Mongabay Travel: Melihat Bekantan di Hutan Mangrove Tengah Kota

Sore di penghujung Agustus 2016, matahari tak begitu tampak. Mendung menyelimuti Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Jufiansyah, 51 tahun, tukang ojek yang saya tumpangi menghentikan motornya tepat di depan SMA Negeri 8 Balikpapan. Dua lembar uang sejumlah Rp15.000 saya berikan kepadanya.

“Di belakang sekolah ini hutan mangrove-nya,” kata pria yang berasal dari Suku Banjar itu.

“Kalau ingin lihat bekantan sore begini bagus. Kalau tidak, besok pagi sekali sekitar jam 6.00 Wita adalah waktu yang tepat.”

Jufiansyah lalu menjadi guide dadakan. Ia menawarkan jasanya mengantarkan saya ke hutan mangrove. Sekilas dari luar, tak ada tanda-tanda bahwa hutan mangrove dan monyet belanda tersebut hidup damai di sini. Di wilayah permukiman padat dan berisik, lalu lintas yang ramai, serta suara dari pengeras suara yang terus menggema. Letaknya di Kelurahan Margomulyo, Kecamatan Balikpapan Barat.

“Lewat lorong ini, Mas,” seru Jufiansyah.

Tepat di samping SMA 8 Balikpapan itu adalah pintu masuk menuju hutan mangrove. Beberapa langkah kemudian, saya disambut jembatan yang terbuat dari kayu ulin; sebelah kirinya tutupan mangrove mulai tampak dan sebelah kanan terdapat dua bangunan rumah panggung. Penghuninya menjemur pakaian di jembatan. Kenderaan roda dua juga terlihat melintas di tempat ini.

Dari rumah panggung itu, seorang perempuan muda keluar. Jufiansyah meminta saya menemuinya, dan membayar retribusi masuk dalam kawasan.

“Tak ada harga retribusi, Mas. Cukup bayar seikhlasnya,” kata Dwi, perempuan muda itu.

Jembata kayu ulin yang menjadi penghubung daerah wisata hutan mangrove Margomulyo. Foto: Christopel Paino
Jembata kayu ulin yang menjadi penghubung daerah wisata hutan mangrove Margomulyo. Foto: Christopel Paino

Saya memberikan uang seharga Rp10.000. Jufiansyah lalu pamit pulang karena merasa sudah menyelesaikan tugasnya mengantarkan saya ke hutan mangrove. Untuk masuk ke dalam kawasan memang belum ditetapkan oleh pemerintah setempat besaran biayanya. Sehingga, warga sekitar hanya mengharapkan pemberian uang dari pengunjung sesuai keikhlasan.

“Mas, kalau mau lihat bekantan nanti ketemu simpang tiga, belok kiri. Biasanya bekantan bermain di situ,” ujar Dwi lagi.

Saya melangkahkan kaki mengikuti jembatan dari kayu ulin itu. Setelah melewati pintu gapura bertuliskan “selamat datang”, sebuah pos informasi menyatakan bahwa luasan hutan mangrove ini adalah 21 hektare, dengan jarak tanam 1 X 1 meter. Jenis-jenis yang ditanam yaitu Rhizopora apiculata, Rhizopora mucronata, Sonneratia casiolaris, Sonneratia alba, Avicenia alba, Avicenia lanata, Ceriops taga, Ceriops decandra, Brugilera gymnorrhiza, Lumnitzera littorea, Xylocarpus granatum, Nypafruticans, Acrostichum, dan Scyphiphora.

Di beberapa titik, tutupan pohon mangrove sangat bagus dan memberikan kesejukan. Namun di bagian lain, ada pohon yang tampak rusak dan papan-papan dari berbagai lembaga maupun organisasi tertentu, tertancap yang meninggalkan jejak tulisan pernah melakukan kegiatan di sini.

Semakin ke dalam, belum satupun kawanan bekantan muncul. Yang terlihat hanyalah beberapa burung yang berkicau, bermain dan mencari makan di aliran sungai kecil. Salah satunya Collared kingfisher. Burung ini sayapnya dominan berwarna biru, leher hingga dadanya putih, dan paruh hingga kepalanya hitam.

Di kawasan hutan mangrove ini, banyak wisatawan yang datang. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Beberapa rombongan menghabiskan waktu hanya untuk mencari kesejukan sembari melihat langsung kawanan bekantan.

Menjelang maghrib, ketika matahari perlahan bergerak ke peraduannya, dan kawasan hutan mulai sepi, pada pucuk mangrove terlihat seperti bergoyang diguncang angin. Satu persatu, kawanan bekantan muncul. Ciri khasnya, hidung yang panjang. Mereka melompat dari satu dahan ke dahan lain. Bahkan, salah satu induk melompat dengan sang bayi yang menempel di dada. Sementara sang jantan, memperhatikan suasana sekitar. Kawanan bekantan itu turun ke bawah hingga ke jembatan yang terbuat dari kayu ulin itu. Mereka mencari makanan buah mangrove yang posisinya lebih rendah.

Burung, hidupan liar yang akan terlihat di hutan kota mangrove ini. Foto: Christopel Paino
Burung, hidupan liar yang akan terlihat di hutan kota mangrove ini. Foto: Christopel Paino

Nasalis larvatus merupakan satu dari banyak jenis primata yang sangat tergantung pada hutan pesisir dan sungai-sungai besar yang semakin menghilang. Populasinya di hutan mangrove yang berada di pusat kota ini diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomi masyarakat sekitar sebagai destinasi ekowisata.

Sayangnya, regulasi yang mengaturnya belum digarap serius. Salah satunya adalah dengan tidak ditetapkannya retribusi masuk kawasan. Sementara pengunjung yang datang dengan bebasnya, beberapa di antaranya terlihat meninggalkan jejak sampah. Hal yang sangat disayangkan dan merugikan hutan mangrove yang masih terjaga di pusat Kota Balikpapan, sekaligus rumah bagi bekantan.

Menurut catatan Forum Peduli Teluk Balikpapan, habitat utama bekantan di kota beruang madu ini ada di Teluk Balikpapan. Wilayah ini menyokong habitat populasi bekantan yang mencapai 1.400 individu, yang mewakili lima persen dari estimasi total keseluruhan jumlah bekantan yang ada. Meski secara keseluruhan populasi bekantan di perkirakan mencapai 20 – 25 ribu individu, namun beberapa populasi penting lainnya masih belum diketahui atau masih belum diperhatikan.

Bekantan merupakan satwa yang dilindungi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Juga, masuk dalam daftar CITES Apendix I atau tidak boleh diperdagangkan. International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan statusnya Genting (Endangered/EN).

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,