Sengketa Lahan di Batas Kelimutu: Antara Hak Adat dan Kawasan Konservasi

Andreas Pole namanya, warga Desa Saga yang jaraknya dua puluh tiga kilometer dari kota Ende. Di desa itu, sebagian terbesar masyarakat hidup sebagai petani. Andreas (68) dan keluarganya tak berbeda, hidup dari kebun kopi setengah hektar milik keluarganya.

Pandangannya menatap jauh, dia pun mencoba mengingat peristiwa pahit yang pernah menimpanya sekitar sembilan tahun lalu, tahun 2007.

“Sekitar pukul 15.00 waktu itu saya didatangi petugas jagawana TN Kelimutu, saat itu saya baru pulang membersihkan kebun kopi saya,” Andreas berkata lirih. “Siapa yang suruh kamu kerja kebun disini? Tidak boleh ada kebun kopi disini. Nanti kamu kami tangkap semua,” Andreas coba menirukan perkataan jagawana saat itu.

Kepada petugas, Andrea menjelaskan bahwa kebun kopi miliknya turun-temurun, sudah ada sebelum disahkannya kawasan konservasi TN Kelimutu. Dia mengaku hanya melanjutkan pekerjaan orang tua yang membuka kebun kopi pemberian Mosalaki (tetua adat) untuk digarap.

Katanya, membuka kebun zaman orang-orang tua itu tidak bisa dilakukan sembarangan, harus lewat upacara Lake Nabe, ritus yang melibatkan Mosalaki.

Cerita tidak selesai. Esoknya Andreas diminta menghadap ke kantor TNK di Ende. Dia tidak memenuhinya. Dia berkeras sebab sebelumnya tidak ada pemberitahuan kepada warga untuk tidak memetik kopi di lahan yang katanya masuk dalam kawasan taman.

Walhasil, Andreas pun dijemput polisi dari Polsek Detusoko, dan ditahan di sel polsek selama tiga malam. Tuduhannya menyerobot lahan di kawasan konservasi TNK. “Saya dimintai uang Rp2,1 juta dan seekor ayam kampung oleh petugas kepolisian. Semua saya penuhi karena saya ingin bebas.”

Dia pun bebas sementara. Sehari sebelum pernikahan anaknya, dia kembali dijemput ke Kejari Ende dan langsung dikirim ke Lembaga Pemasyarakatan Ende.

Sembilan kali menjalani masa persidangan. Andreas dijatuhi hukuman setahun penjara. Hakim sempat mempermasalahkan mengapa dirinya membawa parang. “Saya katakan parang dan pacul itu alatnya petani, apalagi parang juga diminta di rumah, buka disita waktu saya di kebun.” Pertanyaan hakim itu membuatnya bingung.

Tahu ayahnya dipenjara, anak lelaki Andreas, Thomas Tuju (alm) lalu menuntut untuk ditahan bersama ayahnya. Keduanya mendekam di penjara selama 6 bulan setelah dipotong masa tahanan.

Andreas Pole dan istrinya Paulina. Andreas dipenjara karena memetik kopi di kebunnya. Foto: Ebed de Rosary
Andreas Pole dan istrinya Paulina. Andreas dipenjara karena memetik kopi di kebunnya. Foto: Ebed de Rosary

Sampai sekarang Andreas masih belum mengerti mengapa dia dipenjara. “Kenapa hukum tidak berlaku adil. Waktu di sidang saya minta hakim turun ke lokasi kebun biar tahu kebenaran sesungguhnya.”

Menurutnya, di Desa Saga ada 76 KK yang memiliki di lahan TNK, jika semua bersalah mengapa hanya dirinya saja yang ditahan. Dia mengajukan pertanyaan yang tidak terjawab.

Setelah lepas dari masa penjara, Andreas mengaku tetap bekerja memetik kopi untuk membiayai keluarga. “Saya petik kopi seperti biasa, Kalau tidak kami mau hidup darimana?”

***

Konflik tapal batas kawasan hutan bermula sejak kawasan ini lewat SK Menhut Menhut No. 679/kpts-II/1997, tanggal 10 Oktober 1997 ditetapkan sebagai Taman Nasional Kelimutu seluas 5.356,50 hektar. Sebelumnya kawasan berstatus cagar alam dan taman wisata alam sejak tahun 1984.

Sesuai dengan SK Dirjen PKA No.16/Kpts/DJ-V/2001 TNK terbagi menjadi empat zona, yakni Zona Inti seluas 350.5 hektar dan Zona Rimba seluas 4.351,5 hektar. Selain itu terdapat Zona Pemanfaatan Intensif seluas 96,5 hektar dan Zona Rehabilitasi seluas 558 hektar.

Sebagai kawasan konservasi, maka ia harus bebas dari siapapun kecuali melalui ijin dan pengawasan pemerintah. Oleh Kementerian Kehutanan, ditetapkanlah tapal batas kawasan TNK untuk memudahkan kontrol.

Maksud baik mengkonservasi kawasan Taman Nasional sebagai salah satu keunikan dunia ternyata berbenturan dengan keberadaan masyarakat adat yang berdiam dan telah puluhan tahun berladang di kawasan ini. Tak aneh jika tanaman kopi, vanili, kakao dan lainnya telah ada di sini sejak puluhan tahun lampau.

“Lahan tersebut sudah lama ditanami kopi. Dahulunya lahan ini dipakai menanam bawang putih serta palawija,” sebut Philipus Kami, Ketua Fopermas (Forum Perjuangan Masyarakat Adat Saga) yang juga Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Nusa Bunga kepada Mongabay Indonesia (02/09).

“Pemerintah mengatakan pengambilalihan tanah sesuai dengan prosedur yang disertai dengan tanda tangan dari para Mosalaki, namun para Mosalaki tidak pernah menandatangani berita acara penyerahan tanah.”

Menurutnya, lahan kebun kopi masyarakat adat Saga yang dicaplok oleh TNK sekitar 50 sampai 70 hektar dari seluruh lahan perkebunan mencapai sekitar 100 hektar.

Pada tahun 2007, terang Philipus, TNK memang melakukan penertiban besar-besaran. Masyarakat dilarang memetik dan menanam kopi di areal taman. Saat itu masyarakat protes dan melawan seluruh keputusan yang dibuat. Akibatnya, berulang kali datang utusan dari kecamatan, aparat kepolisian dan koramil.

Namun pihak masyarakat bersikeras bahwa kopi yang ditanam adalah milik hak ulayat adat Saga. Bagi masyarakat, tidak ada haknya pemerintah melarang masyarakat untuk memetik kopi.

Kopi yang berada di sekitar Desa Adat Saga. Foto: Ebed de Rosary
Kopi yang berada di sekitar Desa Adat Saga. Foto: Ebed de Rosary

Saat Andreas ditahan, masyarakat pun melakukan aksi demo. Komunikasi dengan pihak gereja dan pemerintah lalu dibangun. Menurut Philipus, penahanan Andreas Pole tidak wajar. Pihaknya lalu menghadirkan para Mosalaki untuk bersaksi bahwa tanah yang digarap Andreas Pole merupakan tanah adat yang diberikan pengelolaannya kepada dia.

Philipus waktu itu memberanikan diri bertemu dengan Bupati Ende dan menyampaikan agar orang Saga tidak boleh ditahan.

“Sejak tahun 1930-an orang tua kami sudah menanam kopi, kopi yang ada tetap dipetik karena inilah satu-satunya harapan hidup masyarakat Saga,” ungkapnya.

Namun Andreas Pole tetap dihukum sehingga masyarakat lalu berpikir bahwa negara abai dalam kewajibannya melindungi, memenuhi dan menghormati hak-hak masyarakat adat.

Perlawanan komunitas adat Saga lalu mendapat dukungan dari 20 komunitas adat yang bermukim di sekitar kawasan TNK. Perlawanan ini menyebabkan pihak Pemda Kabupaten Ende dan pihak TNK pun dibuat pusing kepala.

“Sudah sejak zaman leluhur, tata ruang sudah ditata menurut peruntukannya: sebagai hutan adat, permukiman, lahan garapan dan padang penggembalaan. Selain hutan itu, ada tempat-tempat tertentu yang ditetapkan untuk tidak digarap oleh masyarakat, seperti mata air, lokasi ritual adat dan pemakaman,” jelas Nikolaus Ruma, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Tiwu Telu (AMATT).

Keberadaan AMATT sendiri merupakan respon atas konflik tapal batas antara komunitas adat dan Taman Nasional Kelimutu (TNK) dan kasus kriminalisasi terhadap Andreas Pole.

Bagi Ruma sebelum melakukan penetapan tapal batas, pemerintah harusnya melibatkan peran masyarakat adat.

Masyarakat adat menurut Ruma memiliki pengalaman dan memiliki nilai-nilai sistem konservasi. Juga masyarakat adat pun telah memiliki kelembagaan adat yang di bawah otoritas para Mosalaki, yang harusnya didengar pendapatnya. Menurutnya, hingga saat ini TNK juga turut andil dalam menghilangkan tanah adat Mosalaki Wolomoni.

“Bagi ketiga komunitas adat di wilayah ini, permasalahan yang ada bukanlah permasalahan Taman Nasional, tetapi permasalahan tanah adat yang mencakup aspek tata kuasa, tata kelola, tata konsumsi dan tata distribusi,” ungkapnya.

Desa Adat Saga. Desa ini berbatasan dengan Taman Nasional Kelimutu. Foto: Ebed de Rosary
Desa Adat Saga. Desa ini berbatasan dengan Taman Nasional Kelimutu. Foto: Ebed de Rosary

Penahanan Andreas Pole lalu menjadi pemicu masyarakat untuk bersatu. Masyarakat meminta agar tanah komunitas adat dikembalikan. Hal itu menjadi perhatian pada saat Kongres AMATT pertama pada tahun 2008 di Saga. Perjuangannya adalah untuk mengembalikan seluruh lahan penyangga di TNK agar ekonomi masyarakat tidak berhenti.

Utusan dari dua puluh desa di lima kecamatan pun hadir.

“TNK aset dunia tapi pertumbuhan ekonomi daerah penyangga tidak berkembang. Kita berjuang terus dengan melakukan aksi-aksi besar agar hak-hak masyarakat adat di daerah penyangga dapat dikembalikan,” sahut Philipus.

Di area wilayah wilayah yang disengketakan, akhirnya pihak Pemda Ende dan TNK melunak. Mereka membiarkan masyarakat berkebun di dalam kawasan, asalkan masyarakat tidak melakukan penanaman kembali.

***

Saat itu hari menjelang siang, ketika Mongabay berkunjung ke kantor TN Kelimutu. Mongabay berjumpa dengan Kepala TNK, Nuryadi, yang didampingi oleh Kepala Tata Usaha TNK, Endarto.

Nuryadi menampik jika dikatakan pihak TNK berseberangan dengan masyarakat.  “Kami hadir saat pertemuan dengan para pihak, termasuk saat konsultasi dengan Sekjen AMAN,” tuturnya.

Menurutnya, komunikasi dengan komunitas adat selama ini bertujuan untuk melestarikan aset TNK, yaitu konservasi kawasan hutan. Baginya, selama belum ada peraturan pengganti maka masyarakat tetap tidak diperbolehkan melakukan aktivitas berkebun di dalam areal TNK.

“Kami berpatokan pada UU No.5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam. Kalau undang-undang baru sudah terbentuk maka kami pun akan patuh. Kami bekerja berdasarkan aturan yang berlaku. Namun, kami akan tetap menghargai komunitas adat,” jelas Endarto menambahkan.

Endarto melihat seluruh persoalan pasti ada penyelesainnya. Dia mengambil contoh kearifan Bupati Ende saat itu yang pada akhirnya memberikan kemudahan pada masyarakat untuk memanfaatkan hasil kopi yang sudah ditanam, selama bukan dari hasil tanaman baru apalagi membuka lahan kebun didalamnya.

Mas'ud Nur, Sekdin Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ende. Foto: Ebed de Rosary
Mas’ud Nur, Sekdin Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ende. Foto: Ebed de Rosary

Terpisah saat dijumpai Mongabay, Mas’ud Nur, Sekdin Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ende menjelaskan tentang silang sengketa antara masyarakat dengan pemerintah.

Menurutnya pihaknya sekarang sedang mendata dan mengurus agar pemukiman dan fasilitas umum yang sudah lama masuk dalam kawasan hutan bisa dikeluarkan dari peta kawasan.

Mas’ud juga menghimbau agar masyarakat yang memiliki kebun di dalam kawasan hutan dapat terdata dan terdaftar sebagai anggota pengelola Hutan Kemasyarakatan (HKm) atau Hutan Tanaman Rakyat (HTR), yang saat ini proses pendataan ulang sedang dilakukan oleh Dishut; sembari menunggu proses dikuatkan lewat peraturan Gubernur.

Sesuai dengan Peraturan Menhut No. 37/2007 jo No 13/2010 tentang HKm dan HTR, kedua mekanisme ini merupakan koridor legal dimana masyarakat sekitar hutan dapat mengelola hutan negara sesuai aturan perundangan.

Kegiatan ini dapat dilakukan lewat masa kontrak 35 tahun dan dapat diperpanjang lagi selama tidak merubah fungsi hutan yang ada.

***

Bagi Philipus, penyelesaian paripurna adalah pada saat pengakuan wilayah adat telah final definitif. Jika tidak, potensi sengketa dengan pihak seperti TNK akan dapat terulang kembali dimasa yang akan datang.

Lebih jauh lagi, kriminalisasi dapat terus terjadi bagi anggota masyarakat adat yang totalnya berjumlah 140 komunitas adat di seluruh di Kabupaten Ende.

Menurutnya, perbedaan cara pandang ini harus diatasi lewat aturan baru yang mengakomodir. Caranya berjuang mendapat pengakuan tanah ulayat agar diakui sebagai hutan adat.

“Dengan adanya keputusan MK No. 35/2012  dan Peraturan Menteri LHK 32/2015 tentang hutan hak, kita berharap lahan yang menjadi hak masyarakat adat dikembalikan, didudukan pada hukum yang benar,” jelas Philipus. Dengan berstatus hutan adat, maka kawasan tersebut dikeluarkan dari nomenklatur hutan negara.

“[Meski demikian] pemerintah belum pernah turun melakukan sosialisasi terkait keputusan MK. Mereka selalu katakan ini baru putusan MK, tapi belum ada peraturan turunannya,” ujarnya.

Sebagai bagian perjuangan menuntut hak, menurut Philipus saat ini AMAN Nusa Bunga dibantu Fakultas Hukum Universitas Flores Ende sedang menyusun draf rancangan peraturan daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyaakat Adat (Raperda PPHA).

Adapun yang menjadi dasarnya adalah hasil riset Lapangan yang dilakukan AMAN terhadap 50 komunitas masyarakat adat di tiga suku besar yakni Ende, Lio dan Nage di Kabupaten Ende.

Hasil kajian menemukan akar persoalan bagi masyarakat adat saat berhadapan dengan negara adalah masalah tapal batas hutan, penetapan batas wilayah, dan ketidakjelasan wilayah adat yang menyebakan pihak lain dapat begitu saja mengambil alih hak adat.

Apalagi ditambah saat ini di seluruh Flores dan Lembata telah ada 313 izin eksplorasi tambang yang berpotensi menambah jumlah konflik yang ada.

Sebagai langkah pertama, AMAN telah melakukan konsultasi publik pada tanggal 20 Agustus 2016 untuk RUU dan Perda PPHMA di Aula Desa Saga yang dihadiri oleh utusan komunitas adat sekabupaten Ende, TNK, dan anggota DPRD Ende.

“Kami berjuang agar Ranperda dan RUU PPHMA bisa dibahas dan ditetapkan menjadi aturan yang bisa mengakomodir keinginan masyarakat adat yang selama ini diabaikan.”

Rumah adat. Foto: Ebed de Rosary
Mosalaki (tetua adat) Nuabosi Sido berfoto di depan rumah adat. Foto: Ebed de Rosary

Hal itu diamini oleh Mosalaki Nuabosi Sido. Menurutnya tanpa ada kejelasan masyarakat terus takut dikriminalisasi dan dipenjara. Bahkan untuk menebang kayu di dalam hutan untuk keperluan pembangunan rumah adat saja, masyarakat takut.

“Waktu mau bangun rumah adat ini kami disuruh pak Philipus tebang pohon, sehingga saya pun berani tebang. Karena bila ada yang melarang maka dia siap bertanggung jawab dan menjamin kami tidak ditangkap aparat. Akhirnya rumah adat kami bisa diperbaiki setelah terlantar puluhan tahun,” beber Sido.

Sido harapkan agar negara bisa mengakui hak-hak komunitas adat khususnya yang berdiam di sekitar kawasan hutan lindung. Kearifan lokal masyarakat adat terkait buka kebun dan ladang serta menjaga ekosistem hutan yang selama ini dijalani beserta ritual adatnya lama kelamaan hilang akibat tidak diperbolehkannya masyarakat adat masuk ke dalam kawasan hutan.

“Kami masyarakat adat tidak merusak lingkungan sebab sejak dahulu kami selalu menjaga hutan. Kami tidak pernah melakukan kegiatan penebangan pohon untuk dijual. Kami juga jaga hulu sehingga mata air tidak mengering.”

Andreas Pole sore itu baru pulang dari kebunnya. Seperti biasa dia duduk di depan rumahnya untuk beristirahat. Dia pun lalu berujar menutup.

“Cukup sudah biar saja saya seorang yang masuk penjara, untuk menebus orang-orang Saga. Saya harap keadilan akan datang dan berpihak kepada kami, masyarakat adat.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,