Teluk Balikpapan, Potensi Alam Menjanjikan yang Bukan untuk Disiakan

Angkutan kota berjalan pelan menembus rutinitas Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Penumpangnya seorang lelaki dan perempuan paruh baya. Di depan mereka, kotak putih kecil tertempel. Ini bukan hiasan. Sampah plastik dan sedotan jadi penghuninya. Kotak itu terbuat dari jerigen bekas ukuran kecil yang dipotong atasnya.

“Tempat sampah ini sudah lama, Mas,” kata Syarifudin.

Syarifudin adalah lelaki di belakang kemudi angkot nomor 05 itu. Dua puluh tahun sudah ia menjadi juru mudi di kota industri ini. Meninggalkan Makassar, tanah leluhurnya. Selama menjadi sopir baru kali ini ia merasa angkot sangat bersih. Orang-orang tak membuang sampah ke jalan. Kota menjadi nyaman, ditumbuhi pepohonan, dan didukung masyarakat yang ramah.

“Kalau tidak ada tempat sampah, bisa kena denda saat razia,” ujarnya.

Razia dilakukan oleh tim yustisi pemerintah kota. Mereka terdiri atas Satpol PP dan Polisi. Jika tertangkap, besaran denda 50 – 100 ribu Rupiah, sesuai Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2015 tentang sampah rumah tangga dan sampah lainnya. Sebelumnya, ada Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2004, tentang pengelolaan persampahan.

“Kami harus menghadapi razia dari polisi soal lalu lintas dan juga kebersihan. Tapi masih banyak juga angkot nakal.”

Tempat sampah yang ada di kendaraan transportasi umum di Balikpapan. Foto: Christopel Paino
Tempat sampah yang ada di kendaraan transportasi umum di Balikpapan. Foto: Christopel Paino

Pada 22 Juli 2016, Kota Balikpapan mendapatkan Piala Adipura Paripurna. Ini  penghargaan tertinggi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada kota atau ibu kota yang mampu melakukan pembangunan berwawasan lingkungan berkelanjutan. Balikpapan menyisihkan 500 kota atau kabupaten di Indonesia.

Beberapa syarat penilaian untuk mendapatkan penghargaan ini antara lain berinovasi dalam pengelolaan sampah dan ruang terbuka hijau (RTH), pengendalian dampak perubahan iklim, pemanfaatan energi terbarukan, serta penurunan ketimpangan ekonomi dan sosial berbasis pengelolaan lingkungan hidup.

Bahkan untuk penghargaan Adipura tingkat Asia Tenggara, Balikpapan berhasil meraih tiga penghargaan sekaligus. Pada ajang bertajuk Invitation to the for 3rd ASEAN Environmentally Suistainable Cities (ESC) Award and The 2nd ASEAN Certificates of Recognition with the Following Details, yang berlangsung di Loa Plaza Hotel, Laos, 2015 silam, Balikpapan menyabet tiga kategori; clean land, clean water dan clean air.

Sukur Efendy, Kepala Bidang Info Penegakan Hukum, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Balikpapan, menjelaskan, poin penting yang membuat kota beruang madu ini mendapatkan penghargaan Adipura Paripurna adalah penerapan clean, green, and health (CGH). Program lingkungan yang menitikberatkan pengelolaan sampah.

Di lapangan, BLH bekerja sama dengan Dinas Kebersihan Pertamanan dan Pemakaman (DKPP) melakukan monitoring rutin ke setiap kelurahan. Hingga memantau warga yang membuang sampah sembarangan. Jika kedapatan, sanksinya Rp50 ribu seperti angkot yang tidak membuat tempat sampah.

Selain itu, menurut Sukur, mereka melibatkan masyarakat untuk membangun kesadaran pentingnya kebersihan kota. Di Balikpapan banyak pendatang berlatar pengetahuan berbeda. Ini menyebabkan masih banyak warga yang buang sampah sembarangan.

Bagaimana program kampung iklim? Menjawab pertanyaan ini, Sukur mengaku  Balikpapan baru sebatas membuat kampung rintisan. Namanya kampung organik yang fokus pada pengelolaan sampah. Kampung proklim sendiri mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 19 tahun 2012.

“Kami baru punya kampung organik di Kelurahan Sepinggan, Kecamatan Balikpapan Selatan. Kampung ini rintisan program kampung iklim.”

Berdasarkan Permen Nomor 19 tahun 2012, dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, program kampung iklim harus meliputi; pengendalian kekeringan, banjir, dan longsor.

Pengelolaan sampah, limbah padat dan cair; pengolahan dan pemanfaatan air limbah; penggunaan energi baru terbarukan, konservasi dan penghematan energi; budidaya pertanian, peningkatan tutupan vegetasi, dan pencegahan serta penanggulangan kebakaran hutan dan lahan juga dilakukan.

Keberadaan bekantan di Teluk Balikpapan sangatlah penting. Diperkirakan, jumlahnya saat ini sekitar 1.400 individu. Foto: Hendar
Keberadaan bekantan di Teluk Balikpapan sangatlah penting. Diperkirakan, jumlahnya saat ini sekitar 1.400 individu. Foto: Hendar

Jufriansyah, Direktur Stabil (Sentra Program Pemberdayaan dan Kemitraan Lingkungan), LSM di Balikpapan, mengatakan bicara Adipura, harus dikaitkan tata ruang. Sayangnya, tata ruang Balikpapan belum beraturan, ditambah lagi adanya pelepasan kawasan untuk industri. Akibatnya, Teluk Balikapan jadi tumbal proyek glamor pemerintah kota.

Konsep CGH yang dijelaskan BLH dan DKPP Balikpapan, menurutnya, hanya berorientasi mengejar hadiah yang digelar tiap kelurahan. Contoh, pada 2008 setiap rukun tetangga (RT) yang menang lomba CGH dapat bonus Rp100 juta. Uang tersebut biasanya dalam bentuk pembangunan sarana prasarana.

Namun, jumlahnya menurun saat ini, berkisar Rp10 juta untuk pemenang. Karena orientasinya hanya kompetisi, perubahan kesadaran masyarakat masih lemah. Dalih dari BLH selama ini, menurut Jufri, karena dana yang terbatas.

“Memang Kota Balikpapan tampaknya bersih. Tapi kalau bicara pengelolaan lingkungan, nanti dulu. Ada pelepasan kawasan untuk industri besar.”

Kepala BLH Kota Balikpapan, Suryanto, yang dimintai klarifikasi atas pernyataan Jufriansyah, tidak memberikan tanggapan. Dihubungi melalui pesan singkat ke nomor kontak pribadinya, Suryanto pun tidak merespon.

Apa yang dijelaskan Jufriansyah diaminkan Husain, Koordinator Forum Peduli Teluk Balikpapan (FPTB). Menurutnya, penghargaan Adipura Paripurna masih perlu dipertanyakan. “Dalam rencana tata ruang dan wilayah kota yang jelas peruntukannya sebagai kawasan hutan mangrove justru dialihfungsikan untuk perindustrian.”

Husain yang berjuang untuk penyelamatan Teluk Balikpapan menjelaskan, pengelolaan buruk itu adalah perluasan Kawasan Industri Kariangau (KIK) ke beberapa hulu sungai, tempat hutan alami dengan biodiversitas yang tinggi beregenerasi.

“Lahannya bergunung dan rawa. Tidak mungkin untuk mengembangkan industri tanpa tindakan kontroversial, yaitu mereklamasi lahan dengan mengupas gunung dan menimbun hutan mangrove dengan tanah.”

Teluk Balikpapan merupakan perairan tertutup, yang pertukarannya hanya melalui Selat Makassar. Semua erosi, sedimentasi karena pengupasan lahan. Limbah industri akan terakumulasi di muara teluk. “Dengan perkembangan industri, ekosistem bawah laut akan beracun, menjadi tempat yang tak bisa lagi dihuni,” ungkap Husain.

Wajah pelabuhan peti kemas di Kariangaun kawasan Teluk Balikpapan. Foto: Hendar
Wajah pelabuhan peti kemas di Kariangaun kawasan Teluk Balikpapan. Foto: Hendar

Penting

Kamis siang, 25 Agustus 2016. Awan mendung menutupi matahari ketika kapal-kapal besar berdiam di Teluk Balikpapan. Perahu kecil berkecepatan tinggi lalu-lalang melewati sebuah kapal tongkang. Sementara perahu klotok bermuatan orang dan kenderaan roda dua terlihat sarat muatan. Hanya butuh 20 menit bagi klotok ini menyeberang ke pelabuhan di Penajam Utara.

Saya menumpangi perahu klotok bercat biru itu dengan penumpang belasan orang. Tiba di pelabuhan, ojek motor langsung menawarkan jasa. Saya memilih tukang ojek bernama Jafar dengan kuda besi besarnya. Jafar, lelaki asal Maros, Sulawesi Selatan itu, mengantar saya ke salah satu hulu Teluk Balikpapan. Tepatnya ke lokasi Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT. ITCI (International Timber Corporation Indonesia) Kartika Utama.

Butuh tiga jam lebih ke lokasi, dengan kondisi jalan yang sebagian besar rusak. Di kiri-kanan, hutan gundul dan tanaman sawit menjadi pemandangan biasa. Setibanya di PT. ITCI Kartika Utama, saya disambut dua petugas keamanan dan portal besi bertulis “no entry”.

“Maaf Pak, dilarang masuk tanpa izin perusahaan, Anda siapa?” kata petugas keamanan perusahaan. Saya memperkenalkan diri. Petugas itu bernama Misran, belum setahun bertugas, yang mengaku asli Kalimantan dari suku Paser.

“Saya izin motret model rehabilitasi hutan di perusahaan ini karena mengembangkan tumpang sari aren sebagai pohon induk,” jawab saya kepada Misran.

“Coba telepon Pak Agung dulu,” teriak security lain dari dalam pos ke Misran. Ia lebih senior. Wajahnya tak bersahabat.

Wilayah PT. ITCI, yang dianggap sebagai salah satu daerah yang letaknya di hulu Teluk Balikpapan. Foto: Christopel Paino
Wilayah PT. ITCI, yang dianggap sebagai salah satu daerah yang letaknya di hulu Teluk Balikpapan. Foto: Christopel Paino

Pak Agung yang dimaksud adalah atasan mereka. Misran menghubungi, tidak lama berselang sosoknya mengendarai motornya. Ia mengenakan seragam biru dongker, bersepatu laras, dan berkumis tebal. Tanpa senyum, Agung meminta saya ikut ke kantor PT. ITCI. Di sana, dua security berkaos loreng sudah menunggu. Saya masuk. Tiba-tiba seorang berpenampilan necis dengan rambut klimis berpakaian sedikit krem, menanyakan identitas saya. Di baju yang ia kenakan, pada bagian dada kanannya tertulis “Budi Gunawan”.

“Saya koordinator keamanan di sini,” ujar Budi Gunawan.

Kepada Budi, saya menjelaskan liputan mengenai rehababilitasi hutan yang dilakukan perusahaan ini yang mengedepankan tumpang sari. “Maaf, Mas. Kalau tidak ada izin tidak bisa masuk,” katanya lagi.

Saya gagal mendapatkan informasi mengenai cara PT. ITCI merehabilitasi hutan. Padahal, perusahaan mengklaim mampu menambah stok karbon dan mendorong bahan bakar rendah karbon dari olahan aren.

Menurut Jufriansyah dari Stabil, konsesi PT. ITCI merupakan daerah hulu yang terhubung melalui Sungai Maridan, yang berpengaruh terhadap pendangkalan Teluk Balikpapan. “Perusahaan ini diakhir 90-an sempat berkonflik dengan masyarakat adat Paser. PT. ITCI dikenal karena birokrasi yang panjang, ada istilah kalau ITCI itu anak yang tidak diketahui.”

Teluk Balikpapan dilihat dari udara. Foto: Husein/Forum Peduli Teluk Balikpapan
Teluk Balikpapan dilihat dari udara. Foto: Husein/Forum Peduli Teluk Balikpapan

Data yang diungkapkan Forum Peduli Teluk Balikpapan lain lagi. Di area yang lebih hulu, yang masuk dalam wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara, selama satu dekade terakhir telah mengalami kecacatan mengerikan dengan berkembangnya industri dan penanaman kelapa sawit. Menurut forum tersebut, beberapa perusahaan terbukti bersalah. Salah satunya PT. Agro Indomas yang membawa kerusakan terberat, walaupun perusahaan itu anggota RSPO, kelapa sawit yang terukur dan ramah lingkungan.

Kelapa sawit ditanam di sepanjang pesisir teluk dan sungai yang dianggap tidak sesuai. Tidak hanya itu, konversi area konservasi bernilai tinggi yang memiliki fungsi ekologi vital menjadi perkebunan adalah melanggar kriteria RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). Perusahaan lain yang diungkap bersalah terhadap Teluk Balikpapan adalah Wilmar dan Kencana Agri Ltd.

“Herbisida yang digunakan untuk memberantas rumput menyebabkan polusi serius, mengancam ekosistem vital rumput laut. Selain penanaman, industri minyak kelapa sawit telah menjamur di sepanjang Teluk Balikpapan hingga menyebabkan kerusakan hutan, sedimentasi, dan polusi.”

Peta RTRW Kota Balikpapan 2005-2015 sebelum perluasan KIK. Sumber peta: Pemerintah Kota Balikpapan
Peta RTRW Kota Balikpapan 2005-2015 sebelum perluasan KIK. Sumber peta: Pemerintah Kota Balikpapan
Peta usulan revisi RTRW 2011-2031 setelah ada perluasan KIK. Sumber peta: Pemerintah Kota Balikpapan
Peta usulan revisi RTRW 2011-2031 setelah ada perluasan KIK. Sumber peta: Pemerintah Kota Balikpapan

Ekosistem

Teluk Balikpapan memiliki luas daerah aliran sungai (DAS) sekitar 211.456 hektare dan perairan seluas 16.000 hektare. Sebanyak 54 sub-DAS menginduk di wilayah teluk ini, termasuk salah satunya DAS Sei Wain yang merupakan hutan lindung atau yang dikenal Hutan Lindung Sungai Wain. Ada 31 pulau kecil menghiasasi wajah teluk. Sementara, pengembangan Kawasan Industri Kariangau seluas 5.130 hektare di wilayah teluk yang berada di Kelurahan Kariangau, Balikpapan Barat, Kota Balikpapan, mengancam kehidupan ekosistem yang ada.

Menurut Husain, Teluk Balikpapan penting bagi masyarakat sekitar. Di sepanjang pesisir ada desa nelayan tradisional, seperti Gersik, Jenebor, Pantai Lango, Maridan, dan Mentawir. Pendapatan ribuan nelayan tradisional itu bergantung pada kekayaan alam Teluk Balikpapan. Ekosistem yang terdegradasi menyebabkan nelayan tidak memiliki penghasilan. “Sering mereka menjual tanah dan lahan kepada pengembang usaha.”

Dari sudut konservasi, Teluk Balikpapan memiliki keanekaragaman hayati tinggi. Ada hutan hujan tropis primer, regenerasi hutan hujan tropis sekunder, hutan mangrove, rawa, lahan bebatuan, terumbu karang, rumput laut, dan laut dangkal. Hutan sekunder yang menghubungkan sekat hutan ini dengan hutan penting lainnya adalah area konservasi hutan Bukit Soeharto ke timur laut dan Gunung Meratus ke barat daya. Ekosistem perairannya menghubungkan Selat Makassar ke timur.

Terumbu karang unik ini berada di Teluk Balikpapan. Foto: Hendar
Terumbu karang unik ini berada di Teluk Balikpapan. Foto: Hendar

Husain menambahkan, Teluk Balikpapan merupakan habitat bekantan (Nasalis larvatus). Teluk Balikpapan menyokong habitat populasi bekantan terbesar di dunia, mencapai 1.400 individu, mewakili lima persen total yang ada. Keseluruhan, diperkirakan 20 – 25 ribu individu.

Di Teluk Balikpapan hidup lebih 100 jenis satwa lain seperti orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus), gibon kalimantan (Hylobates muelleri), lumba-lumba air tawar (Orcaella brevirostris), dugong (Dugong dugon), hingga beruang madu (Helarctos malayanus). Serta, lebih 300 jenis burung ada di sini misal tokhtor kalimantan (Carpococcyx radiceus radiceus) dan bangau storm (Ciconia stormi).

Dalam perspektif lebih luas, Teluk Balikpapan merupakan ekosistem besar yang tidak hanya bermanfaat bagi Kota Balikpapan, namun juga Kabupaten Penajam. Ada sungai yang berperan besar sebagai sumber air bersih, Sungai Wain. Sungai ini sumber air bersih utama perusahaan minyak dan industri vital di Balikpapan. Ada juga Sungai Semoi, Lawe-lawe, Riko, dan Tempadung yang merupakan sumber air di masa mendatang.

Kawasan Industri Kariangau tampak dari laut. Foto: Badan Penaman Modal dan Perizinan Pelayanan Terpadu Balikpapan
Kawasan Industri Kariangau tampak dari laut. Foto: Badan Penaman Modal dan Perizinan Pelayanan Terpadu Balikpapan

Hutan di sepanjang Teluk Balikpapan juga berperan pengendali banjir. Hutan berperan penting sebagai pengendali iklim setempat. Menurut Husain, potensi penggunaan sumber daya alam Teluk Balikpapan untuk peningkatan ekonomi berkesinambungan sangat besar namun belum dikembangkan.

“Dari sisi ekowisata, carbon trade akan menguntungkan. Dari segi ekonomi juga memberikan dampak positif bagi ekosistem Teluk Balikpapan. Apalagi hutan mangrove sebagai penyerap karbon yang efisien.”

Namun, dalam RTRW Kota Balikpapan, hutan diubah menjadi kawasan industri. Pada beberapa titik, ada yang memegang izin prinsip reklamasi sepanjang 200 meter dari bibir pantai. “Jadi, pengelolaan lingkungan Kota Balikpapan harus diperbaiki agar tidak blunder di kemudian hari.”

Peta Kawasan Industri Kariangau. Sumber: Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Balikpapan
Peta Kawasan Industri Kariangau. Sumber: Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Balikpapan
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,