Ketua DPRD Bali I Nyoman Adi Wiryatama menyebut jadi atau tidaknya reklamasi di Teluk Benoa tergantung Presiden karena ini semata putusan politis. Menurutnya analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) bisa dibuat-buat karena buatan manusia.
“Gubernur masih jauh di bawah Presiden. Langsung ke presiden lebih pendek jalannya. Ini keputusan politik, Amdal bisa dibuat-buat, buatan manusia,” kata Adi di depan puluhan warga dari Pasubayan Desa Adat Tolak Reklamasi Teluk Benoa saat pertemuan di kantor DPRD Bali, Senin (3/10/16) lalu.
Ia berharap presiden cepat memutuskan dan kajian lain akan diabaikan. Usai pertemuan, Mongabay mengonfirmasi lagi maksudnya tentang keputusan politik yang dipentingkan dibanding konteks lingkungannya, Adi berkilah. “Jangan dipelintir dengan konteks lingkungan,” jawabnya.
Pihak dewan menolak sejumlah tuntutan Pasubayan agar mekanisme birokrasi dijalankan sebagai jalan mengembalikan status Teluk Benoa menjadi area konservasi. Sudah lebih dari 3 tahun mekanisme perubahan status Teluk Benoa, izin lokasi, sampai pembahasan Amdal berlangsung. Waktu yang cukup panjang untuk diabaikan hanya sekadarmenunggu putusan politis presiden.
Ada tiga putusan DPRD Bali. Pertama, menerima aspirasi Pasubayan. Kedua, karena kewenangan menghentikan rencana reklamasi Teluk Benoa ada ditangan Presiden, dewan siap menampung. “Kami siap menyampaikan, kami siap mengawal aspirasi saudara sampai ke tangan Presiden, bila perlu kami antar,” seru Adi. Ketiga, mengimbau jaga Bali agar tetap aman dan kondusif.
Pernyataan ini ditandatangani oleh 15 pimpinan dan kelengkapan dewan. Pertemuan ini dihadiri sedikitnya 37 anggota DPRD Bali dari 55 total anggotanya.
Namun, koordinator Pasubayan I Wayan Swarsa meminta lebih detil bentuk pernyataan itu dan mengonfirmasi 8 tuntutan yang diserahkan pada aksi massa 25 Agustus lalu.
Di antaranya mendesak DPRD Bali merekomendasikan ke Presiden Joko Widodo agar membatalkan Perpres No.51/2014 dan mengembalikan kawasan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi. DPRD Bali juga diminta merekomendasikan ke Gubernur Bali agar membuat surat permohonan ke Presiden Jokowi untuk membatalkan Perpres tersebut..
Meminta Gubernur Bali bersurat kepada Presiden untuk membatalkan rencana reklamasi Teluk Benoa sekaligus meminta Presiden membatalkan Perpres tersebut sebagai pertanggungjawaban politik atas surat Gubernur Bali tanggal 23 Desember 2013 yang meminta pemerintah pusat mengubah kawasan konservasi Teluk Benoa menjadi kawasan pemanfaatan umum.
Kemudian merekomendasikan kepada semua pihak agar menghormati dan menghargai hak–hak adat masyarakat adat Bali terhadap pesisir kawasan Teluk Benoa. “Apabila ada upaya–upaya pemaksaan untuk memuluskan pelaksanaan reklamasi di Teluk Benoa, dan apabila terjadi gerakan rakyat di kemudian hari, tanggung jawab berada pada seluruh komponen pemerintahan daerah Bali,” jelas Swarsa.
Satu per satu tuntutan itu ditanyakan ke dewan, apakah bisa dilakukan atau tidak. Termasuk apa sebenarnya sikap atau kajian DPRD Bali atas rencana reklamasi.
Sejumlah anggota DPRD Bali yang menjawab tak memberikan jawaban lugas. “Kami merespon serius karena itu ada rapat pimpinan dan fraksi. Sikap resmi adalah mengawal aspirasi,” ujar Sugawa Korry, Wakil Ketua DPRD Bali.
I Ketut Sudiarta, peneliti Jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa (Unwar) Denpasar mengingatkan mempertimbangkan dampak lingkungan sangat penting karena tak menyangkut teluk Benoa saja, tapi Bali secara keseluruhan. Misalnya sistem hidrologi dan oseanografi yang menjadi lintas wilayah. Sudiarta mengingatkan paradigma pengelolaan wilayah pesisir yang dikenal dengan pendekatan pengelolaan wilayah pesisir terpadu (integrated coastal management).
Jadi tak semata terkait putusan politis semata. Kajian mengenai dampak penting kegiatan Revitalisasi Teluk Benoa dan penambangan pasir laut yang direncanakan terhadap lingkungan hidup tidak berdasarkan atas pengetahuan dan prinsip‐prinsip pengelolaan pesisir terpadu.
Dalam konsultasi publik Amdal oleh investor PT TWBI sebelumnya ia menyampaikan pertimbangannya. Pertama, judul rencana kegiatan tidak sesuai atau konsisten dengan deskripsi kegiatan. Judul rencana kegiatan adalah “Rencana Kegiatan Revitalisasi Teluk Benoa dan Penambangan Pasir Laut” sedangkan dari deskripsi kegiatan tergambar ada rencana kegiatan reklamasi di Teluk Benoa. Menurutnya jika yang dimaksud “revitalisasi” dalam konteks kepariwisataan, yaitu “revitalisasi daya tarik wisata” sebagaimana PP No. 50 Tahun 2010 tentang RIPPARNAS maka reklamasi (pengurugan) tidak termasuk ke dalam strategi revitalisasi.
(Baca : Andal Investor Reklamasi Teluk Benoa Dikritisi Tidak Menyakinkan )
Ada juga catatan soal analisis ekosistem dan risiko kebencanaan dari I Made Iwan Dewantama dari Conservation International Indonesia. Dalam rekomendasi Iwan, kesesuaian lokasi dari rencana kegiatan sangat dipaksakan, hanya mengacu pada Peraturan Presiden dan merusak tatanan hukum di tingkat daerah terutama terkait dengan peraturan daerah (Perda) rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini tentu menimbulkan ketidakpastian hukum yang bisa menjadi preseden buruk di masa yang akan datang. Perda RTRW yang telah disusun dengan susah payah akhirnya harus berubah hanya karena ada Perpres baru untuk mengubah status konservasi Teluk Benoa.
Perbedaan cara pandang masyarakat Bali terhadap Teluk Benoa menurutnya tidak dipahami oleh investor. Argumennya Teluk Benoa merupakan kawasan sedang rusak dengan tingginya tingkat sedimentasi sehingga perlu direvitalisasi. “Padahal masyarakat Bali melihat sebagai kawasan ekologi dan kawasan suci penting dibuktikan dengan indeks keanekaragaman hayati tinggi,” sebut Iwan.
Teluk Benoa juga menyimpan cadangan carbon. Menurutnya kalau cadangan carbon dibongkar dan diurug maka sangat berpotensi untuk mengganggu cadangan carbon. “Secara ilmiah hal ini bisa dibuktikan dengan melakukan pengambilan sampel pasir (endapan) hingga kedalaman 5 meter lebih maka akan diketahui umur dari pasir (endapan) tersebut, disebut dengan istilah “carbon dating”, jelas Iwan.
Tim ahli PT TWBI menyebut dalam pembuatan tanggul dan pengurugan akan menggunakan “silt barricade” untuk menghindari keluarnya materi endapan dan lumpur ke luar wilayah Teluk Benoa. “Namun tidak ada satu pihak pun yang berani menjamin tidak akan ada materi endapan/sedimentasi dan lumpur yang akan mencemari perairan hingga ke Sanur dan Tanjung Benoa, disaat dinamika perairan terbuka sangat tinggi terkait dengan arus laut, pasang surut, angin dan seterusnya,” catat Iwan. Buktinya jelas ketika reklamasi Pulau Serangan dilakukan kemudian ada beberapa areal terumbu karang di Sanur yang hilang karena tertutup pasir/endapan, padahal terumbu karang tersebut merupakan destinasi wisata bahari.
Komisaris PT TWBI, Marvin Lieano saat itu meyakinkan publik bahwa reklamasi adalah solusi dari masalah sedimentasi dan sampah di kawasan ini. “Kami dan kolega di TWBI dan para konsultan mempunyai ide bagaimana caranya agar Teluk Benoa diperhatikan secara khusus agar daya saingnya meningkat nasional maupun dunia. Maka revitalisasi menurut saya harus dilakukan,” ujarnya.