Dua Lembar Kulit Harimau Hasil Kejahatan Itu Dimusnahkan

Kejaksaan Negeri Bireuen bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Alam Provinsi Aceh, melakukan pemusnahan dua lembar kulit harimau sumatera beserta belulangnya, di Bireun, Selasa (4 Oktober 2016).

Barang bukti ini merupakan hasil tangkapan Direktorat Kriminal Khusus Polda Aceh, 17 Maret 2016 di kawasan Cot Gapu, Kabupaten Bireuen, Aceh. Dalam operasi itu polisi menciduk seorang pelaku, Agus Salim yang merupakan warga Kabupaten Aceh Besar. Sementara pelaku lainnya Maskur, yang berhasil kabur, menyerahkan diri pada 22 Maret 2016. Maskur pernah mendekam di penjara karena kasus yang sama di 2014.

Dalam perkembangannya, 22 Juni 2016, Pengadilan Negeri Bireuen memvonis Maskur dengan hukuman penjara 3 tahun, denda Rp50 juta, dan subsider 3 bulan. Vonis tersebut lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yaitu 2,5 tahun penjara.

Dalam putusannya, Majelis Hakim menyebutkan, Maskur terbukti menjual kulit dan tulang dua anak harimau sumatera yang dibunuhnya dengan cara diracun, di kebun miliknya di Linge, Aceh Tengah, Aceh. Sementara Agus Salim, di vonis dengan hukuman penjara 2 tahun, denda Rp50 juta, dan subsider 3 bulan penjara.

Kepala Kejaksaan Negeri Bireuen, Mochammad Jefry menuturkan, pemusnahan ini disaksikan oleh kedua pelaku. “Dilakukan karena perintah pengadilan dan kasus perdagangan satwa liar ini sudah berkeputusan hukum tetap,” jelasnya.

(Baca: Jual Kulit Harimau Sumatera, Residivis di Aceh Ini Diganjar 3 Tahun Penjara)

Irma Hermawati, Legal Advisor Wildlife Crime Unit (WCU) menjelaskan, WCU yang selama ini aktif membantu aparat penegak hukum mengungkap kasus perdagangan satwa liar mengapresiasi pemusnahan tersebut. Selama ini, setelah ada keputusan hukum tetap, satwa liar sitaan tidak jelas keberadaannya. Jarang dilakukan pemusnahan.

“Bagaimanapun, kulit dan tulang satwa liar yang disita, masih bernilai jual tinggi. Beberapa kasus perdagangan kerangka satwa, setelah divonis, justru tidak diketahui lagi posisinya.”

Ditanya apa yang menyebabkan pemburuan satwa liar di Indonesia marak, termasuk Aceh, Irma mengatakan, permintaan pasar gelap yang tinggi membuat kegiatan terlarang ini tetap ada. “Lemahnya penegakan hukum di tingkat tuntutan dan vonis membuat pelaku tidak merasa gentar.”

Irma menambahkan, hasil penelusuran pihaknya, menunjukkan awetan harimau dari Aceh umumnya dijual ke seluruh Indonesia, Singapura, Malaysia, hingga Tiongkok. “Selain untuk hiasan, bagian tubuhnya dianggap manjur sebagai bahan campuran obat.”

Perburuan harimau sumatera tetap terjadi dikarenakan permintaan yang tinggi dari pasar gelap baik dalam bentuk awetan maupun organ tubuh. Foto: Junaidi Hanafiah
Perburuan harimau sumatera tetap terjadi dikarenakan permintaan yang tinggi dari pasar gelap baik dalam bentuk awetan maupun organ tubuh. Foto: Junaidi Hanafiah

Manager Konservasi Forum Konservasi Leuser (FKL), Rudi Putra menyebutkan, perburuan satwa ilegal masih banyak ditemukan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Dalam pantauan FKL yang dilakukan Januari – Juni 2016, ditemukan 279 kasus perburuan dan sebanyak 46 pelaku ditandai.

“Dari 12 kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan KEL, perburuan liar terbanyak di Kabupaten Aceh Selatan. Ada 122 kasus: 121 perangkap dilepaskan dan 42 pelaku diketahui.”

Koordinator Earth Hour Aceh saat Parade Global Marching for Elephant, Rhino, Tiger and Orangutan, Rivana Amelia pada 24 September 2016 menyatakan, kejahatan satwa liar menempati posisi lima terbesar di dunia setelah perdagangan obat terlarang, senjata api, jaul beli manusia, dan penyelundupan minyak.

“Meningkatnya permintaan organ satwa liar di pasar gelap mengakibatkan perburuan besar-besaran terjadi, termasuk di Aceh.”

Sebagai negara yang memiliki hutan dan satwa eksotik seperti badak sumatera dan jawa, harimau, orangutan, dan gajah, Indonesia menjadi target kejahatan satwa internasional, baik satwa hidup maupun organ tubuhnya. “Minimnya kesadaran masyarakat dan  ketidakpedulian banyak orang menyebabkan perburuan dan perdagangan satwa kian menjadi,” tegas Rivana.

Barang bukti kulit harimau sumatera dan belulangnya yang disita Polda Aceh dari pelaku di Cot Gapu, Kabupaten Bireuen, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah
Barang bukti kulit harimau sumatera dan belulangnya yang disita Polda Aceh dari pelaku di Cot Gapu, Kabupaten Bireuen, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

Penangkapan

Di Riau, dua tersangka penampung kulit harimau ditangkap tim gabungan BPPH – LHK wilayah Sumatera-Seksi Wilayah II Riau dan BKSDA Jambi di Desa Sencalang, Kecamatan Batang Gangsal, Indragiri Hulu, Riau, 29 September 2016. Dari tangan pelaku, Ahyar dan Yanto, disita satu lembar kulit harimau beserta belulangnya yang dibawa ke Pekanbaru sebagai barang bukti kejahatan.

Kepada petugas, Ahyar yang merupakan warga Desa Sencalang, mengaku hanya sebagai perantara tanpa pernah mengetahui siapa pelaku sebenarnya. Dari perkataannya, harimau malang itu diperolehnya dari Desa Concong, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Bersama Yanto (warga Desa Pemayungan, Kecamatan Batang Sumay, Kabupaten Muara Tebo, Jambi), ia akan menjual kulit harimau tersebut ke pembeli di Jakarta.

Edward Aritonang, Kepala Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (BPPH) – Lingkungan Hidup dan Kehutan (LHK) Wilayah II Riau mengatakan, pihaknya akan mendalami kasus ini, terutama mengungkap jaringannya. Menurutnya, gerak-gerik pelaku sudah diintai setengah bulan terakhir. “Pelaku ditangkap bersama barang kejahatannya yang disimpan dalam karung. Mengenai perannya sebagai agen akan terus diselidiki.”

Kulit harimau yang diamankan dari pelaku di Desa Sencalang, Kecamatan Batang Gangsal, Indragiri Hulu, Riau. Foto: WWF-Indonesia
Kulit harimau yang diamankan dari pelaku di Desa Sencalang, Kecamatan Batang Gangsal, Indragiri Hulu, Riau. Foto: WWF-Indonesia

Berdasarkan catatan WWF-Indonesia, operasi tangkap tangan ini merupakan kasus ke dua di Riau, di 2016. April lalu, dua pengepul kulit harimau diangkut petugas berwenang di Kecamatan Kuantan Mudik, Kuantan Singingi, Riau. Keduanya yang disidang di Taluk Kuantan-Kuantan Singingi pada 8 September 2016, divonis empat tahun penjara yang merupakan hukuman tertinggi untuk kejahatan satwa liar di Riau dalam satu dekade terakhir.

Harimau sumatera merupakan subspesies yang masih tersisa di Indonesia. Dua subspesies lainnya yang pernah ada yaitu harimau jawa dan harimau bali telah dinyatakan punah sebelumnya. Perburuan dan penyempitan habitat merupakan penderitaan hidup yang harus dihadapi Panthera tigris sumatrae ini.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,