Seputar Karhutla Riau: dari Akses Pemadam Sulit sampai Bakar-bakar Sampah (Bagian 1)

Awal September lalu, Badan Restorasi Gambut turun ke lapangan memantau beberapa lokasi bakal restorasi. Lahan bekas kebakaran maupun masih terbakar disambangi baik, milik warga maupun konsesi perusahaan. Sebagian wilayah kelola berada di gambut dalam.

“Jika musim kemarau tiba, kami akan berkantor disini,” kata Nazir Foead, Kepala BRG, kala itu.

Berkantor di lapangan, katanya, sebagai langkah antisipasi,  reaksi cepat penanganan kebakaran hutan dan lahan, terutama di Riau.

Saat pemantauan lapangan, awal September, Riau, sedang musim penghujan. Pesawat TMC terbantu cuaca dalam mengatasi karhutla.

Kala tiba di perbatasan Bengkalis dan Siak, ada beberapa petani padi sonor sedang membakar jerami.

”Kelihatan itu mereka jaga, tiga-empat orang di sekeliling. Itu yang benar,” ucap Nazir seraya mengatakan, itulah kearifan lokal. Kelola dengan bakar lahan tetapi dijaga hingga tak merembet.

Kunjungan pertama, rombongan berhenti di Posko BPBD-Pemadam Kebakaran Bengkalis. Pada 2015, wilayah ini menyumbang asap terparah di Riau.

”Tiga tahun terakhir berturut-turut,  kalau jalan naik mobil, tak kelihatan jalan ini, perlu hati-hati. Tak jarang ada kecelakaan,” kata Bobby, warga Riau yang kerap melewati kawasan ini.

Di sana,  ada menara pemantauan setinggi 30 meter. Tim menaiki tangga satu per satu. Dari ketinggian, tampak sawit memenuhi lahan pada konsesi PT Bukit Batu Hutani Alam dan PT Skataka Pratama Makmur, Sinar Mas Group.

”Dulu, perkebunan ini rawan kebakaran, sekarang mulai berkurang,” kata Syafrizal Ahbari, anggota BPDP Damkar Bengkalis yang berjaga.

Kala kebakaran, pemadam mengeluhkan akses sulit dan tak ada sumber air. Keadaan ini menjadi bahasan kajian BRG.

”Kalau ada drone setiap posko lebih akurat, seperti gimana kondisi api dan membantu akses luas,” kata Nazir.

Ke depan, katanya, diharapkan ada integrasi bersama desa, misal lewat pemberdayaan. BRG, katanya,  sedang mengkaji kemungkinan program drone wajib bagi perusahaan.

”Perkiraan kami jarak sampai lima km di luar konsesi. Kita juga perlu pertimbangan segi ekonomi setiap perusahaan, sejauh apa mereka mampu membina dan program seperti apa,” katanya.

Warga sedang mengelola lahan dengan membakar, beberapa orang tampak berjaga-jaga agar gerakan api terpantau. Foto: Lusia Arumingtyas
Warga sedang mengelola lahan dengan membakar, beberapa orang tampak berjaga-jaga agar gerakan api terpantau. Foto: Lusia Arumingtyas

 

 

 

Sinergi pemerintah dan masyarakat

Dalam pertemuan dengan beberapa bupati, seperti Bupati Bagan Siapi-api, Siak, Dumai, dan Gubernur Riau, Nazir bilang, ada temuan indikasi pelanggaran.  BRG, melaporkan kepada KLHK untuk tindaklanjut. BRG bertugas memantau, mengawasi dan merestorasi gambut.

Satu contoh, kala ‘ngantor’ lapangan, BRG temukan kasus pembukaan gambut dalam oleh PT RAPP di Pulau Padang.

Hingga kini, pemerintah belum menyegel wilayah yang berbatasan dengan hutan alam ini. Lahan sudah tanam akasia dan dibuat kanal. KLHK hanya hentikan sementara operasi RAPP pada konsesi itu.

Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari, mengatakan, perusahaan, seringkali tak menaati rencana kerja usaha (RKU), dan rencana kerja tahunan (RKT). Walau ada regulasi 70% akasia dan 20% tanaman kehidupan, di lapangan tak berjalan.

Penghentian sementara, katanya, bukan solusi hingga perlu ada setop permanen RAPP dan mengganti menjadi komoditas ramah gambut.

Beberapa kali BRG bertemu masyarakat. Mereka berdiskusi banyak hal, mulai pembuatan sumur bor, pelarangan pembakaran lahan dan pembukaan lahan gambut, hingga tawaran menanam dengan komoditas lain cocok gambut dalam.

”Kedatangan bapak sebagai obat,” kata Jasri, warga Bagan Melibur, Pulau Padang, menyambut Nazir dan rombongan.

Masyarakat, katanya, berusaha bertahan hidup dengan sagu, meski beberapa kali sempat terbakar karena pengeringan kanal RAPP.

Meski demikian, masyarakat terus bertahan di tengah gempuran hutan tanaman di Pulau Padang. Sagu, katanya,  mampu memberikan penghidupan layak dan baik buat ekologi dan lingkungan.

***

Saat melintasi Desa Rimbo Panjang, Kampar, Riau, masih banyak warga membakar tumpukan sisa tanaman di pekarangan rumah. Beberapa kali Heri, Ketua Masyarakat Peduli Api Desa Rimbo Panjang sosialisasi soal ini.

Dalam perjalanan, di sepanjang jalan hanya berjarak beberapa meter terlihat warga masih membakar sampah. Bahkan ada yang mandi dengan meninggalkan bakaran.

“Tak boleh membakar sampah seperti ini,  nanti bisa membakar perkebunan atau rumah,” ucap Heri.

Bersama-sama, mereka memadamkan api dengan air seadanya. Sebagian warga sudah memahami soal kebakaran, tetapi ada juga yang tak tahu bahaya bakar di lahan gambut. Bersambung

Terjadi subsiden lahan, bisa terlihat dari tonggak bangunan. Foto: Lusia Arumingtyas
Terjadi subsiden lahan, bisa terlihat dari tonggak bangunan. Foto: Lusia Arumingtyas
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,