Kala SVLK Tak Hanya Komitmen Kelola Hutan Rakyat Lestari Juga Mudahkan Ekspor Perajin Kayu

Warga dari Unit Managemen Hutan Rakyat (UMHR) Wono Lestari, Pajangan, Bantul menerima tamu dari Uni Eropa dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di tepian Sendang (telaga) Ngembel.

Beberapa sudut dilengkapi gazebo. Ada jalan kecil memudahkan siapa saja menikmati telaga yang asri sambil berkeliling. Selebihnya batu-batu kapur menjadi penanda batas tanah warga. Tampak jati di mana-mana.

“Tiga tahun lalu, sendang tidak seperti ini. Berkat kerjasama dengan masyarakat dan pemerintah, kini menjadi tujuan wisata baru. Ekowisata salah satu dari bisnis kami,” kata Zuchri Saren Satrio, Sekretaris UMHR Wono Lestari, pertengahan September di Bantul.

Baca juga: Wonolestari, Hutan Rakyat dari Selatan Jogja

Satrio menghidangkan makanan kecil dan minuman buat para tamu. Ada pisang, kacang tanah, talas, ketela rambat, ganyong, dan uwi. Semua direbus. Minuman wedang uwuh dengan warna kemerahan. Wedang ini terbuat dari rempah-rempah, warna merah dari kayu secang.

“Di hutan dan pekarangan, kami memiliki 27 jenis umbi. Ibu-ibu mengurusi tanaman yang tumbuh di bawah tegakan. Bapak-bapak mengurusi kayu,” katanya.

Menurut Satrio, meski tertatih, mereka juga menjalankan simpan pinjam dengan sistem tunda tebang, jual beli kayu, dan pelatihan SVLK. Wono Lestari adalah UMHR yang memiliki dua sertifikat sekaligus, SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) dan PHBML (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari).

Giovanni Serritella, Wakil Delegasi Uni Eropa mengatakan kegiatan sekecil apapun sangat penting dalam melestarikan hutan. Dia mendukung langkah Wono Lestari mengelola hutan rakyat, melalui pola dari bawah ke atas.

“Uni Eropa mendukung sekian inisiatif di Indonesia terutama Aceh dan Papua dengan pola seperti ini. Perhatian kami memerangi perubahan iklim, pelestarian sumber daya alam, kesejahteraan masyarakat, dan keberlanjutan hutan,” katanya.

Ukiran tiga dimensi dari Rapi Furniture. Foto: Nuswantoro
Ukiran tiga dimensi dari Rapi Furniture. Foto: Nuswantoro

Uni Eropa dan Indonesia telah menandatangani kesepakatan bersejarah tentang tata kelola hutan dan perdagangan kayu legal dari Indonesia ke seluruh dunia. “Kami mengapresiasi bagaimana kerja nyata Wono Lestari.”

 

 

Tantangan

Menurut dia, anggota Wono Lestari, banyak hingga setok kayu juga banyak. “Petani seringkali perlu uang kas. Kadang kami tidak bisa membeli kas. Seminggu baru bisa dibayar,” katanya.

Modal Wono Lestari terbatas, kalah dengan pedagang yang memiliki sumber daya besar. Perajin dari Bantul atau Jepara, sering mengambil kayu utang. Akibatnya, pembayaran kayu ke petani seret.

Satrio bilang, modal perputaran bisnis kayu Wono Lestari hanya Rp12 juta. Dana simpan pinjam dengan sistem tunda tebang hanya Rp8 juta.

“Masalahnya, masih banyak petani memakai model tebang butuh. Kalau butuh baru menebang pohon. Mereka memiliki kayu besar tapi tidak ditebang, padahal pasar membutuhkan. Di waktu lain, pohon ukuran piton, atau A1 sudah ditebang karena terimpit kebutuhan,” ujar dia.

Dalam bisnis kayu, ukuran piton merujuk gelondongan berdiameter kurang 10 sentimeter. A1 untuk ukuran 10-19 sentimeter.

Selain modal kecil, Wono Lestari juga menghadapi ancaman kekurangan lahan karena seputar hutan rakyat untuk properti dan industri. Setidaknya, kini luas lahan kelola berkurang sekitar 50 hektar untuk pembangunan kampus baru UIN Yogyakarta.

Soal ini dibenarkan Camat Pajangan, Sri Karyatun. Saat ini,  ada moratorium pembangunan perumahan di luar Kecamatan Pajangan. Pajangan pun menjadi tempat limpahan pembangunan perumahan.

“Sebenarnya kami ingin hutan untuk mata pencaharian juga penghijauan, nafas kita semua. Sayangnya penyusunan tata ruang tak melibatkan kami. Akhirnya hutan beralih fungsi.”

Giovanni Serritella, Wakil Delegasi Uni Eropa . Foto: Nuswantoro
Giovanni Serritella, Wakil Delegasi Uni Eropa . Foto: Nuswantoro

 

Diminati eksportir

Kami menemui Kemiskidi, pengusaha sekaligus perajin kayu di Krebet, Sendangsari, Pajangan, Bantul. Belajar menjadi perajin kayu sejak 1975, Kemiskidi memiliki sanggar sendiri sejak 1989, bernama Sanggar Peni.

Dia melayani permintaan ekspor. Akhir-akhir ini,  lebih sering untuk pasar lokal. “Ada yang minta SVLK, ada yang tidak,” kata Kemiskidi.

Mereka yang meminta persyaratan khusus adalah para pedagang yang menjual kembali untuk ekspor ke Eropa. Selama ini,  Kemiskidi melayani ekspor melalui pihak ketiga.

“Harga selisih sedikit. Sekitar 4-5% lebih mahal untuk kerajinan dari kayu yang memiliki SVLK.”

Dengan jumlah pekerja sekitar 20 orang, dalam sebulan Sanggar Peni, bisa menghasilkan 2.000 aneka kerajinan. Ada topeng, nampan, patung, hingga asesoris kayu. Kebanyakan bentuk batik kayu.

Keuntungan bagi Kemiskidi jika menggunakan kayu bersertifikat, hasil kerajian batik kayu bisa melalangbuana sampai ke Eropa dan Amerika.

Pengalaman serupa dialami perusahaan furnitur kelas menengah Rapi Furniture, yang mengerjakan permintaan khusus furnitur interior. Perusahaan yang berlokasi di Umbulharjo, Yogyakarta ini,  memiliki mesin ukir, pemotong laser, dan pemindai kayu tiga dimensi.

“Sertifikat SVLK menambah kepercayaan pembeli kepada kami. Mereka yakin produk kami legal, karena memakai bahan baku legal. Kami selalu diperiksa dan melaporkan ke kehutanan,” kata Victor, mewakili perusahaan.

Perajin di Sanggar peni tengah membatik nampan kayu. Foto: Nuswantoro
Perajin di Sanggar peni tengah membatik nampan kayu. Foto: Nuswantoro

Kayu solid diperoleh dari Perhutani. Untuk kayu lain seperti plywood sudah tersedia di pasar.

Rapi berdiri pada 1982, sudah ekspor ke beberapa negara. Sejak diberlakukan AFTA 2010 banyak produk perusahaan ini kalah bersaing dengan Tiongkok.

“Yang sederhana-sederhana sudah disabet China. Kami bertahan dengan kreativitas yang kami miliki. Kami menerima order sulit-sulit, memakai ukiran-ukiran. Juga memanfaatkan batok, limbah kayu. Itu caranya kami bertahan,” katanya.

Mereka selama ini memenuhi permintaan konsumen dengan cara produksi berdasarkan pesanan. Untuk ekspor, konsumen meminta persyaratan SVLK.

 

 

Pertama di Dunia

Sejak ada kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan Uni Eropa untuk menerima SVLK dalam skema lisensi FLEGT (Forest Law Enforcement Governance and Trade), eksportir wajib menyertakan dokumen SVLK untuk produk kayu ekspor.

Baca juga: Akhirnya, Indonesia Mulai Terbitkan Lisensi Kayu Legal ke Uni Eropa pada 15 November

Keuntungannya, eksportir tak perlu uji legalitas kayu lagi karena SVLK sudah diakui.

“Ini pertama di dunia, sistem uji kita akhirnya diterima Uni Eropa,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari KLHK Ida Bagus Putera Parthama.

Kesepakatan itu menjadikan Indonesia negara pertama yang boleh menerbitkan lisensi kayu legal sendiri dan membuat produk kehutanan Indonesia masuk Uni Eropa tanpa pemeriksaan.

Penerbitan SVLK memangkas biaya untuk uji tuntas sekitar US$1.000-2.000 per kontainer ukuran 20-40 feet. Karena sudah masuk skema FLEGT, biaya ini tak perlu lagi.

Tampak pepohonan jati dan batu kapur di Pajangan, Bantul. Foto: Nuswantoro
Tampak pepohonan jati dan batu kapur di Pajangan, Bantul. Foto: Nuswantoro
Topeng batik yang masih proses pengerjaan. Foto: Nuswantoro
Topeng batik yang masih proses pengerjaan. Foto: Nuswantoro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,