Begini Tradisi Masyarakat Kalaodi Menjaga Alam

Warga menghentikan aktivitas selama tiga hari. Tak ke kebun, tak berdagang, atau pekerjaan apapun. Pada masa ini, warga bersih-bersih tempat atau kawasan keramat mereka. Beginilah kala sedang ritual Paca Goya, salah satu tradisi di Kampung Kalaodi, Kota Tidore, Maluku Utara.

“Kegiatan ini sebenarnya ada kemiripan dengan  Nyepi  di  Bali. Dalam Paca Goya, tiga hari. Selepas tiga hari,  baru masyarakat beraktivitas baik ke kebun atau pekerjaan lain,”  kata Samsudin Ali, Tokoh Adat Kalaodi, baru-baru ini.

Paca Goya, kalau ditarik  ke pemahaman kekinian,  serupa upacara menjaga alam. Di mana,   bukit atau gunung diyakini memiliki  tuah atau keramat paling hijau, tak boleh dirusak.

”Itu kearifan menjaga alam. Tempat Paca Goya itu,  sangat hijau. Tak ada kayu atau pohon ditebang. Ini kearifan menjaga alam,” kata Jojau atau Perdana Menteri Kesultanan Tidore,   Hi M Amin Faruk.

Masyarakat penghuni Pulau Tidore, masih menjaga adat dan tradisi secara turun temurun. Begitu juga di Kampung Kalaodi. Disebut-sebut sebagai penghuni kampung tertua di Tidore, mereka begitu kuat menjaga tradisi da ada berbagai upacara adat, salah satu Paca Goya ini.

Baca juga: Mengenal Kalaodi, Kampung Ekologi Pelindung Tidore

Tradisi  ini, diyakini memiliki kekuatan mistik berhubungan dengan alam.  Ia ritual  masyarakat   melalui para  pemangku adat.  Paca Goya  adalah  membersihkan tempat- tempat yang dianggap keramat  seperti bukit dan gunung.     

Paca dalam bahasa Tidore, bermakna menyapu atau membersihkan. Goya , dalam bahasa  Tidore, Goi berarti  sesekali berkunjunglah ke sana. Atau bermakna  tempat keramat dan sekal-sekali  harus dikunjungi.  Upacara ini dipimpin sowohi  atau pimpinan adat.

“Di Kalaodi,   ada pemerintahan  di bawah negara, ada pemangku adat yang dipimpin seorang sowohi. Sowohi menjadi  tokoh  paling berpengaruh karena  mengendalikan aktivitas yang berhubungan dengan  kegiatan dan prosesi adat,” kata Samsudin. Tokoh  Sowohi,  sangat dihargai.

Warga sedang bersiap-siap ritual Paca Goya. Foto: M Rahmat Ulhaz
Warga sedang bersiap-siap ritual Paca Goya. Foto: Darwin Usman

Sowohi berperan penting terutama penyelenggaraan ritual adat.  Paca Goya, dilakukan berdasarkan niatan  warga setempat.

“Dilakukan sehabis musim panen besar cengkih atau pala.   Kalau boleh dibilang, pesta rasa syukur terhadap hasil panen dari sang pencipta,” kata Abdurahman  Ali,   tokoh  masyarakat Kalaodi.

Awalnya, ketika masyarakat masih menanam padi ladang, pesta adat usai panen padi. Setelah tak ada lagi tanam padi, Paca Goya jika ada niatan masyarakat usai memanen cengkih dan pala. “Pelaksanaan tergantung niat  masyarakat.”

Dalam Paca Goya, ada acara disebut legu dou atau syukuran antarlembah. Dalam upacara ini,  ada permintaan disampaikan kepada penjaga alam.

”Melalui Paca Goya, warga yang akan membuka lahan menyampaikan permohonan izin pada penjaga lembah,” kata Amin.

Sebagian agamawan, katanya, mungkin menentang dan menyebut syirik karena menyembah bukit, pohon atau gunung.  Padahal,  sebenarnya,  ritual ini budaya.

Dia mencontohkan, kala petani membuka lahan baru, harus meminta restu dan izin penjaga alam.  “Yang  dilakukan bukan percaya tetapi upaya memuliakan penjaga alam,” katanya.

Tradisi Paca Goya juga memiliki makna penting bagi masyarakat Kalaodi karena mempertemukan warga yang telah  berpencar ke berbagai tempat.

Biasa, katanya, mereka hadir kala ada kesempatan, terutama  mereka  yang merantau ke Ternate,  Halmahera hingga Papua.

“Setiap orang Kalaodi yang merantau pasti diberitahu keluarga jika akan upacara adat. Biasa mereka datang jika punya  waktu,” kata Abdurahman.

Usai ritual Paca Gayo, warga bersiap menikmati hidangan. Foto: M Rahmat Ulhaz
Usai ritual Paca Gayo, warga bersiap menikmati hidangan. Foto:  Darwin Usman

Bobeto

Dalam menjaga alam,  warga memiliki tradisi tak merusak dan tak mengambil berlebihan. Bagi mereka tabu merusak atau menebang pohon sembarangan. Bagi pelanggar, akan kena bobeto.

Bobeto ini sumpah  adat, sudah berjalan turun menurun. Sumpah diucapkan bobato adat atau pemimpin adat (sowohi).

Bobeto semacam fatwa atau perjanjian  oleh lembaga adat  di Kalaodi.  Warga menaati,  sebagai hukum yang tak melanggar.  Bunyi bobeto dalam bahasa Tidore,  yakni  nage dahe so jira alam, ge domaha alam yang golaha so jira se ngon.  Artinya,  siapa merusak alam, nanti dirusak alam.

Bobeto dipegang kuat masyarakat Kalaodi. Dalam tradisi setempat,  ada kepercayaan tak bisa menebang atau merusak pohon-pohon tertentu,  karena diyakini  bisa kena dampak buruk, seperti sakit. Ada juga lembah dan bukit tak bisa dirusak karena diyakini ada penjaga.

“Para tokoh adat kami sebenarnya mempertahankan ini semata-mata menginginkan alam terawat dan terjaga,” ucap Samsudin.

Di hutan lindung Tagafura, ada kebun ditanami pala dan cengkih  tumbuh juga pohon-pohon kayu besar. Pohon- pohon ini terjaga.

Abdurahman menceritakan, sekitar  1970,   Kota Tidore, pernah banjir bandang karena penebangan puncak masif. Sejak itulah, masyarakat bersepakat  melindungi puncak Gunung Tidore termasuk  Kalaodi dan  sekitar.

“Waktu  itu banjir besar menyebabkan Tidore nyaris tenggalam,” katanya yang pernah menjabat kades dua periode  itu.

Kayu manis, salah satu komoditas di Kampung Kalaodi selain pala dan cengkih. Foto: M Rahmat Ulhaz
Kayu manis, salah satu komoditas di Kampung Kalaodi selain pala dan cengkih. Foto: M Rahmat Ulhaz

Jaga keserasian  alam dan lingkungan

Menurut Amin, tradisi dan budaya terjaga ini merupakan sumber  kekuatan  menjaga keserasian  alam dan lingkungan.

Adat di tengah masyarakat, katanya,  tanpa rekayasa dan pelanggar tak akan pernah  merasakan  keserasian  hidup dengan alam dan lingkungan. Contoh,  budaya bersih  atau paca  dan gotong royong.

“Tradisi legu  dou  atau syukuran  lingkungan dan lembah atau upacara tola gumi  saat membuka lahan pertanian baru,” katanya.

Tola gumi, menandai lahan dengan memotong tali atau tumbuhan di lahan yang baru dibuka dengan doa-doa dan sesajen. “Tradisi ini harus tetap dijaga.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,