Banjir DAS Cimanuk, Alih Fungsi Kawasan Yang Buruk

Hampir sepekan lalu bencana banjir bandang Sungai Cimanuk melumpuhkan sebagian wilayah Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pemulihan lingkungan pasca bencana mutlak disegerakan sebagai upaya perbaikan ekosistem yang rusak.

Badai pasti berlalu, harapan mesti terus melaju. Bencana bukan untuk melemahkan, namun sebagai pelajaran bahwa alam punya aturan tersendiri.

Seperti diberitakan Mongabay sebelumnya, potensi hujan akan terus terjadi hingga puncaknya Januari 2017 mendatang akibat fenomena La Nina. Kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk memang memiliki peran penting. Mestinya berfungsi sebagai penopang resapan air, tetapi kondisinya justru kritis akibat alih fungsi lahan yang sangat masif di daerah hulu.

Aktivis  lingkungan, Nia Kurniawan, mengatakan terjadinya alih fungsi lahan di daerah hulu ketika program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakt (PHBM) dari Perum Perhutani bergulir.  Tujuan daripada PHBM sendiri memberdayakan masyarakat untuk memanfaatkan lahan/ruang hutan dari aspek ekologi dan ekonomi.

Dia melanjutkan  sesaat PHBM berjalan, lahirlah Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Lembaga inilah yang menjadi wadah masyarakat sekaligus berkewenangan mengelola lahan dengan menjalin kerjasama bersama Perhutani.

“Tujuannya sebetulnya sudah baik, namun pengawasan dan kontrolnya yang lemah. Terbukti dengan lahan yang seharusnya tidak diganggu malah dibabat hutannya. Terjadi pembukaan lahan secara sporadis dan tidak terkendali,” ujar dia saat meninjau sumber air Cikamiri di Puncak Cae, kawasan Darajat, Jabar, Minggu (25/09/2016) lalu.

Nia mengatakan  pada praktiknya masyarakat kurang diberikan pemahaman tentang kaidah – kaidah konservasi. Sehingga kurang maksimalnya pengetahuan masyarakat terhadap daya dukung lingkungan.

“Aturanya kan tidak boleh menggunakan lahan di atas kemiringan 30 derajat untuk digarap. Di hulu banyak sekali masyarakat menggarap holtikultural dan palawija,” ucapnya.

Petani menggarap lahan holtikultura dan palawija di Kawasan hulu DAS Cimanuk, Kawasan Darajat, Kabupaten Garut, Jabar. Kawasan pertanian di DAS hulu Cimanuk menyebabkan sedimentasi pada aliran sungai. Foto : Donny Iqbal
Petani menggarap lahan holtikultura dan palawija di Kawasan hulu DAS Cimanuk, Kawasan Darajat, Kabupaten Garut, Jabar. Kawasan pertanian di DAS hulu Cimanuk menyebabkan sedimentasi pada aliran sungai. Foto : Donny Iqbal

Dia menuturkan di daerah hulu masuk ke kawasan hutan lindung yang boleh dimanfaatkan. Masyarakat boleh menanam tetapi tumbuhan pokoknya harus juga di tanam. Bedasarkan versi PHBM, lanjut dia, tanaman yang dimaksud adalah kopi dan eukaliptus.

“Hutan lindung bisa dimasuki dengan pengecualian PHBM tadi. karena masyarakat kebutuhannya kan ekonomi. Sebetulnya konsep PHBM memberi pilahan kepada masyarakat antara menanam kopi dan sayuran. Namun lebih baik kopi dari segi ekonomi lebih menguntungkan serta ekologinya juga lebih ramah lingkungan,” kata Nia yang juga sebagai Koordinator Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Garut.

Dia berujar ada sekitar 500 petani yang menggantungkan hidupnya menggarap lahan di kawasan hulu. Rata – rata penghasilan mereka antara Rp30.000 – Rp35.000 sampai ngabedug (sesudah dzuhur). Kebanyakan lahan dikelola oleh pemilik modal yang luasnya bisa mencapai lebih dari 5 hektar.

Untuk menyiasati perambahan lahan, pihaknya bersama beberapa pihak terkait mencanangkan pagar alam sepanjang 15 km di kawasan sekitar Gunung Papandayan. Nantinya, kata dia, akan menjadi batas antara hutan lindung dan kawasan konservasi.

“Rencananya akan kami tanam pohon huru (tumbuhan endemik) sepanjang 15 km dengan lebar 6 meter  terdiri dari 3 jajar pohon. Harapan kami bisa melindungi kawasan dari perambahan serta ingin memberikan edukasi kepada masyarakat tentang konservasi. Agar alam lestari dan ekonomi masyarat tidak terganggu,” pungkasnya.

RTRW Garut

Sementara itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Pemkab Garut, Widiyana, mengatakan terkait dengan zonasi wilayah yang boleh dibangun dan yang tidak boleh dibangun adalah kawasan hutan konservasi yang mencakup cagar alam, hutan suaka alam dan taman buru di bawah kewenangan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

Dia melanjutkan adapun kegiatan yang diperbolehkan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung di bawah Perhutani adalah pemanfaatan kawasan pada hutan lindung adalah segala bentuk usaha yang menggunakan kawasan dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan.

“Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung adalah bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya,” ucap Widiyana ketika dihubungi Mongabay melalui telepon.

Untuk peruntukkan lainnya baik, yang masuk kawasan lindung maupun kawasan budidaya dalam Recana Tata Ruang Wilayah (RTRW), rencana pola ruang terbagi atas kawasan lindung dan kawasan budidaya. Untuk lahan yang sudah dialihfungsikan terdapat ketentuannya dalam aturan peralihan RTRW.

“RTRW sesuai dengan UU No.26/2007 (tentang Penataan Ruang) memang berlaku untuk 20 tahun. Dan masih bersifat umum serta masih bersifat kebijakan dan strategi secara umum. Yang seharusnya diterjemahkan lebih detil ke dalam Recana Detail Tata Ruang (RDTR),” tuturnya.

Kondisi daerah serapan air yang beralih fungsi menjadi lahan pertanian di Kawasan Darajat, Kabupaten Garut, Jabar. Foto : Donny Iqbal
Kondisi daerah serapan air yang beralih fungsi menjadi lahan pertanian di Kawasan Darajat, Kabupaten Garut, Jabar. Foto : Donny Iqbal

Dinas Tata Ruang dan Permukiman (Distarkim) Pemkab Garut, lanjut dia, sudah menyusun beberapa RDTR. Namun memang belum ada yang masuk proses legalisasi peraturan daerah.

Widiyana menerangkan terkait dengan alih fungsi lahan di kawasan hutan baik itu yang dikelola oleh Perhutani maupun BKSDA. Dalam RTRW sudah diatur bagaimana rencana pola ruangnya hal ini terkait dengan mengenai kewenangan dan pengelolaannya saja.

Dia menegaskan yang perlu ditekankan adalah bagaimana pengendalian pemanfaatan ruangnya. Pemkab Garut secara perencanaan sudah konsisten mengadopsi kawasan hutan tersebut dalam RTRW.

“Namun terkait dengan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan hutan tersebut sebetulnya yang lebih berwenang adalah pengelolanya,” tutur Widiyana.

Pola Kebijakan

Di lain tempat, Kepala BKSDA Jawa Barat, Sylvana Ranita, menuturkan keseluruhan luas hutan di Garut mencapai 100 ribu hektar lebih. 81 ribu diantaranya merupakan kawasan hutan lindung dan 18 ribu wilayah konservasi.

Dia menerangkan kawasan hulu memang seringkali terjadi perambahan dan alih fungsi secara berlebihan. Luas Sub DAS Cimanuk hulu sekitar 1453 hektar.  Disana juga terjadi sedimentasi yang mencapai  434 ton perhektar dengan run off (limpasan permukaan) 251 juta meter kubik.

“Alih fungsi lahan di hulu yang menyebabkan tanah menjadi jenuh karena tidak ada tegakan dan tidak bisa menampung air. Selain pola kebijakannya juga harus dibenahi. Dulunya hutan lindung merupakan hutan produksi kemudian tahun 2000-an berubah karena memang kawasan tersebut harus dilindungi,” paparnya.

Yang menjadi kewenangan BKSDA, lanjut dia, sekitar 18 ribu hekatar terdiri dari Cagar Alam Papandayan, Taman Wisata Alam Papandayan, Cagar Alam Kamojang dan Taman Wisata Kamojang.

“Jumlah kawasan 18 hektar tersebut berdasarkan peta satelit tahun 2012 yang didigitalisasi 2013. Ada bekas kebakaran di hutan Cagar Alam Papandayan sekitar 400 hektar dan beberapa ratus hektar bekas perambahan. Kondisinya mulai menghijau namun tidak seperti semula,” jelas dia.

Dia menjelaskan tugas BKSDA melakukan pengamanan terhadap  perambahan kawasan dan pengendalian kebakaran. Untuk pengamanan pihaknya melakukan patroli .

“Personil kami memang sedikit di lapangan. Untuk di Papandayan polisi hutan  ada 7 orang, di Kamojang 7 orang dan bagian di BKSDA Garut ada 9 orang.  Hampir rata – rata di setiap kawasan ada 4 – 7 orang. Jadi (rasio tugas dengan wilayah pengamannya) satu orang bisa menjaga sekitar 500 hektaran,” kata Sylvana.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,