Mengenal Kalaodi, Kampung Ekologi Pelindung Tidore

Harum bunga cengkih menusuk hidung, ketika menyusuri jalanan menanjak menuju Kampung Kalaodi, Pulau Tidore, Maluku Utara. Awal Agustus hingga September ini, para petani sedang panen cengkih.

Kampung ini dikenal penghasil cengkih, pala dan bambu. Kita bisa melihat sepanjang tepian  jalan menuju kampung,   pohon-pohon cengkih menjulang.  Petani  tampak bergelantungan memanen cengkih.

Menempuh  perjalanan sekitar 20 menit bermotor melewati sekitar 10 kelokan dari Kelurahan Cobodoi  hingga mencapai Kalaodi, membuat jantung berdegup.

Jalanan menanjak. Kiri kanan jurang dalam. Meskipun begitu, rasa lelah hilang seketika kala berada  di puncak Kampung Kalaodi. Ia pintu masuk, sebelum turun menyusuri perkampungan.

Kala mengarahkan pandangan ke  Timur,  terlihat  Kota Tidore  dan Pulau Halmahera. Ke Barat, tampak Pulau Maitara dan Kota Ternate.

Kehidupan warga Kampung Kalaodi, yang masuk Hutan Lindung Tagafura ini, begitu memuliakan alam alam. Mereka hidup harmoni dengan alam.

Warga setempat sering menyebut nama kampung ini Sekalaodi, dalam bahasa Tidore,  lama bermakna  memberi petunjuk atau jalan yang benar. Ada juga menyebut  Kampung di Atas Awan atau bahasa Inggris cloudy.

Kayu manis, salah satu hasil tanam warga Kalaodi. Foto: M Rahmat Ulhaz
Kayu manis, salah satu hasil tanam warga Kalaodi. Foto: M Rahmat Ulhaz

Berada pada ketinggian ± 900 mdpl, kampung ini begitu sejuk. Meski matahari di ubun- ubun, terasa  tetap adem. Kampung ini juga terbilang lengkap.  Warga, ramah menerima siapa saja.

Mereka tetap menjaga tradisi, yang berisi ritual kecintaan kepada alam. Sebagian orang bahkan, menyebut kampung ini sebagai penjaga Tidore.

Kalaoadi bak miniatur kampung  ekologi, sekaligus laboratorium pengetahuan alam. Kebun mereka tanami seperti pala,  cengkih,  durian dan kayu manis.

Dalam membahas urusan soal kampung, warga ada pertemuan seminggu sekali, setiap Kamis malam. Warga  menyebut, rapat malam Jumat. Pada keesokan hari,  ada ritual dikenal dengan Hari Raya Kecil.

Dalam menjaga alam, warga  memiliki budaya dan tradisi ketat. Jika dilanggar, warga meyakini bisa mencelakai mereka.  Warga menyebut dengan bobeto. Dalam bahasa Tidore bermakna sumpah turun temurun.

Kala ada warga melanggar adat dan tata aturan termasuk merusak alam,  dampak bakal dirasa langsung. Bobeto bermakna janji tak berbuat  jahat,   jujur dan selalu menjaga alam.

Merek juga ada ritual ucap syukur nikmat alam dari sang kuasa usai panen. Tradisi ini disebut paca goya atau pesta pasca panen.

Tradisi  ini,  semacam istirahat dari beragam aktivitas. Nyepi  dari keduniaan.  Selama tiga hari  berhenti beraktivitas harus untuk menghormati paca goya ini.

Warga berkumpul usai upayaca Panca Yoga. Foto: M Rahmat Ulhaz
Warga bersih-bersih tempat-tempat keramat kala upacara Panca Yoga. Foto: M Rahmat Ulhaz

 

 

 

***

Tanah datar sekitar 30 meter persegi, jadi penanda    memasuki Kalaodi. Tampak kantor lurah  menyambut setiap orang yang akan ke Kalaodi.

Kantor lurah juga tempat  pengumuman dan  beragam informasi  melalui spanduk dan baliho yang berbaris di tebing sisi kanan jalan.

Berdasarkan data Pemerintah Kelurahan  Kalaodi , tahun 2012,  kampung ini memiliki  penduduk  454 jiwa atau 105 keluarga. Kalaodi berubah dari desa  menjadi kelurahan   pada 2007.

Kampung  bagian timur Tidore ini sesuai hasil pemetaan warga bersama Walhi Maluku Utara  2014,   memiliki   luas 2.000  lebih hektar, sudah termasuk pemukiman dan perkebunan.

“Masyarakat memetakan ulang, ternyata data luasan Kalaodi ini berbeda- beda baik pemerintah,  terutama Dinas Kehutanan,” kata Ismet Soelaiman,  Direktur Walhi Maluku Utara.

Untuk  rumah warga jangan dibayangkan   ada di lahan datar. Rumah  warga dibangun mengikuti lereng.

Kampung ini meski di puncak gunung,  rata-rata berdinding  beton, beratap seng. “Rumah warga Kalaodi dulu,  rata- rata pakai bambu.  Sekarang, seiring waktu, warga membangun rumah beton,” kata Abdurahman  Ali   tokoh  masyarakat Kalaodi  ditemui awal September.

Sebelum 1986, katanya, tak ada jalan ke Kalaodi. Warga hanya mengandalkan jalan kebun, berjalan kaki menanjak. Jalan baru buka 1992.

“Kalau membangun rumah  beton sulit  mengangkut  material, semen, pasir,  bahkan   batu harus dipikul dari  Soasio  atau Rum dengan jalan menanjak sekitar tiga kilometer. Kayu harus pikul,” katanya.

kalaodi3-20160920_110727

Setelah ada jalan, jalur transportasi warga jadi lebih mudah. Warga mudah bikin rumah karena mobil  bisa masuk sampai Kalaodi.

“Awalnya  warga banyak membangun rumah bambu. Di Kalaodi, ada lahan khusus bambu. Ini bahan baku rumah,” katanya.

Kampung ini masuk Hutan Lindung Tagafura berdasarkan penetapan pemerintah pada 1982. Penetapan ini  agak meresahkan warga karena  menyusahkan mereka berkebun. 

Dia bilang, andai sang Kepala Kampung,  Yunus S Hadi  yang menjabat Kades 1971-1972,  masih hidup, kemungkinan menolak kampung masuk hutan lindung.

“Kampung kami ini berdiri ratusan tahun lalu. Kok  tiba- tiba pemerintah datang, menetapkan sebagai hutan lindung? Akal kami tak bisa menerima. Kasihan. Waktu itu masyarakat kami wawasan terbatas  hingga tak menolak,” ucap Samsudin, Sekretaris Lurah Kalaodi ini.

Penolakan itu, katanya,    sangat beralasan karena wilayah ini turun menurun wilayah hidup mereka.

Ada juga kampung lain berbatasan langsung  dengan Kalaodi, Gurabunga.  warga menolak menjadi hutan lindung.

Serupa dikatakan Lurah Kalaodi, A Riwayat Hadi. Dia merasa tak adil kampung mereka jadi hutan lindung.

“Negara ini baru merdeka. Ratusan tahun sebelum merdeka Kalaodi,  sudah ada. Kenapa kampung kami sebagai hutan lindung?” katanya.

Dia menduga, penetapan hutan lindung ada kaitan masalah politik.  Di mana,  ada penduduk turun dari gunung berpindah ke Kota Tidore, tetapi masih bertahan  di Desa  Kalaodi.

“Ada juga ke Halmahera. Karena perseteruan ini,  Dinas Kehutanan waktu itu langsung menetapkan kawasan ini menjadi  hutan lindung.”

Kalaodi dulu kampung induk di Soasio,  Ibu Kota Tidore. Setelah mekar, Kalaodi berdiri sendiri. “Pertanyaannya ketika sudah begitu lama kampung-kampung ini ada  kenapa  ditetapkan masuk hutan lindung?” katanya.

Padahal, apapun status kawasan itu, ucap Riwayat, warga tetap menjaga alam dan lingkungan. Hanya, kala status hutan lindung sekarang, katanya, warga terkekang, misal, kala mau buka kebun maupun lahan pertanian.

Sesuai data Dinas Pertanian, Kehutanan Perkebunan dan Ketahanan Pangan Kota Tidore  Kepulauan  luas hutan lindung  Tagafura  mencapai   2.513.08 hektar. Luasan ini  masuk tiga kecamatan yakni Tidore Selatan,  Tidore Timur dan Tidore Utara.  Hutan lindung ini,  di tengah ada Kalaodi.

Keterbatasan lahan ini ,  sudah terbaca sejak lama. Sebagian mereka transmigrasi ke Kecamatan Oba, Halmahera. Itu terjadi sejak 1960.

Menurut Abdurahman,  transmigrasi waktu itu sebagian keluarga ke Oba Tengah seperti di Garjaou, Somahode dan Desa Oba.

“Setiap rumah  tiga orang berangkat bertransmigrasi.”

Perpindahan warga ini, katanya, karena lahan terbatas dan perintah  Sultan Tidore waktu itu.

Kerajinan bambu, salah satu upaya warga memanfaatkan bambu, yang memiliki fungsi lain sebagai penguat tebing (lahan) warga. Foto: M Rahmat Ulhaz
Kerajinan bambu, salah satu upaya warga memanfaatkan bambu, yang memiliki fungsi lain sebagai penguat tebing (lahan) warga. Foto: M Rahmat Ulhaz

 

 

 Kampung  cengkih dan  pala

Hutan Lindung Tagafura dengan Kampung Kalaodi  cukup kaya tanaman-tanaman konservasi, produktif, dan bernilai ekonomi tinggi.

Tanaman warga sangat beragam, mulai bamboo, cengkih sampai pala. Cengkih dan pala, paling banyak. Di sela-sela pala dan cengkih  warga menanam kenari, kayu manis durian dan pinang.

Kala musim cengkih, kiri kanan jalan dipenuhi cengkih jemuran warga.  Begitupun  jika memasuki panen pala. Kiri kanan jalan kampung dipenuhi biji pala dan fuli.

“Penghasilan  utama dari pala dan cengkih.  Semua kebun warga ditanami tanaman ini.  Sekarang panen cengkih hampir berakhir,”  kata Abdurahman.

Cengkih dan pala, tanaman utama. Bambu  menjadi pelindung tebing dan lahan,  yang sangat miring.  “Kalau bambu menahan erosi. Selain untuk bangunan  juga kerajinan.”

Sebagian warga juga menanam kayu manis.

Setiap musim panen  Kalaodi menghasilkan pala dan cengkih mencapai ratusan ton. ”Kami tak menghitung pasti. Tapi  bisa ratusan ton masuk ke Tidore. Ini karena lahan pala dan cengkih sampai ratusan hektar,” ucap Abdurahman.

Untuk bamboo, sudah jarang jadi bahan membangun rumah. Warga jadikan bambu kerajinan, seperti, saloi  semacam keranjang ibu-ibu ketika ke kebun ataupun  tolu  sejenis topi lebar  pelindung  kepala dari hujan dan panas.

“Sekarang, sebagian ibu-ibu  memanfaatkan  bambu  untuk kerajinan dijual ke pasar,” katanya.

Kalaodi juga pusat durian. Tak heran, kala . memasuki musim durian, Tidore selalu dibanjiri durian Kalaodi. Durian Kalaodi, cukup terkenal di Kota Tidore. Tak heran, durian Kalaodi, tak hanya ada di pasar Tidore, juga Ternate.

Cengkih. Kala musim panen cengkih, kiri kanan jalan akan dipenuhi jemuran cengkih. Foto: M Rahmat Ulhaz
Cengkih. Kala musim panen cengkih, kiri kanan jalan akan dipenuhi jemuran cengkih. Foto: M Rahmat Ulhaz

 

Tata kelola  hutan

Masuk hutan lindung, pengelolaan lahan tak bisa sembarangan. Sejak  kawasan masuk hutan lindung, tak ada lagi warga membuka perkebunan baru.

Jauh sebelum itu, masyarakat membuka lahan berdasarkan kelompok masyarakat. Mulai kebun pemuda, kebun kampung atau lingkungan dan kebun  mesjid serta sarana desa.

“Pembagian lahan kelola ini sejak dulu. Sejak 1970–an. Kebun-kebun itu milik komunal berdasarkan kelompok dengan tanaman cengkih dan pala,” kata Abdurahman.

Hasil kebun untuk kepentingan umum.  Awalnya, mengerjakan kebun dengan gotong royong  dari pembersihan, penanaman hingga perawatan.

Dari masing- masing lahan kelola itu, ditanami pala dan cengkih seluas dua hektar.   Di kebun pemuda, ada cengkih 200 pohon. Hasil kebun ini sebagian besar untuk pembangunan kampung.

“Di samping jalan dekat tebing dibuat pagar tembok sebagai pengaman, sepanjang 200 meter. Itu hasil panen  kebun cengkih pemuda dalam beberapa tahun,” katanya.

Begitu juga kebun mesjid, ditanami cengkih dan pala untuk kebutuhan mesjid. Kebun  kampung atau lingkungan  menjadi pendapatan  desa pada masing- masing lingkungan.

Kalaodi   memiliki empat  lingkungan, berjarakn sekitar dua kilometer,  dipisahkan lahan kebun warga.

Empat lingkungan itu masing- masing  Swom di bagian Timur,  Dola pusat pemerintahan kelurahan di daerah puncak, Kola berada di Timur dan Gulili bagian Utara.

Masing-masing lingkungan, katanya,  memiliki lahan kelola  sendiri. “Warga hanya berhak memakai dengan tanaman tahunan. Lahan milik komunal. Kita hanya memiliki tanaman.”

Pembagian lahan kelola seperti ini, menurut warga kepala desa  yang menjabat 1970-1972. Bermana Yunus S Hadi, sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu.

Yunus memiliki andil  besar menggerakkan masyarakat setempat mengelola kebun  berdasarkan kelompok. Dia dianggap salah satu kades  yang sukses  memimpin Kalaodi.

Menurut Samsudin, Yunus cerdas  karena sudah berpikir  dampak keterbatasan lahan ke depan.

Dia mendatangkan penyuluh pertanian  pada 70-an dan mereka mendatangkan bibit cengkih,   kemudian ditanam warga hingga kini.

“Dia yang  mendatangkan mantra pertanian waktu itu. Kini cengkih dan pala memenuhi lahan di  Kalaodi karena jasanya,” katanya.

Cengkih berjemur sepanjang jalan...Foto: M Rahmat Ulhaz
Cengkih berjemur sepanjang jalan…Foto: M Rahmat Ulhaz
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,