TNKS yang Tak Lekang oleh Ancaman Pembelahan Kawasan (Bagian 1)

Komite Warisan Dunia pada 2004 menetapkan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) bersama Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) sebagai Situs Warisan Dunia (World Heritage). Namun, akibat tingginya ancaman seperti perambahan, pembalakan liar, ekspansi perkebunan monokultur dan pembangunan jalan, World Heritage Committee UNESCO memasukkan Tropical Rainforest Heritage of Sumatera ini (TNKS, TNBBS dan TNGL) sebagai Situs Warisan Dunia dengan status In Dangered (terancam) pada 22 Juni 2011.

Adanya rencana pembangunan 30 jalan yang membelah TNKS merupakan ancaman besar yang dikhawatirkan akan memantik bencana ekologis di kawasan tersebut. Padahal, bila dilihat awal perjalanannya, TNKS dibentuk dari 17 kelompok hutan yang merupakan bagian hutan lindung register tahun 1921-1926 (ditetapkan Belanda), cagar alam dan suaka margasatwa yang ditetapkan pada 1978-1981, ditambah kawasan hutan produksi. Usulan pembentukan TNKS dilakukan berdasar hasil penelitian Direktorat Jenderal Perlindungan dan Pelestarian Alam dan WWF yang disponsori FAO (Food and Agriculture Organization) pada 1977 – 1980.

Berdasarkan SK Menhut No.420/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004, luas TNKS yang membantang di Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, dan Sumatera Barat ini sekitar 1.389.510 hektare. Peran vital yang tidak disangsikan adalah sebagai daerah tangkapan air untuk 23 sungai utama di empat provinsi tersebut. Sebut saja Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Hari di Jambi, DAS Ketahun di Bengkulu, dan DAS Musi di Sumatera Selatan. Dari sisi keragaman hayati, ada 4 ribu spesies tumbuhan, 370 spesies burung, dan 85 spesies mamalia yang hidup nyaman di sini.

Julang emas merupakan burung berukuran besar hingga 100 cm. Wreathed Hornbill ini ada di TNKS. Foto: Asep Ayat
Julang emas merupakan burung berukuran besar hingga 100 cm. Wreathed Hornbill ini ada di TNKS. Foto: Asep Ayat

Koalisi Kerinci Seblat yang dibentuk oleh Genesis, Kanopi, Lingkar Institut, Walhi Bengkulu, Walhi Sumatera Selatan, Walhi Jambi, LTB Jambi dan Akar Network telah mengkritisi rencana pembangunan jalan yang akan membelah kawasan TNKS tersebut.

“Surat penolakan terhadap rencana pembangunan 30 ruas jalan yang membelah TNKS sudah kami sampaikan ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, bertanggal 2 Juni 2016. Dalam surat, kami menyatakan bahwa rencana pembangunan tersebut melanggar lima peraturan dan perundangan,” ujar Supintri Yohar, Koordinator Akar Network, kepada Mongabay pertengahan September.

(Baca: TNKS Bisa Dihapus dari Daftar Situs Warisan Dunia Bila Rencana Ini Dilakukan)

Lima regulasi yang dimaksud adalah UU No 5/1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alarn Hayati dan Ekosistemnya, UU No 41/1999 Tentang Kehutanan, UU No 32/2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, serta Peraturan Presiden No 13/2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Pulau Sumatera.

Menurut Supintri, rencana pembangunan jalan yang membelah TNKS harus dikaji kembali. Apalagi, pencantumannya ada pada peraturan daerah RTRW Provinsi Jambi No 10 Tahun 2013, Perda RTRW Kabupaten Kerinci No 24 tahun 2012, dan Perda RTRW Kabupaten Lebong No 14 tahun 2012. “Kondisi ini menurtunya mengindikasikan upaya penyalahgunaan kewenangan dan perbuatan melawan hukum yang dilegalkan melalui perda. “Mestinya, Menteri Dalam Negeri membatalkan perda itu karena bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.”

Rencana pembangunan jalan yang membelah TNKS, seutuhnya bukan isu baru. Sudah dihembuskan sejak 1900-an dan terus bergulir hingga sekarang. Ketidaktegasan dan lemahnya penegakan hukum diduga membuat persoalan ini tidak pernah terselesaikan. Beragam argumen dilontarkan untuk memuluskan rencana pembangunan jalan tersebut.

Selain iming-iming untuk kesejahteraan masyarakat karena akan ada pasar baru dan membuka keterisolisasian, alasan lain yang disampaikan adalah mengkaitkannya dengan perihal kemanusiaan dan kebencanaan. “Membangun itu harusnya menjauhkan masyarakat dari potensi bencana, bukan malah mendekatkan atau meningkatkan potensi bencana. Perambahan akan meningkat dan kawasan yang dibuka akan semakin lebar, dengan adanya pembangunan jalan. Satwa juga terancam,” ujar Supintri.

Harimau sumatera. Foto: Rhett A. Butler
Harimau sumatera. Foto: Rhett A. Butler

Terkait iming-iming yang bakal memakmurkan masyarakat, tokoh pemuda adat Rejang, Sugianto Bahanan, menyangsikannya. “Pasar baru untuk siapa? Masyarakat lokal lah yang akan menjadi pasar baru karena semakin mudah dan lancar dijangkau. Sehingga, konsumerisme akan menjadi gaya hidup masyarakat. Dampaknya, bisa meningkatkan kemiskinan atau semakin miskin.”

Mengenai penjualan komoditi pertanian dan perkebunan yang bakal mulus bila ada pembangunan jalan, justru keterjangkauan pedagang skala besar akan berdampak pada  kenaikan harga komoditi. Malah, bisa-bisa pedagang skala kecil yang dilibas sementara pedagang besar yang untung. “Dari aspek uang yang beredar, pembangunan jalan tidak akan berdampak besar. Justru, uang hasil menjual komoditi pertanian dan perkebunan akan dibawa ke luar daerah akibat konsumerisme masyarakat.”

Menurut Sugianto, pembangunan jalan bukanlah solusi yang strategis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penciptaan nilai tambah dengan mengolah bahan baku menjadi barang setengah jadi atau barang lah solusi strategisnya. “Mengenai pasar, inilah indikator kemampuan kinerja pemerintah daerah. Bila berhasil membantu masyarakat memasarkan barang setengah jadi atau barang jadi ke luar daerah, ini yang kami harapkan.”

Panorama Danau Tes yang sumber airnya berasal dari DAS Ketahun. Foto: Dedek Hendry
Panorama Danau Tes yang sumber airnya berasal dari DAS Ketahun. Foto: Dedek Hendry

Kekacauan sosial

Ketua Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara “Tanah Rejang” Maryono mengatakan, rencana pembangunan jalan yang membelah TNKS wilayah Bengkulu sangat tidak menghormati hak-hak masyarakat adat. Salah satunya, hak untuk mendapatkan informasi, menerima atau menolak pelaksanaan program tanpa tekanan. “Kami tidak pernah diundang atau mengetahui ada perwakilan masyarakat adat Rejang yang diundang terkait rencana tersebut.”

Rencana pembangunan jalan bukanlah solusi. Yang dibutuhkan masyarakat adat Rejang adalah lahan, kenyamanan, dan keamanan berusaha, bukan jalan. Menurut Maryono, bila rencana pembangunan jalan direalisasikan bakal memperburuk kondisi. Bukan hanya menciptakan konflik horizontal antara masyarakat Rejang dan pendatang, tetapi juga konflik vertikal antara pemerintah dengan perambah.

“Kekacauan sosial yang terjadi. Artinya, bila pemerintah menyetujui rencana pembangunan jalan yang membelah TNKS, tidaklah berlebihan bila muncul anggapan bahwa pemerintah ingin menciptakan kekacauan sosial dan memperparah kerusakan TNKS,” kata Maryono.

PLTA Tes yang digerakan air dari DAS Ketahun. Selain digunakan untuk PLTA, air DAS Ketahun digunakan masyarakat juga untuk kebutuhan sehari-hari dan bertani. Foto: Dedek Hendry
PLTA Tes yang digerakan air dari DAS Ketahun. Selain digunakan untuk PLTA, air DAS Ketahun digunakan masyarakat juga untuk kebutuhan sehari-hari dan bertani. Foto: Dedek Hendry

Aktivis perempuan Walhi Bengkulu Oktari Sulastri berharap, ada keputusan bijaksana dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan guna menghindari kekacauan besar di TNKS ini. Menolak permohonan izin dan memberi peringatan ke pemerintah daerah (pemda) yang merencanakan pembangunan jalan yang membelah TNKS penting dilakukan.

Selain mengabaikan hak perempuan atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, pembangunan jalan tersebut merupakan keputusan yang bias gender, kelas sosial, dan generasi. “Keputusan yang sangat patriarkis atau maskulin, yang hanya memuluskan kepentingan elit politik dan pemodal. Sama sekali tidak memikirkan nasib generasi penerus.”

Menurut Oktari, perempuan adalah korban paling menderita akibat kerusakan lingkungan hidup. Bukan hanya memperberat beban untuk menyediakan kebutuhan dasar rumah tangga seperti pangan, air, energi dan obat-obatan, tapi juga pendapatan rumah tangga dari memanfaatkan atau mengelola sumber daya alam makin sulit.

“Perempuan lah yang akan menjadi korban terburuk bila kehancuran besar TNKS terjadi,” ujar wanita yang aktif di  Perkumpulan LivE dan Balai Besar TNKS Bidang Pengelolaan TN Wilayah Bengkulu – Sumatera Selatan wilayah Rejang Lebong.

30 Rencana Jaringan/Ruas Jalan yang Membelah TNKS

No Rencana Jaringan/Ruas Jalan
1 Nilo Dingin (Merangin, Jambi) – Danau Pauh (Merangin, Jambi)
2 Lubuk Gading (Solok Selatan, Sumatera Barat) – Talao (Solok Selatan, Sumatera Barat)
3 Bayang (Solok, Sumatera Barat) – Alahan Panjang/Lembah Gumanti (Solok, Sumatera Barat)
4 Surantih (Solok, Sumatera Barat) – Surian (Solok, Sumatera Barat)
5 Kambang (Solok Selatan, Sumatera Barat) – Muara Labuh (Pesisir Selatan, Sumatera Barat)
6 Pelompek (Kerinci, Jambi) – Tanah Tumbuh (Bungo, Jambi)
7 Pungut (Kerinci, Jambi) – Kayu Aro/Danau Tinggi (Kerinci, Jambi)
8 Rantau Kermas (Merangin, Jambi) – Lempur (Kerinci, Jambi)
9 Nilo Dingin (Merangin, Jambi) – Tanjung Kasri (Merangin, Jambi)
10 Lempur (Kerinci, Jambi) – Ipuh (Mukomuko)
11 Lunang (Pesisir Selatan, Sumatera Barat) – Sitinjau Laut (Pesisir Selatan, Sumatera Barat)
12 Batang Merangin (Merangin, Jambi) – Muara Siau (Merangin, Jambi)
13 Batang Merangin/Tamai (Merangin, Jambi) – Serestra/Muara Siau (Merangin, Jambi)
14 Pinang Belapis (Lebong) – Muara Madras (Merangin, Jambi)
15 Empat Jurai (Solok, Sumatera Barat)
16 Pinang Belapis (Lebong, Bengkulu)
17 Rantau Kermas (Merangin, Jambi) – Pulau Tengah (Merangin, Jambi)
18 Rantau Kermas (Merangin, Jambi) – Mukomuko (Mukomuko)
19 Lebong Tandai (Lebong, Bengkulu)
20 Pinang Belapis (Lebong, Bengkulu) – Rawas Ulu/Napal Licin (Musirawas Utara, Sumatera Selatan)
21 Napal Licin (Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan) – Muara Limau (Musirawas Utara, Sumatera Selatan)
22 Katenong (Lebong, Bengkulu) – Karang Jaya (Lebong, Bengkulu)
23 Sanggaran Agung (Kerinci, Jambi) – Muara Jernih (Kerinci, Jambi)
24 Curup (Rejang Lebong, Bengkulu) – Ulu Terawas (Musirawas Utara, Sumatera Selatan)
25 Pelompek (Kerinci, Jambi) – Rantau Pandan (Kerinci, Jambi)
26 Bayang (Solok, Sumatera Barat) – Lembang Jaya (Solok, Sumatera Barat)
27 Pungut (Kerinci, Jambi) – Tanah Tumbuh (Muaro Bungo, Jambi)
28 Sanggaran Agung (Kerinci, Jambi) – Sungai Manau (Merangin, Jambi)
29 Rantau Kermas (Merangin, Jambi) – Muara Madras (Merangin, Jambi)
30 Lebong Selatan (Lebong, Bengkulu) – Musirawas (Musirawas, Sumatera Selatan)

Sumber: Koalisi Kerinci – Seblat (2016)

Pertaruhan masa depan

Ketua Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu Yansen mengatakan, pembangunan jalan yang membelah TNKS akan mengakibatkan terjadinya fragmentasi habitat. Dampaknya, akan terhambat bahkan terputusnya hubungan spesies dan aliran gen, sehingga bisa memicu atau mempercepat kepunahan spesies. “Dampak fragmentasi habitat ini bisa berbeda terhadap spesies. Untuk hewan yang soliter seperti harimau, mengakibatkan terganggu atau terputusnya proses perkawinan.”

Tak hanya hewan, fragmentasi habitat juga bisa memicu dan mempercepat kepunahan tumbuhan akibat hewan yang membantu penyerbukan terganggu oleh pembangunan jalan. Efek tepi, juga merupakan dampak lainnya. Pembangunan jalan, bisa mengakibatkan tumbuh atau berkembang biaknya spesies tertentu dari luar habitat, terbawa. “Bila spesies itu berkembang biak pesat dan mendominasi, akan menggangu siklus alami. Bahkan, tidak menutup kemungkinan bisa menjadi spesies invasif seperti mantangan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.”

Berbagai dampak pembangunan jalan itu, akan mengakibatkan penyusutan keanekaragaman hayati. Padahal, kawasan TNKS merupakan kawasan konservasi yang memiliki salah satu fungsi menjaga dan melindungi keanekaragaman hayati dan genetik. “Hal-hal seperti ini, termasuk jasa lingkungan, harus menjadi perhatian pemerintah daerah. Bila diukur secara ekonomi, keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan itu tidak ternilai takarannya,” kata Yansen.

Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah Sumatera Selatan – Bengkulu Balai Besar TNKS Ismanto, optimis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak akan menyetujui usulan izin yang disampaikan pemda untuk rencana pembangunan jalan yang bakal membelah TNKS itu. Selain akan mengakibatkan kehancuran, pemberian izin pastinya menurunkan wibawa Pemerintah Indonesia dan kepercayaan dunia Internasional. “Sepertinya kecil kemungkinan bisa direaliasikan. Apalagi harus mengubah undang-undang,” papar Ismanto.

Peta Usulan Jalan Menembus TNKS. Peta: Taman Nasional Kerinci Sebelat
Peta Usulan Jalan Menembus TNKS. Peta: Taman Nasional Kerinci Sebelat
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,