Industri Nirlimbah: Ekonomi Hijau, Sirkular Pengelolaan Tailing dan Limbah Industri Lainnya

Keberlanjutan dan Industri Pertambangan 

Tak mudah membayangkan sebuah ekonomi hijau bisa tumbuh di industri ekstraktif seperti pertambangan.  Ekonomi hijau—yaitu bentuk produksi, distribusi, dan konsumsi yang tunduk pada kepentingan sosial dan kelestarian lingkungan—tampaknya mustahil untuk ditemukan di dalam industri yang mengelola sumberdaya alam tak terbarukan seperti tambang.  Tapi benarkah demikian?

Keberlanjutan dalam industri ini biasanya dituliskan dalam tanda kutip, atau dinyatakan sebagai weak sustainability, keberlanjutan yang lemah.  Artinya, hanya mungkin dinyatakan begitu apabila kita menerima bahwa satu sumberdaya alam akan berkurang atau habis, namun dari pemanfaatan sumberdaya tersebut akan menimbulkan atau menguatkan sumberdaya lain yang dibutuhkan masyarakat untuk mengembangkan kehidupannya yang lebih baik—sustainability asflourishing, seperti istilah yang diajukan oleh pakar keberlanjutan MIT, John Ehrenfeld—di masa mendatang. Kalau keberlanjutan berarti kelestarian sumberdaya dalam pengertian ketat, jelas tak akan ada keberlanjutan dalam pengelolaan sumberdaya alam tak terbarukan.

Namun, dengan konsep depletion cost, ilmu ekonomi lingkungan telah membuka ruang yang memungkinkan penguatan sumberdaya lain tersebut dalam bentuk tabungan yang bisa dinikmati oleh generasi mendatang.  Selain itu, dengan internalization of externalities sebagaimana yang ditegaskan dalam The Principle of Sustainable Development, World Summit on Sustainable Development, Rio de Janeiro, 1992, dimungkinkan bagi proses produksi untuk menginternalisasikan berbagai dampak pencemaran dan kerusakan lingkungan ke dalam struktur biaya atas setiap unit produk yang dihasilkan, sehingga terakumulasi dana untuk perbaikan atas potensi pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat proses produksi tersebut. Artinya, keberlanjutan dalam sektor pertambangan sesungguhnya memang dimungkinkan, secara ilmu pengetahuan maupun kesepakatan politik global.

Memang sudah banyak yang berargumentasi bahwa pertambangan bisa diarahkan menjadi kekuatan positif dalam pembangunan suatu wilayah, namun pada kenyataannya hal tersebut sangat sulit diwujudkan.  Selain karena pertambangan itu mengubah bentang alam, dampak sampingan (by product) dari pertambangan adalah berbagai jenis limbah, termasuk dan terutama tailing, yang menurunkan mutu lingkungan.

Ubahan bentang alam sendiri sebetulnya belum tentu berdampak buruk dan bisa direhabilitasi fungsinya—walaupun mustahil direstorasi, dikembalikan sepenuhnya ke kondisi rona awal—seperti yang ditunjukkan pada upaya reforestasi.  Beberapa kasus menunjukkan bahkan kekayaan keanekaragaman hayati sesungguhnya bisa ditingkatkan pada periode pascatambang.  Memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk memastikan fungsi lingkungan yang sehat setelah upaya rehabilitasi itu, namun itu sebetulnya juga tergantung dari rona awalnya sendiri.

Persoalan tailing tidaklah demikian.  Secara teoretis, pengelolaan tailing dilakukan melalui tiga cara: membuat tailing dam yang semakin tinggi seiring dengan meningkatnya volume; menempatkannya pada tempat tertentu yang semakin luas—misalnya di lautan dengan submarine tailing disposal atau di sungai dengan riverine tailing disposal—seiring dengan berjalannya aktivitas penambangan; atau memanfaatkannya menjadi bahan baku material konstruksi.  Dua cara yang pertama akan menyisakan persoalan tumpukan tailing dengan berbagai dampak lingkungannya.  Dan hanya cara yang terakhir ini saja yang benar-benar berpotensi bisa menyelesaikan sepenuhnya masalah tailing yang dihadapi banyak perusahaan tambang.

Di sini juga kemudian kita melihat bahwa ekonomi sirkular—yaitu ekonomi yang meniru siklus alamiah yang nirlimbah dengan mendesain dirinya untuk terus menerus memanfaatkan hasil utama dan sampingan untuk proses produksi dan konsumsi lebih lanjut—sebagai bagian dan perwujudan dari ekonomi hijau bisa muncul di pertambangan.  Ekonomi sirkular adalah antitesis dari ekonomi linear yang logikanya take-make-waste itu.  Kita tahu, kalau ekonomi linear terus-menerus kita pakai, Bumi ini sekadar akan menjadi tong sampah besar dan kehilangan kemampuan homeostasisnya.

The concept of Circular Economy in itself is mind-blowing as it imitates natural cycles through feedback loops at several levels of our current extraction, production and consumption chains. Mind-blowing in the multidimensional benefits that could lies under, creating abundance instead of scarcity. The main objective of such a framework being the decoupling of our resource intakes versus our needs for economic growth.” Demikian pernyataan pakar ekonomi sirkular, Alexandre Lemille.

Inovasi dalam Pengelolaan Tailing

 Unit Bisnis Pertambangan Emas (UBPE) ANTAM di Pongkor, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat sangatlah beruntung. Lantaran sifat mineral yang terdapat di sana membuatnya menjadi tambang bawah tanah, dampak lingkungan dari perubahan bentang alam menjadi minimal.  Hutan yang ada di atas tambangnya hampir tidak tersentuh.  Sudah sejak awal operasi, sekitar 60% dari total tailing hasil sampingan produksinya dimasukkan kembali ke dalam tanah, untuk mengisi ruang-ruang yang kosong akibat penggalian.

Siti Nurbaya, Menteri LHK (baju dan berhelm putih) kala meresmikan pabrik pengolahan tailing emas PT Antam menjadi produk daur ulang di Pongkor. Foto: Indra Nugraha
Siti Nurbaya, Menteri LHK (baju dan berhelm putih) kala meresmikan pabrik pengolahan tailing emas PT Antam menjadi produk daur ulang di Pongkor. Foto: Indra Nugraha

Namun, untuk menempatkan 40% tailing yang ada, tetap diperlukan luasan lahan tertentu.  ANTAM sendiri telah mengelolanya dengan sangat baik, melampaui ekspektasi regulasi dengan bukti Peringkat Hijau PROPER yang diberikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, dahulu KLH) selama 3 tahun terakhir. Permasalahannya kemudian adalah apakah dimungkinkan untuk memanfaatkan tailing tersebut sehingga dampak lingkungan penempatannya juga bisa lebih diminimalkan lagi.

Pertanyaan ini kemudian membuat ANTAM melakukan beragam uji coba sejak beberapa tahun yang lampau untuk memastikan pemanfaatan tailing benar-benar bisa diterima sebagai cara yang baik untuk lingkungan.  Toksisitas tailing adalah salah satu tantangan terbesar, di samping durabilitas, stabilitas atau soliditasnya bila hendak dijadikan bahan baku material konstruksi, seperti batako, paving block, genteng, bahkan semen.

Pemerintah Indonesia sendiri melalui PP No.101/2014 tentang Pengelolaan Limbah B3 menempatkan tailing sebagai limbah spesifik karena relatif rendahnya tingkat toksisitasnya, sehingga memberikan ruang pemanfaatan limbah tambang ini berikut prosedur penanganannya seperti Unconfined Compressive Strength (UCS) atau uji kekuatan tekan dan Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) atau uji perlucutan toksik atas berbagai produk material konstruksi tersebut.

 Secara teknis, stabilisasi/solidifikasi (s/s) adalah teknik yang menggunakan sifat kimia dan fisik semen sebagai pengikat (binder)  untuk mengintegrasikan berbagai elemen selama reaksi hidrasi. Solidifikasi terjadi ketika padatan tailing dicampur dengan pengikat yang mempunyai sifat pozzolan. Campuran yang dihasilkan terikat dengan matriks geopolimer yang membentuk padatan keras dan monolitik. Dalam aplikasinya untuk mengurangi pencemaran lingkungan dari sebuah limbah akibat logam berat, teknik ini dapat dipergunakan untuk mengurangi mobilisasi/keterlindian logam berat tersebut.

Tailing emas PT Antam yang diap didaur ulang. Foto: Indra Nugraha
Tailing emas PT Antam yang siap didaur ulang. Foto: Indra Nugraha

 

Kandungan oksida dari limbah tailing khususnya untuk kandungan  SiO2 + Al2O3 + Fe2O3 adalah di atas 80%, alias di atas persentase yang disyaratkan untuk bahan pencampur beton, yaitu minimum 50% (ASTM C-618). Artinya, limbah tailing yang dihasilkan UBPE Pongkor mempunyai sifat pozzolanic dan dapat digunakan sebagai bahan pencampur beton atau perkerasan lainnya menggunakan semen. Setelah 28 hari  didapat bahwa untuk tailing yang disolidifikasi dengan 60% semen mempunyai kuat tekan sebesar 35 Megapascal (Mpa), dan untuk tailing yang disolidifikasi dengan 50% semen mempunyai kuat tekan sebesar 40 Mpa, yang artinya sesuai dengan kebutuhan konstruksi pada umumnya.

 Setelah melakukan beragam uji coba, ANTAM akhirnya mengumumkan kepada seluruh pemangku kepentingannya bahwa kini ANTAM telah dapat menghasilkan beragam material konstruksi yang bukan saja solid, stabil, dan berdaya tahan lama, namun juga telah lolos dari seluruh uji toksisitas.  Sebagai material kontruksi yang memenuhi seluruh persyaratan lingkungan dan teknis, maka produk yang dihasilkan kemudian diberi nama yang sesuai, yaitu green fine aggregate (GFA).

Selain GFA, yang juga dihasilkan adalah semen geopolimer.  Di manapun, semen ini bahan dasarnya banyak yang merupakan limbah hasil produksi, sehingga pengujian apakah bisa dibuat dengan memanfaatkan tailing adalah suatu keniscayaan bagi UBPE ANTAM.  Prosesnya sendiri menggunakan suhu rendah, berbeda dengan semen Portland yang diproduksi oleh kebanyakan pabrik semen, sehingga jauh lebih hemat energi.  Karena suhu rendah itu dapat diperoleh dari matahari, maka pengurangan emisi karbondioksida dari jenis semen ini dihitung hingga mencapai 90%, alias memotong emisi hingga menjadi 10% saja untuk setiap satuan berat semen yang dihasilkan.

Olahan tailing emas PT Antam menjadi beragam bahan baku bangunan. Foto: Indra Nugraha
Olahan tailing emas PT Antam menjadi beragam bahan baku bangunan. Foto: Indra Nugraha

Proses pembuatannya juga sangat sederhana, sehingga dapat mengikutsertakan masyarakat kebanyakan.  Hanya membutuhkan peralatan yang sederhana dan pelatihan yang juga sederhana bagi pekerjanya.  Dengan sifat pembuatan yang demikian, hasilnya bisa jauh lebih baik. Beberapa literatur menyebutkan bahwa semen geopolimer tahan hingga 10 kali lipat usia semen Portland, seluruh sifat bisa dimodifikasi sesuai kebutuhan dengan mudah.  Biaya pembuatannya lebih hemat, dan waktu pembuatan yang jauh lebih singkat memastikan bahwa return on investment-nya jauh lebih tinggi daripada pembuatan semen pada umumnya.

Di berbagai negara, semen geopolimer telah dijual secara komersial, dan sangat berhasil menggusur pasar semen Portland, terutama di pasar-pasar yang telah mensyaratkan sustainable  construction, termasuk green building. Blue Crete adalah salah satu merk semen geopolimer yang paling terkenal di seluruh dunia, yang dijual sebagai low carbon footprint cement dan terus dinyatakan sebagai salah satu 50 hot products oleh editor majalah Green Builder sejak 2010.

Hasil uji coba itu secara teknis telah membuat perubahan besar.  Tailing tidak lagi hanya ditumpuk di tailing dam yang terus meninggi dan atau meluas, melainkan bisa dikurangi volumenya.  Tentu, hal ini tergantung dari volume pemanfaatannya.  Bila UBPE ANTAM hanya bisa memanfaatkan sebagian dari tailing yang diproduksinya setiap hari, maka itu hanya akan mengurangi volume yang ditempatkan di dam.  Kalau seluruh tailing yang diproduksi harian itu bisa dimanfaatkan, maka tailing yang ditempatkan pada dam tidak akan bertambah volumenya.  Bahkan, bila pemanfaatannya melampaui produksi tailing per hari, maka volume tailing yang telah ditempatkan pada dam bisa dikurangi hingga benar-benar habis suatu hari nanti.

Dampak Lingkungan-Sosial-Ekonomi Pengelolaan Tailing

Secara lingkungan, semakin besar tailing yang bisa dimanfaatkan, dampaknya akan semakin baik.  Di sini paradigma bahwa waste is only an untapped resource perlu dipegang erat-erat.  Ekologi tidak mengenal limbah apapun, lantaran proses produksi-distribusi-konsumsinya sempurna.  Hanya ekonomi manusia saja yang tidak selaras dengan ekologi lalu mengenalkan Bumi pada beragam limbah.  Dengan berhasilnya uji coba ini, maka tak ada lagi hambatan bagi UBPE ANTAM—juga bagi perusahaan tambang di manapun yang menghasilkan tailing—untuk kembali tunduk kepada siklus alam yang nirlimbah.

Cara pandang baru ini akan membuat perubahan besar dalam pengelolaah tailing di seluruh pertambangan, menggesernya dari sekadar penempatan (placement) atau pembuangan (disposal) menjadi pemanfaatan.  Untuk perusahaan tambang yang telah beroperasi, penambahan tailing-nya bisa direm.  Sementara, untuk perusahaan tambang yang sedang ada dalam tahap perizinan dan pra-konstruksi, bisa sejak awal merancang pengelolaan yang sama sekali berbeda dengan apa yang selama ini telah dilakukan.  RKL/RPL dalam AMDAL pertambangan akan memuat pemanfaatan tailing ini sebagai alternatif teknologi terbaik.  Dan penggunaan cara pandang ini tidak saja menekan dampak lingkungan negatif, melainkan juga menyangkut dampak sosial dan ekonomi positif.

Tailing dari pertambangan. Foto : tailing info
Tailing dari pertambangan. Foto : tailing info

Dalam proses uji coba yang skalanya sekitar 10% saja dari seluruh tailing yang dihasilkan per hari, dampak sosialnya benar-benar sudah dirasakan oleh masyarakat Pongkor.  Pertama-tama, dampak ketenagakerjaan.  Pongkor—dan tambang manapun—adalah sebuah magnet ekonomi yang menarik banyak orang untuk datang, terutama untuk terlibat dalam penambangan emas artisanal dan ekonomi turunannya.  Lantaran yang dilakukan oleh mereka itu tidak sesuai dengan ketentuan hukum, maka berulang kali aparat pemerintah menertibkannya.  Tentu saja, hal ini menimbulkan krisis ketenagakerjaan, ekonomi, dan sosial.  Namun, dengan pilot project pemanfaatan limbah ini, sebagian dari masalah tersebut bisa diselesaikan.  Lebih dari 140 mantan penambang artisanal kini bekerja di pabrik pengolahan tailing.  Ini mengubah status kerja mereka yang tadinya ada di dalam sektor ekonomi ilegal menjadi legal.
Kedua, dengan seluruh hasil dari material konstruksi disalurkan untuk program sosial ANTAM, maka beragam fasilitas umum—jalan, rumah ibadah, sekolah, puskesmas adalah beberapa di antaranya—disekitar lokasi pertambangan mendapatkan manfaat yang besar.  Gairah konstruksi infrastruktur untuk kepentingan masyarakat banyak meningkat dengan pesat.  Selain itu, rumah penduduk yang berasal dari golongan tak mampu juga mendapatkan bantuan.  Lantaran biaya produksi sangat rendah dan kelompok masyarakat rentan mendapatkannya secara gratis, maka konstruksi tiba-tiba menjadi jauh lebih murah.  Sebuah rumah tipe 36 bisa dibangun hanya dengan biaya belasan juta rupiah saja, tentu tanpa memperhitungkan harga tanahnya.  Ini sangat membantu masyarakat tak mampu yang membutuhkan rumah sehat.
Pertanyaannya kemudian, kalau secara lingkungan dan sosial manfaatnya memang telah bisa dirasakan—dan dibayangkan bila volume pengolahannya dibuat menjadi jauh lebih besar, setidaknya hingga 100% volume tailing harian—apakah benar akan ada ekonomi hijau yang bisa ditumbuhkan.  Sangat jelas jawabannya adalah bisa.  Pemanfaatan tailing sebagai bahan baku telah menekan biaya produksi menjadi sangat rendah, dan bisa menjadi lebih rendah lagi dengan meningkatnya skala operasi.  Tetapi, yang menjadikannya hijau itu bukanlah murahnya, melainkan pengurangan—bahkan secara potensial penghilangan—limbah yang membawa dampak lingkungan dan sosial positifnya.

Menuju Ekonomi Sirkular Industri Nirlimbah

Penting diingat bahwa prinsip internalization of externalities tidak memberi ruang bagi perusahaan tambang untuk mengelak dengan mengatakan bahwa tidak ada dana untuk diinvestasikan pada usaha pemanfaatan tailing ini.  Akumulasi dana pengelolaan eksternalitas harus dipergunakan salah satunya untuk investasi pemanfaatan tailing sebagai sebuah bagian atau unit usaha tertentu untuk bukan saja meningkatkan kinerja lingkungan, namun juga meningkatkan intensitas dan kualitas ekonomi hijau dari perusahaan tambang.
Lebih jauh, untuk memastikan bahwa ini benar-benar menjadi pengejawantahan ekonomi hijau, maka model bisnis pengelolaan tailing juga harus inklusif, bila kelak akan dijadikan badan usaha tersendiri.  Sangat baik bila masyarakat dilibatkan bukan saja menjadi tenaga kerja, melainkan juga menjadi pemilik badan usaha tersebut melalui kepemilikan saham.  Menjadikan masyarakat lokal sebagai bagian dari rantai nilai—baik sebagai pemilik, pemasok, pekerja maupun penjual produksi—adalah cara terbaik agar manfaat ekonomi sirkular pengelolaan tailing ini bisa semakin tinggi.

ModADA, kolam endapan tailing Freeport yang saat ini sudah lebih tinggi dari Kota Mimika. Foto: Yoga Pribadi
ModADA, kolam endapan tailing Freeport yang saat ini sudah lebih tinggi dari Kota Mimika. Foto: Yoga Pribadi

Hal ini tidakah mudah, tentu saja.  Godaan untuk menjadikannya bisnis komersial biasa—walaupun tetap membawa dampak positif bagi lingkungan dan sosial—dapat mengurangi manfaat total bagi pemangku kepentingan.  Bagaimanapun, dalam tahapan uji coba ini belum sepenuhnya dihitung secara detil kinerja ekonomi yang mungkin dicapai, pun belum menemukan model bisnis yang optimal bagi ANTAM dan masyarakat setempat.  Penggunaan alat perencanaan yang menggabungkan manfaat ekonomi dan sosial seperti social return on investment (SROI) akan bisa membuat gambaran itu menjadi lebih jelas.

Tantangan berikutnya, bagaimana membuat ekonomi sirkular pengelolaan tailing menjadi norma di Indonesia.  Dan hal terakhir ini membutuhkan kepastian sikap dan ketegasan Pemerintah RI dalam menerapkan prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan yang telah diratifikasi dan PP No.101/2014 yang telah mengatur pengelolaan tailing menuju ekonomi sirkular. Secara teknis, ANTAM sepenuhnya bersedia berbagi ‘resep rahasia’-nya, seperti yang telah ditunjukkan kepada puluhan perusahaan tambang dan industri lainnya yang telah mengunjungi fasilitas pengelolaan tailing di Pongkor.

Apa urusan industri lain datang ke Pongkor? Setelah berhasil mendapatkan solusi teknologis atas tailing, UBPE ANTAM kemudian melanjutkan penelitiannya untuk limbah PLTU (fly ash dan bottom ash), industri kelapa sawit, kertas, sponge, stone crusher, semen, baja, pupuk dan tekstil.  Seluruhnya bisa memanfaatkan teknologi yang sama untuk membuat material konstruksi dengan toksisitas di bawah ambang batas.  Hanya limbah dari industri tekstil saja yang masih terlampau dekat dengan ambang batas—walau sudah di bawahnya—sementara yang lain bisa dibuat jauh di bawahnya.  Ini berarti kita sudah melihat kemungkinan senjakala limbah dan ekonomi linear, juga kita bisa menyambut fajar ekonomi sirkular di berbagai industri itu.

Tapi, bagaimanapun, ini bukanlah sekadar masalah pemanfaatan teknologi, yang kini sudah dibuktikan memang eksis dan mumpuni untuk menghilangkan beragam limbah industri. Pemerintah RI perlu mendorong, memfasilitasi dan memaksa seluruh perusahaan tambang dan industri lainnya untuk mengarah ke sana.  Kehadiran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan di UPBE ANTAM di Pongkor pada tanggal 9 April 2016 untuk meresmikan pabrik pengolah tailing seharusnya dapat menjadi momentum yang tepat untuk perubahan tersebut, karena ekonomi sirkular pengelolaan limbah itu telah disaksikan secara langsung.

Pertanyaannya sekarang, apa yang akan benar-benar dilakukan oleh Pemerintah RI dengan peluang ekonomi-sosial-lingkungan penghilangan limbah ini?

***

Yosep PurnamaEngineering Manager, PT Aneka Tambang (Persero) Tbk

JalalReader on Corporate Governance and Political Economy, Thamrin School of Climate Change and Sustainability

Ahmad SafrudinExecutive Director, KPBB; Reader on Urban and Transportation Issues, Thamrin School of Climate Change and Sustainability

Tulisan ini merupakan opini penulis

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,