Kapolri Persilakan Gugat Praperadilan, Mengapa Polda Riau Persulit Keluarkan Dokumen SP3?

Kala pertemuan bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, Agustus lalu, Kapolri, Komjen Pol Tito Karnavian, menawarkan bagi berbagai pihak, termasuk organisasi non-pemerintah yang mau mengajukan praperadilan kasus Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) 15 perusahaan di Riau.

Sayangnya, seruan Kapolri tak sejalan dengan sikap Polda Riau yang mempersulit organisasi masyarakat sipil, KontraS, mendapatkan dokumen SP3. Padahal, surat itu syarat bagi mereka mengajukan praperadilan.

Kepala Divisi Advokasi Hak Ekonomi Sosial KontraS, Muhammad Ananto Setiawan, mengatakan, sudah dua kali mengirim surat kepada Polda Riau meminta dokumen SP3, namun tak diberi.

Baca juga: Kasus Korporasi, Kapolri Larang Polisi Daerah Keluarkan SP3

KontraS juga mendatangi langsung Polda Riau, tetap nihil. Polda, katanya,  berjanji mengirim tanggapan atas permintaan KontraS Senin (3/10/16). Hingga Senin sore tak ada tanggapan baik surat maupun email yang diterima KontraS.

Tanpa dokumen SP3 ini, kata Ananto, masyarakat tak bisa mengajukan praperadilan seperti yang disarankan Kapolri. “Pernyataan Kapolri seperti omong kosong,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (3/10/16).

KontraS menilai, belum ada inisiatif negara memberikan hak hidup, hak kesehatan, hak atas lingkungan yang baik dan sehat serta sejumlah hak lain dalam kasus karhutla di Riau. Negara, katanya, dinilai abai dalam pemulihan korban pelanggaran hak asasi manusia dampak karhutla.

Koalisi memberi batas waktu, kala dalam pekan ini tak juga ada dokumen SP3 dari Polda Riau, KontraS akan mengajukan gugatan ke Komisi Informasi Publik (KIP).

Peneliti ICW Yuntho Emerson mengatakan, semestinya tak ada alasan Polda Riau tak membuka dokumen SP3 kepada publik.

Pada dasarnya,  jika sudah terbit SP3 artinya kasus telah selesai. Dengan kata lain, tak termasuk dokumen rahasia layaknya kasus sedang dalam penyidikan.

 

Desak gelar perkara

Koalisi juga mendesak Presiden Joko Widodo untuk memerintahkan Kapolri Komjen Pol Tito Karnavian menggelar perkara khusus SP3 ini.

Menurut Koordinator Jikalahari Woro Supartinah, selain SP3 banyak kejanggalan, karhutla di Riau termasuk kejahatan luar biasa.

“Gelar perkara khusus bisa dilakukan jika kasus mendapatkan perhatian luas dan dampak masif. Karhutla memenuhi itu,” katanya.

Meski mengapresiasi tekad pemerintah menanggapi kasus ini dengan pembentukan Panja Karhutla DPR, Woro menilai, ada kemunduran dari sisi kepolisian.

“Untuk SP3 baru ada jaminan tak akan ada lagi. Bagaimana dengan yang sudah ada ini? Akankan dibiarkan?”

Dia menegaskan, kepolisian, baik Polda Riau maupun Mabes Polri tak bisa berdalih penerbitan SP3 bukan dalam masa jabatan mereka.

SP3 ini keluar sejak Januari-Mei 2016, atau dalam masa Kapolri Badrodin Haiti.

Kasus SP3, katanya, juga melibatkan tiga Kapolda Riau yakni Brigjen Dolly Bambang Hermawan, Brigjen Supriyanto, kini Brigjen Zulkarnaen.

“Secara institusi Polda Riau tetap harus memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan yang muncul dari publik,” kata Woro.

Emerson menilai  SP3 ini prematur. “Banyak kejanggalan. Bukan tak mungkin ada intervensi baik dari petinggi atau di luar penegak hukum,” katanya.

Kejanggalan maksud Emerson seperti proses penerbitan tertutup atau diam-diam dan pertimbangan saksi ahli tak kuat.

“Kalau tak tercium media, tak ada pernyataan resmi dari Polda Riau,” katanya.

Peneliti Indonesian Center for Environmental Law, Isna Fatimah menggarisbawahi beberapa kejanggalan terkait penerbitan SP3 ini dari rapat Panja Karhutla DPR dengan Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus (Wadirkrimsus) Polda Riau AKBP Ari Rahman Navarin beberapa waktu lalu.

Pertama, penyidik mengatakan belum ada tersangka saat SP3,  kontraproduktif dengan pernyataan sumber api dari lahan masyarakat. Alasan ini, katanya, menegaskan terjadi kebakaran di wilayah berizin.

“Dengan kata lain, bisa disimpulkan pemegang izin dapat dituntut pidana abai menjaga wilayah izin dari kebakaran,” katanya.

Kedua, alasan ketidakcukupan bukti berdasarkan keterangan ahli.

Koalisi ini antara lain terdiri dari Jikalahari, KontraS, ICEL dan Indonesia Corruption Watch (ICW).

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,