sementara itu Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim menjelaskan, jika memang PBR kembali beroperasi di Benjina, itu menunjukkan ada yang tidak beres di tubuh KKP. Menurutnya, KKP tidak sepenuh hati melakukan upaya penuntutan atas nama Negara kepada PBR.

“Ini juga bisa jadi ada upaya penegakan hukum yang tidak tuntas oleh aparat keamanan, sebagaimana pelanggaran-pelanggaran yang dituduhkan oleh KKP,” tutur dia.

Karena masih ada ketidakberesan, Halim meminta agar KKP bisa bertindak lebih tegas dan serius untuk membebaskan usaha perikanan Indonesia dari praktik perbukan, pencurian ikan, dan lain-lain. Dalam pengamatan dia, saat ini ada upaya pembiaran yang dilakukan oleh oknum aparat di KKP dan jajarannya maupun di oleh oknum aparat keamanan.

“Pengusutan kasus Benjina mesti mencakup semua aktor yang terlibat,” pungkas dia.

323 ABK WN Myanmar, Laos dan Kamboja di PT. PBR Benjina tiba di PPN Tual, Sabtu (04/04/2015) dengan menggunakan 6 kapal Antasena milik PT. PBR dan di kawal oleh KRI Pulau Rengat dan Kapal Pengawas Hiu Macan 004 milik PSDKP, sambil menunggu proses pemulangan oleh pihak Ke Imigrasian. Foto : KKP
323 ABK WN Myanmar, Laos dan Kamboja di PT. PBR Benjina tiba di PPN Tual, Sabtu (04/04/2015) dengan menggunakan 6 kapal Antasena milik PT. PBR dan di kawal oleh KRI Pulau Rengat dan Kapal Pengawas Hiu Macan 004 milik PSDKP, sambil menunggu proses pemulangan oleh pihak Ke Imigrasian. Foto : KKP

Sementara itu Mas Achmad Santosa yang dikonfirmasi terpisah, mengaku tak bisa berkomentar leih jauh tentang beroperasinya kembali PBR di Benjina. Informasi tersebut, hingga saat ini masih belum memiliki fakta yang lebih kuat.

Karena itu, Mas Achmad mengaku akan mengirimkan timnya ke Benjina untuk melakukan penyelidikan langsung. Dari hasil penyelidikan itu, nantinya bisa diketahui tindakan apa yang bisa dilakukan oleh Satgas 115 dan KKP.

“Yang jelas tentunya kita kaget dan marah dengan beroperasinya lagi PBR di Benjina. Namun, kita tidak juga masih belum tahu detilnya seperti apa. Kita harus tunggu kabar dari sana langsung,” jelas dia.

Selain Benjina, Pemerintah Indonesia juga menyoroti tiga kasus tindak pidana perikanan yang dilakukan perusahaan besar lainnya. Diantaranya adalah PT Avona Mina Lestari yang telah melakukan pemalsuan dokumen (Gross Akta Kapal Perikanan), pelanggaran pelayaran dan pelanggaran karantina perikanan.

Sebagai efek jeranya, Surat Ijin Kapal Penangkap Ikan (SIKPI) telah dibekukan. Dari kasus tersebut, telah ditetapkan tersangka atas nama MS (Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Sorong Tahun 2006) dan AM (pemohon) dengan dugaan tindak pidana pemalsuan dokumen baliknama Gross Akta.

Menurut Susi, hal ini merupakan modus yang seringkali dilakukan. Dia pun menghimbau kepada nelayan maupun pemilik kapal untuk segera mengukur ulang kapal yang ada. Untuk proses tersebut, KKP menjamin tidak ada pungutan biaya sepeser pun.

Selain itu, kasus lain juga dilakukan oleh PT Dwi Karya Reksa Abadi  yang telah memalsukan dokumen SIUP Perikanan Daerah. Dari kasus ini telah ditetapkan tersangka atas nama MT (Direktur PT DK) dan ED (Dinas Perizinan Provinsi Papua). Status izin SIUP dan SIKPI dari kapal ini telah dicabut. Untuk seterusnya akan dilanjutkan ke tahap penuntutan.

Pelanggaran pidana lainnya juga dilakukan Grup Usaha Mabiru Ambon yang telah melakukan tindak pidana ketenagakerjaan yakni menggunakan tenaga kerja asing tanpa izin Menteri Tenaga Kerja. Berdasarkan pengembangan kasus tindak pidana perikanan dan tindak pidana terkait perikanan yang terjadi di Ambon, pada bulan Agustus 2016, penyidik Polair pada Satgas 115 telah menetapkan 3 orang pimpinan perusahaan perikanan di Ambon sebagai tersangka pada kasus penggunaan tenaga kerja asing tanpa izin.

Ketiga perusahaan mengoperasikan 46 kapal perikanan eks-Thailand dengan total jumlah pekerja asing sebanyak 1055 orang yang tidak dilengkapi izin penggunaan Tenaga Kerja Asing.Potensi kerugian negara akibat mempekerjakan TKA tanpa izin dapat mencapai ratusan miliar rupiah.

Atas pelanggaran tersebut, ketiga tersangka dikenakan Pasal 185 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan ancaman pidana penjara minimal 1 (satu) tahun dan maksimal 4 (empat) tahun dan atau denda minimal Rp100.000.000 (seratus juta rupiah) dan maksimal Rp400.000.000 (empat ratus juta rupiah).

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,