Lagi, Si Kucing Besar Penjaga Hutan Turun Gunung

Fenomena macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) turun gunung kembali terulang. Hewan pemuncak rantai makanan tersebut diketahui keluar dari habitatnya di kawasan Suaka Margasatwa (SM)  Gunung Syawal. Menurut informasi macan tutul itu tertangkap setelah terkena jebakan warga di Desa Cikupa, Kecamatan Lumbung, Kabupaten Ciamis, Jabar, Rabu (05/10/2016) lalu.

Kepala Seksi Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) wilayah III Ciamis, Didin Syarifudin membenarkan ditangkapnya matul (macan tutul)  tersebut oleh warga. Dia mengatakan penangkapan itu terjadi Rabu malam sekitar pukul  19.30 wib.

“Sebetulnya kejadiaanya dua hari lalu. Kemudian katanya warga telah melapor ke desa, namun desa tidak merespon. Seharusnya jika melapor ke kami, langsung akan diterjunkan tim untuk mengevakuasi. Nah karena kami keesokan harinya mendapatkan informasi sehingga terjadi keterlambatan untuk proses evakuasi,” papar Didin saat di hubungi Mongabay via telepon, kamis (07/10/2016).

Dia menerangkan matul yang tertangkap berjenis kelamin jantan dewasa berumur kira – kira 3 tahun lebih. Dikatakan Didin, berdasarkan pengakuan warga macan tersebut sedikitnya telah memangsa ternak ayam 50 ekor dan 16 ekor kelinci dalam beberapa waktu terakhir.

Didin menduga turunnya matul tersebut akibat dari persaingan wilayah kekuasaan. Karena kebanyakan kasus matul yang keluar dari habitatnya adalah jantan. Pemasangan kamera jebak, sambung dia, sudah dilakukan di blok Ciawilega dan Cikupa sekaligus untuk mengetahui kondisi macan.

Dia menjelaskan berdasarkan analisa dengan Forum Macan Tutul ketersediaan makan di Gunung Syawal masih cukup melimpah. Cuma mungkin, kata dia, terjadi peningkatan populasi jantan di SM Syawal.

Dia mengungkapkan telah bernegosiasi dengan warga terkait pengambilan matul . Dari warga meminta biaya pengganti untuk ternak yang di mangsa. Dia melanjutkan, pendekatan secara persuasif coba dibangun sebagai upaya penyadartahuan bahwa hewan predator tersebut di lindungi Negara sekaligus mengajak warga agar ikut menjaga keberadaannya.

“Sejauh ini kondisi macan tutul sehat. Untuk penggantian masih kami pertimbangkan Mungkin besok atau lusa kami dari BKSDA berserta pihak Kepolisian, Perangkat Desa dan Dokter Hewan akan segera membawa si macan tutul untuk proses selanjutnya. Apakah akan dikarantina atau dilepasliarkan nanti kami masih menunggu keputusan,” imbuhnya.

Perlu Kajian Komperhensif

Sementara itu, pemerhati macan jawa dari Conservation International (CI) Indonesia, Anton Ario mengungkapkan perlu ada kajian komferhensif untuk mengetahui penyebab awal terjadinya konflik antara matul jawa dengan manusia yang “langganan” terjadi di Gunung Syawal.

Dikatakan dia, SM Gunung Syawal sendiri memiliki luas 5400 hektar yang dikelola oleh BKSDA. Dari luas kawasan tersebut,  terdapat sekitar 3000 hektar hutan lindung dibawah pengawasan Perum Perhutani. Kedua wilayah tersebut, sambung Anton, sebetulnya merupakan habitat macan tutul, walaupun kadang si matul seringkali dikatakan keluar dari habitatnya.

“Kita tidak bisa semerta – merta mengatakan bahwa habitat mereka (macan tutul) mengalami kerusakan. Harus dilakukan terlebih dulu kajian secara komferhensif mengenai daya dukung serta daya tampung kawasan tersebut, ” kata Anton kepada Mongabay melalui saluran telepon.

Macan tutul (Panthera pardus), salah satu satwa dilindungi yang hidup di kawasan Gunung Ciremai. Satwa ini terancam karena terjadinya kebakaran di Taman Nasional Gunung Ciremai. Foto : CI Indonesia
Macan tutul (Panthera pardus), salah satu satwa dilindungi yang hidup di kawasan Gunung Ciremai. Satwa ini terancam karena terjadinya kebakaran di Taman Nasional Gunung Ciremai. Foto : CI Indonesia

Dia menerangkan, kajian tentang daya dukung meliputi kondsi habitat yang menopang kehidupan matul dari segi makanan, air dan sebagainya. Sedangkan daya tampung ruang lingkupnya,berbicara tentang luasan dalam konteks ini Gunung Syawal mencukupi untuk ditinggali oleh matul atau over populasi.

Sejauh ini, pihaknya telah mencatat kasus seperti ini sebanyak 10 kali terhitung tahun 2003 lalu. Dia mengungkapkan sejauh ini belum ada kajian populasi matul disana, tentang kepadatan dan rationya belum ada data sampai sekarang. Sehingga kondisi tersebut acapkali mengakibatkan kita  menduga – duga permasalahan matul keluar dari habitatnya.

“Faktor lain yang harus diperhatikan juga mengenai persepsi masyarakat sekitar sana. Karena kan konflik ini rentan terjadi. Apakah ternak masyarakat berbatasan sekali dengan hutan yang menjadi habitat macan? Atau apakah kandang ternak mereka tidak dibuat kuat untuk antisipasi dari macan tutul? Itu juga harus dilihat,” jelasnya.

Dia menerangkan, memang individu jantan muda dengan usai 2,5 – 3 tahun umumnya sering keluar dari habitatnya kemudian berkonflik dengan masyarakat. Lanjut dia, matul muda yang sudah lepas dari induknya akan mencari daerah teritori baru. Secara otomatis macan tutul muda akan mencari teritori yang tidak dikuasai pejantan lain.

“Kemungkinan teritori banyak yang sudah di kuasai pejantan lain. Nah, kekurangan ruanglah dia (macan tutul). Yang kemudian mengarah ke pinggir – pinggir hutan. Ketika dipinggir hutan banyak ternak warga, karena ada peluang lalu dia harus survive , musti makan dan memiliki teritori. Maka, terjadilah konflik dan itu dari segi macan tutulnya,”papar dia.

Anton mempertanyakan soal kepadatan kawasan SM Gunung Syawal sehingga berimbas pada keluarnya matul muda dari habitat, mungkin akibat sulitnya mencari teritori. Dia juga mempertanyakan  luas wilayah hutan dibawah perhutani tetap utuh atau telah beralih fungsi menjadi ladang sayur.

Macan tutul juga penghuni PPS Cikananga. Foto: Indra Nugraha
Macan tutul juga penghuni PPS Cikananga. Foto: Indra Nugraha

Selain aspek perilaku dan kawasanya,menurut Anton ketersediaan mangsa juga penting dikaji. Dia menuturkan setiap harinya matul harus mengkonsumsi daging minimal 2 – 3 kg. Apabila asupan makanannya tidak terpenuhi, otomatis matul akan mencari sumber mangsa lebih jauh untuk bertahan hidup.

Populasi

Anton mengatakan, berdasarkan penelitian Ci yang dimulai tahun 2008 tentang jumlah populasi matul di hutan yang masih tersisa di Pulau Jawa, estimasi kasarnya tersisa kurangdari 500 ekor saja.

Karena memang, kata dia, belum banyak perhatian terhadap matul. Menurut  data International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) 2008, status matul di kategorikan critically endangered atau kritis. Anton menjelaskan, bisa jadi kasus konflik matul dengan manusia tidak hanya terjadi di Gunung Syawal, tetapi di beberapa daerah lainnya.

Dikatakan dia, tekanan terhadap habitanya yang tinggi serta kepedulian multi pihak masih sangat rendah. Itu bisa memperparah keberadaan matul sendiri, karena kurangnya perhatian sebagian orang terhadap pelestariannya.

Anton memaparkan matul sendiri seperti kucing pada umumnya, hanya saja ukurannya yang besar.  Biasanya di setiap teritori antara 6 – 8 kilometer persegi dikuasai oleh satu individu jantan dan ditemani 2 – 3 ekor betina .

“Si macan ini bisa mengawini 2 atau 3 sekaligus karena si jantan sifatnya seperti playboy.  Ketika si betina bunting, masa kehamilannya 110 hari dan bisa melahirkan paling banyak 5 anakan. Tapi biasanya yang akan survive itu cuma 2. Dan bila 2 itu bertahan itu sudah bagus,” imbuhnya.

Langkah Pelestarian

Dia menyesalkan tentang pemberitaan di beberapa media bila terjadi konflik pasti menyudutkan seolah – olah  matul yang salah. Padahal secara insting alamiahnya, matul cenderung lebih toleran dan menghindar apabila berhadapan langsung dengan manusia. Dia melanjutkan keberadaan matul dalam sebuh rantai makanan sangat vital sekali, yaitu sebagai pengendali ekosistem hutan.

Forum Macan Tutul Indonesia bekerja sama dengan BKSDA dan Perhutani akan memulai kajian mendalam di Gunung Sywal terkait aspek habitat, populasi dan sosial masyarakat.

“Kajian ini dilakukan untuk menjawab problematika tentang tadi yang telah di bahas. Rencananya kami akan mulai tanggal 20 Oktober besok. Tujuannya untuk melesatrikan satwa dari kepunahan. Karena lestarinya ekosistem itu juga penting agar saling hidup menghidupkan,” pungkasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,